Background: Nutrition education is one method to change the knowledge and attittude of nutrition on school children.The study aimed to see the effect of nutrition education on knowledge and attitude of nutrition among school children.Methods: The study was one group pre-post test design of a quasi experimental design. Subjects were 99 schoolchildren randomly selected through multi stage sampling method among the 4th, 5th, and 6th graders. They were givennutrition education using posters and pocket books in children meeting for three months. The data of knowledge andattitude were collected through interview using structure questionares. The differences in knowledge attitude andpractice of of nutrition among school children were tested by wilcoxon test.Results: The mean of knowledge about nutrition among school children before nutrition education is 66,45±9,6%increasing to 71,61±9,3% after nutrition education. Median of attitude before nutrition education is 70,31% increasingto 75% after nutrition education. The result showed that there was an effect of nutrition education on knowledge andattitude of school children.Conclusion: Nutrition education can improve knowledge and attitude of school children.
Latar Belakang: Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang, ditunjukkan dengan nilai z-score TB/U kurang dari -2SD. Prevalensi stunting pada balita di Indonesia masih tinggi terutama pada usia 2-3 tahun. Faktor risko stunting antara lain panjang badan lahir, asupan, penyakit dan infeksi, genetik, dan status sosial ekonomi keluarga. Stunting terutama pada anak usia diatas 2 tahun sulit diatasi, sehingga penelitian mengenai faktor risiko stunting pada anak usia diatas 2 tahun diperlukan.Metode: Penelitian observasional dengan desain case-control pada balita usia 2-3 tahun di wilayah kecamatan Semarang Timur. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling, 36 subjek pada tiap kelompok. Stunting dikategorikan berdasarkan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U). Data identitas subjek dan responden, panjang badan lahir, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner. Data tinggi badan anak dan tinggi badan orang tua diukur menggunakan microtoise. Analisis bivariat menggunakan Chi-Square dengan melihat Odds Ratio (OR) dan multivariat dengan regresi logistik ganda.Hasil: Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko stunting pada balita usia 2-3 tahun adalah status ekonomi keluarga yang rendah (P = 0,032; OR = 4,13), sedangkan panjang badan lahir, tinggi badan orangtua, dan pendidikan orang tua bukan merupakan faktor risiko stunting.Kesimpulan: Status ekonomi keluarga yang rendah merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian stunting pada balita usia 2-3 tahun. Anak dengan status ekonomi keluarga yang rendah lebih berisiko 4,13 kali mengalami stunting.
Latar belakang;Pola asuh pemberian makan merupakan kemampuan orangtua dan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan dalam memberikan makanan kepada anaknya.Stunting adalah masalah gizi yang terjadi sebagai akibat dari kekurangan zat gizi dalam kurun waktu yang cukup lama.Menurut WHO Child Growth Standart stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD.Metode ;Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain penelitian crosssectional menggunakan pendekatan studi kualitatif. Penelitian dilakukan di Kecamatan Katiku Tana Selatan di wilayah kerja puskesmas Malinjak.