Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan sikap masyarakat terhadap peanggalan Jawa dalam penentuan waktu pernikahan tahun 2013. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui bagaimana sebuah tradisi bisa bertahan sampai saat ini. persepsi dan sikap masyarakat Desa Jonggrang terhadap penanggalan Jawa dalam penentuan waktu pernikahan memeliki perbedaan. Masyarakat yang masih menggunakan tradisi penentuan waktu pernikahan adalah masyarkat Jawa yang masih memegang nilai budaya. Tradisi yang menjadi warisan turun temurun dari sesepuh menjadi sebuah pitutur yang harus dilestariakn oleh masyarakat. Dari sebuah pitutur tersebut terkandung sebuah makna untuk menjalani kehidupan terutama dalm sebuah pernikahn yang membutuhkan waktu yang baik. Persepsi masyarakat akan muncul ketika melihat sebuah fenomena yang ada di lingkunagn dan persepsi akan mempengaruhi sebuah sikap masyarakat. Jika persepsi dari masyarakat positif maka sikap masyarakat akan menerima dan jika persepsi masyarakat negatif maka sikap yang ditunjjukan adalah menolak.
<p>Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengungkap akar penyebab konflik antarperguruan silat di Madiun; 2) Mengidentifikasi momentum-momentum dan tempat yang sering menjadi arena konflik; 3) Mengidentifikasi potensi-potensi integrasi yang dapat diberdayakan sebagai media penyelesaian konflik; 4) Merumuskan kerangka teoretik rekonsiliasi yang dapat diterapkan untuk menangani konflik antarperguruan silat di Madiun. Jenis penelitian deskriptif kualitatif. Data diperoleh dengan wawancara mendalam, observasi langsung, mencatat dokumen dan arsip. Data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi langsung, mencatat dokumen dan arsip. Validasi data dilakukan melalui teknik triangulasi sumber, teknik, dan peneliti. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik melibatkan faktor-faktor historis yang berdampak pada situasi sosiologis. Faktor historis berakar dari perbedaan pendapat guru-murid generasi awal dalam pengembangan Perguruan Setia Hati. Saat itu konflik masih pada fase latensi dimana perbedaan masih dapat diterima. Konflik bereskalasi pasca Peristiwa G30S ketika terjadi bentrok antarpendekar SH Terate dengan SH Winongo, meskipun keduanya bukanlah partisan dalam peristiwa tersebut. Hubungan mulai memburuk dan stereotip negatif mulai berkembang. Konflik semakin meluas sejak tahun 1990-an ketika jumlah anggota baru keduanya semakin meningkat. Pelanggaran etika perguruan mulai merebak karena tidak adanya sanksi organisatoris. Kekerasan mudah meletus dan melibatkan massa pendukung yang banyak. Konflik memasuki fase terjebak. Berbagai momentum yang sesungguhnya memiliki spirit yang sama seperti Suran Agung, Halal bihalal, dan pengesahan anggota baru justru menjadi arena konflik. Karakteristik konflik menentukan cara-cara penyelesaiannya. Tindakan pengamanan untuk menghentikan kekerasan cukup efektif dilakukan aparat. Namun demikian, suasana sosiopsikologis di tingkat bawah belum banyak berubah. Rekonsiliasi dengan pendekatan kultural menjadi pilihan. Arena-arena integrasi seperti Festival Pencak Seni Tradisi diberdayakan sebagai media rekonsiliasi dengan pendekatan kultural. Rekonsiliasi kultural merupakan upaya rekonsiliasi dengan memberdayakan unsur-unsur budaya dan sosial yang dapat menjadi perekat bersama untuk menciptakan suasana dialogis dan harmonis melalui cara-cara proeksistensi yang terjelmakan ke dalam tindakan dan aksi-aksi nyata dalam berbagai peristiwa kehidupan.</p>
Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang dinamis. Pendidikan dan politik berhubungan erat dan saling memengaruhi. Berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur-unsur politik, begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek-aspek kependidikan. Pada masa awal kemerdekaan, kebijakan pendidikan pada masa Orde Lama ditujukan pada pendidikan sosialisme Indonesia. Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru diarahkan pada penyeragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Untuk dapat memahami berbagai persoalan pendidikan yang ada di tengah masyarakat tidak hanya diperlukan dasar pengalaman dan pengetahuan pendidikan, tetapi juga diperlukan pengetahuan tentang aspek-aspek dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.
AbstrakTujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mendeskrisikan nilai-nilai Kesenian Dongkrek dan merumuskan model internalisasinya yang tepat guna meningkatkan ketahanan budaya siswa SMA Kabupaten Madiun. Subyek penelitiannya adalah seniman Dongkrek, guru, dan siswa kelas X SMA Kabupaten Madiun. Penelitian dilaksanakan mulai tahun 2018 sampai dengan 2019. Metode yang digunakan R&D dan prosedur pengembangann mengadaptasi model pengembangan Gall, Gall, dan Borg. Model yang dikembangkan dianalisis dengan kriteria teoritis (penilaian ahli dan praktisi) dan kriteria secara praktis (hasil pengujian terbatas dan luas). Teknik uji teori menggunakan penilaian tim pakar dan uji praktis menggunakan model single one shot case study dan analisis keefektivitasannya menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian ditemukan bahwa Kesenian Dongkrek mengandung nilai-nilai keutamaan dan berpotensi sebagai sumber meningkatkan ketahanan budaya. Model internalisasi nilai yang berhasil dikembangkan diberi nama Model Nampe. Model Nampe diuji secara teoritis dan uji praktis. Hasil uji teoritis dinyatakan model ini valid dan layak digunakan untuk menginternalisasi nilai kesenian Dongkrek. Model ini secara praktis juga menunjukkan hasil positif dan lebih efektif dibandingkan dengan model lama (model indokrinasi dan model terbuka) dalam menginternalisasi nilai kesenian Dongkrek guna meningkatkan ketahanan budaya siswa SMA Kabupaten Madiun Kata kunci: Model Internalisasi, Dongkrek, Ketahanan Budaya AbstractThe purpose of this study is to analyze and describe the values of Dongkrek Art and formulate an appropriate internalization model to improve the cultural resilience of high school students in Madiun Regency. The research subjects were Dongkrek artists, teachers, and class X students of Madiun Regency High School. The study was conducted from 2018 to 2019. The methods used by R&D and development procedures adapted the Gall, Gall and Borg development models. The developed model is analyzed with theoretical criteria (expert and practitioner judgment) and practical criteria (limited and broad test results). The theory test technique uses expert team assessment and practical test uses a single one shot case study model and its effectiveness analysis uses descriptive statistics. The results found that Dongkrek Art contains virtue values and has the potential as a source of increasing cultural resilience. The value internalization model that was successfully developed is named the Nampe Model. The Nampe model is tested theoretically and is a practical test. The theoretical test results stated that this model is valid and feasible to use to internalize the value of Dongkrek art. This model also practically shows positive results and is more effective than the old model (indoctrination model and open model) in internalizing the value of Dongkrek art in order to increase the cultural resilience of high school students in Madiun Regency
AbstrakPembangunan karakter bangsa telah menjadi agenda penting sejak awal kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan
This study is aimed to identify the value of Dongkrek's art, describe and analyze the internalization efforts in strengthening cultural resilience. Descriptive qualitative approach is used as method and it is conducted for eight months in Madiun Regency, Indonesia. The data source used was primary and secondary data. Informants were determined by purposive sampling. Further, the data were collected through interview, observation and documentation technique. In addition, the data validity used triangulation and analyzed by interactive analysis model of Miles and Huberman. The result of this research revealed that (1) Dongkrek art has spiritual, heroism, leadership and aesthetics values. These values have the potential to strengthen cultural resilience and thus need to be internalized; and (2) there are various internalization efforts that have been implemented, such as: making Dongkrek art as the source of learning material of curricular activities, making Dongkrek art as mandatory extracurricular activity, hosting festival, publishing text book and pop-up, promoting by souvenir and modifying Dongkrek art. Thus, Dongkrek art values potentially served as a source to strengthen cultural resilience if they could be internalized and manifested properly in real life. Further, Dongkrek art were pride of Madiun society and Indonesia. Dongkrek art could strengthen and firmed attitude in maintaining indigenous culture from foreign cultural influences that could damage or endanger the national identity.
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan bahan ajar Mata
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.