Penggunaan pupuk organik perlu ditingkatkan untuk mengurangi konsumsi pupuk anorganik. Salah satu bahan organik yang ketersediaannya melimpah, mudah diperoleh dan terjaga kontinuitasnya adalah kotoran sapi yang dapat diolah menjadi biogas. Salah satu limbah biogas adalah slurry padat yang masih mengandung nutrisi atau zat hara untuk tanaman tetapi pemanfaatannya belum optimal. Melalui pemanfaatan teknologi, limbah biogas dapat dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai tambah, salah satunya menjadi pelet pupuk organik. Tujuan dari program pengabdian adalah: (1) melakukan sosialisasi, memberikan pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat khususnya Kelompok Tani Ternak Bulu Andini tentang pembuatan pupuk pelet organik dari limbah biogas. (2) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat khususnya Kelompok Tani Ternak Bulu Andini untuk mengaplikasikan pelet pupuk organik dari limbah biogas dalam pembibitan beberapa tanaman perkebunan, yaitu kopi, kakao, dan pala. Metode kegiatan yang dilakukan antara lain: survey, pelatihan in class, praktik, dan pendampingan. Pengabdian masyarakat ini menghasilkan peningkatan pengetahuan kelompok ternak untuk meningkatkan nilai tambah slurry biogas melalui transfer ilmu pengolahan pelet pupuk yang dapat diaplikasikan pada tanaman perkebunan. Program pengabdian ini juga mampu memberikan peningkatan kemampuan kepada masyarakat mengenai pemberian pupuk pelet ke tanaman perkebunan dengan teknis aplikasi yang tepat.
Agroindustri merupakan sektor yang penting bagi Indonesia karena potensi sumberdaya alamnya. Dalam perkembangannya, agroindustri merupakan sektor yang dinamis dan semakin kompleks. Tuntutan dari konsumen semakin ketat dan beragam, sistem produksi semakin canggih dan interaksi dari pelaku dalam rantai pasok yang semakin masif perlu didukung oleh teknologi dan sistem yang mampu mengintegrasikan rantai pasok agroindustri dari hulu sampai hilir. Selain itu, produk agroindustri yang bersifat mudah rusak, adanya masalah keamanan pangan, dan tuntutan akan sistem rantai pasok yang berkelanjutan menjadi tantangan bagi rantai pasok agroindustri. Block chain yang semula merupakan platform teknologi pada uang digital, mulai dikembangkan untuk sektor lain seperti kesehatan, copy right, dan rantai pasok. Artikel ini membahas tentang harapan dan tantangan penerapan teknologi blockchain dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan tantang rantai pasok agroindustri
The high availability of slurry from palm oil mill effluent, solid, and boiler ash with their nutrient contents make those three materials are potential to be processed become organic fertilizer in the form of pellet so it tends to has slow release characteristic. This research aims to analyize characteristic of organic fertilizer pellet from slurry of palm oil mill effluent as slow release fertilizer by analyzing its physical characteristics, NPK content, and NPK releasing rate in soil.Slurry was processed become solid fertilizer in the form of pellet using pellet mill with tapioca adhesive 5%. Pellet was made from slurry, solid, and boiler ash which were mixed with ratio 1:1:1, 1:2:2, 2:1:1, 2:2:1, 2:1:2, 1:0:0 (only slurry). This research ware analysis of physical characteristis (length, diameter, and density) and analysis of NPK content. N content was analyzed using Kjeldahl method, P content using spectrophotometer, and K content using Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS). Then it was continued with analysis of NPK releasing content in latosol soil.The average length of pellets was 31–48 mm, diameter was 5,42 – 6,28 mm, water content was 0,426 – 0,976%, particle density was 1,04 – 1,34 g/cm3, and bulk density 0,49–0,63 g/cm3. Organic fertilizer pellet in six formulas contained N+P2O5+K2O about 5,93–8,08%. The highest content (8,08%) was produced from 1:0:0 pellet, followed by 2:1:2 formula (7,53%), and 1:2:2 formula (7,25%). Until the 10th days, the releasing of N element was about 1,99 – 3,18%, P element was 0,063– 0,075%, and K element was 43,54 – 62,26%.
ABSTRAK Salah satu permasalahan limbah pabrik kelapa sawit adalah pengelolaan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Cara yang dapat dilakukan untuk penanganan limbah TKKS, yakni dengan konversinya secara biologis untuk menjadi green fertilizer. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan metode analisis deskriptif pada masing – masing perlakuan dan ditentukan lamanya penelitian selama 28 hari. Alat yang digunakan adalah cangkul, ember, gembor, dan tempat vermikomposting. Peralatan pengujian antara lain timbangan, pH meter dan jangka sorong. Kemudian bahan yang digunakan adalah limbah – limbah kelapa sawit (Sludge, Solid, dan Tankos). Perlakuan yang dilakukan adalah meng-kompositkan 3 bahan – bahan limbah sawit dengan proporsi 100%, 50%, dan 25% kemudian diberikan cacing Lumbricus rubellus sebesar 500 gr setiap perlakuan. Parameter yang dilakukan adalah pengujian laju penguraian, pH, karakteristik cacing yang kemudian dilakukan pengamatan setiap 7 hari sekali sampai dengan penentuan waktu selama 28 hari. Laju dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh cacing mendapatkan respon paling tinggi pada perlakuan pencampuran media L6 (65 %) dan L7 (88%). Proses dekomposisi ternyata tidak mempengaruhi pH media, pH yang didapat rerata adalah 6. Dari proses laju dekomposisi dan pH media tidak mempengaruhi karakteristik cacing Lumbricus rubellus dimana pertumbuhannya justru meningkat. Hal ini diduga karena kondisi media yang cocok untuk keberlangsungan hidupnya. ABSTRACT One of the problems with palm oil mill waste is the management of Oil Palm Empty Bunches (OPEFB). One method that can be used for handling OPEFB waste is by converting it biologically to green fertilizer. The method used in this research is observation and descriptive analysis methods for each treatment. The length of the study was 28 days. The tools used were a hoe, bucket, watering can, and a place for vermicomposting. Testing equipment includes scales, pH meters and calipers. Material used was palm oil waste (sludge, solid, and empty bunches). The treatment carried out was to composite 3 materials - palm oil waste materials with a proportion of 100%, 50%, and 25%. The composite was then given 500 grams of Lumbricus rubellus worms per treatment. The parameters measured were the decomposition rate, pH, characteristics of the worms which were observed every 7 days up to 28 days. The rate of decomposition of organic matter received the highest response in the mixing treatment of L6 (65%) and L7 (88%) media. The decomposition process did not affect the pH of the media. The average pH obtained was 6. The process of decomposition rate and media pH did not affect the characteristics of Lumbricus rubellus worms. The growth of the worms increased, which is presumably because the media conditions were suitable for their survival.
Organic fertilizer can yield higher production compared to regular fertilizer if properly applied. Thus, it can be a solution to improve nutrient content of soil. The biggest source of bio slurry in plantation is from Palm Oil Mill Effluent (POME) and cow dung biogas. This research aimed to analyze the residue’s potential from the result of biogas processing and bio slurry from POME as slow-release fertilizer pellet. Bio slurry was processed into pellet through densification process using pellet mill. The research was arranged in a Randomized Block Design method with five slurry compositions as treatments, including 70:30, 60:40, 50:50, 40:60, and 30:70 (ratio of biogas slurry and POME slurry), each consisted of three replications. According to the data obtained, fertilizer pellets had characteristics of 25 – 29 mm of length, 5.23 – 5.85 mm of diameter, 0.44 – 0.53 g/cm3 of density, 54.78% - 81.96% of durability, and 7.81% - 8.57% of moisture content. Based on density and durability aspects, 30:70 composition was the higher. Macronutrient content of the five compositions were 1.88% - 2.72%, in which on day 22, N, P, and K release was 0.36 – 1.01%, 73.51 – 97.48%, and 3.19 – 7.85%, respectively. Meanwhile, on day 17, the nutrition solution conductivity of all compositions had already reached 0.80 – 1 mS/cm.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh formula rempah dan pewarna alami terhadap sifat-sifat fisik dan kimia teh rempah yang dihasilkan, serta menemukan dan menganalisa formulasi yang paling disukai dan memiliki aktivitas antioksidan yang paling tinggi. Rancangan penelitian ini menggunakan metode rancangan blok lengkap yang terdiri dari dua faktor. Faktor A merupakan komposisi dari bahan rempah (95% dari 1,9 gram berat total) yang terdiri dari empat taraf yaitu A1 (jahe 10%, pala 20%, kayu manis 20%, cengkeh 5%, sereh 15%, kapulaga 25%), A2 (jahe 15%, pala 10%, kayu manis 25%, cengkeh 10%, sereh 20%, kapulaga 15%), A3 (jahe 20%, pala 10%, kayu manis 15%, cengkeh 15%, sereh 25%, kapulaga 10%), A4 (jahe 15%, pala 10%, kayu manis 20%, cengkeh 25%, sereh 20%, kapulaga 5%) dan faktor B merupakan jenis pewarna alami (5% dari 0,1 gram berat total) yang terdiri dari atas tiga taraf.yaitu B1 (bunga rosella 5%), B2 (umbi bit 5%), B3 (bunga telang 5%). Untuk menentukan kualitas teh rempah, maka dilakukan uji sifat kimia (aktivitas antioksidan, kadar air, dan kadar abu), uji fisik (uji warna Munsell), dan uji organoleptik (kesukaan warna, rasa, dan aroma). Hasil penelitian ini diketahui bahwa formulasi bahan rempah dan penambahan pewarna alami berpengaruh nyata terhadap kandungan aktivitas antioksidan, kadar air, dan uji kesukaan organoleptik tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu dan uji warna Munsell sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat interaksi antara formulasi rempah dengan penambahan warna alami terhadap uji aktivitas antioksidan dan uji kesukaan organoleptik. Hasil penelitan lainnya juga diketahui bahwa terdapat interaksi terhadap uji aktivitas antioksidan dan uji organoleptik (kesukaan warna, rasa, dan aroma). Skor kesukaan organoleptik terbesar yaitu 6,37 (suka) yang terdapat pada sampel A3B1 yang terdiri dari jahe 20%, pala 10%, kayu manis 15%, cengkeh 15%, sereh 25%, kapulaga 10%, dan bunga rosella sebanyak 5%. Sampel A3B1 memiliki aktivitas antioksidan 58,5946%, kadar air 20,8691%, kadar abu 2,4266%, dan uji warna Munsell 84,5. Adapun rerata kadar air secara keseluruhan 22,7655% (tidak memenuhi SNI) dan rerata kadar abu keseluruhan 2,6520 % (memenuhi SNI).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik edible film komposit protein biji karet dan kitosan serta menganalisis fraksi protein biji karet (Hevea brasiliensis) dan kadar gliserol yang paling baik dalam pembuatan edible film. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 2 faktor. Faktor pertama adalah perbandingan fraksi protein biji karet (A) dengan 3 taraf yaitu (A1=0,5%), (A2=1%), (A3=2%). Faktor kedua adalah variasi penambahan gliserol dengan 3 taraf yaitu (B1=1%), (B2=2%), (B3=3%). Pada penelitian ini terdapat analisis kimiawi yaitu kadar sianida (HCN) dan kadar protein serta analisis mekanis yaitu ketebalan, kuat tarik, elongasi, daya larut, dan water vapor transmission rate (WVTR). Perbandingan konsentrasi fraksi protein biji karet yang ditambahkan pada pembuatan edible film komposit berpengaruh terhadap ketebalan film, daya larut, kuat tarik, elongasi, dan WVTR film yang dihasilkan. Sedangkan, variasi konsentrasi gliserol yang ditambahkan pada pembuatan edible film komposit berpengaruh terhadap ketebalan film, daya larut, elongasi, dan WVTR serta tidak berpengaruh terhadap kuat tarik film yang dihasilkan Nilai terbaik berdasarkan uji bobot parameter yang diuji didapatkan sampel A3B2 sebagai sampel terbaik (fraksi protein biji karet 1,5 % dan konsentrasi gliserol 2 %), dengan nilai ketebalan 178,33 µm, daya larut 42,95 %, kuat tarik 0,718 Mpa, elongasi 46,16 %, water vapor transmission rate (WVTR) 1,180 g/m2 /hari.
Kebutuhan air di masa Pandemi Covid-19 untuk berbagai upaya kebersihan dan kesehatan meningkat dengan signifikan. Akan tetapi peningkatan jumlah kebutuhan air tersebut tidak disertai dengan peningkatan perhatian terhadap ketersediaan air. Alih fungsi Daerah Tangkapan Air (DTA) menjadi kawasan pemukiman dan industri terus meningkat, seperti yang terjadi di DTA Danau Rawapening. Perubahan tata guna lahan DTA Danau Rawapening menyebabkan meningkatnya debit aliran permukaan pada saat musim hujan dan kekeringan di saat musim kemarau. Peningkatan debit aliran permukaan selalu diiringi dengan penurunan volume infiltrasi, sehingga pada saat musim kemarau debit aliran dasar mengecil. Menurunnya ketersediaan air tersebut menyebabkan penurunan daya dukung kawasan Danau Rawapening. Perubahan tata guna lahan di DTA Danau Rawa Pening didominasi oleh perkembangan permukiman, dari 8,48 % pada tahun 1996 menjadi 18,64 % pada tahun 2010. Kondisi tersebut menyebabkan turunnya volume air hujan yang terinfiltrasi, sehingga cadangan air tanah tidak bertambah. Hal itu akan menyebabkan turunnya debit air pada saat musim kemarau yang selanjutnya akan menurunkan daya dukung air di kawasan tersebut. Kondisi ini terus berlanjut sehingga daya dukung air pada musim kemarau semakin turun, bahkan selama tahun 2009 daya dukung air kawasan hanya sebesar 0,5 – 0,9.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.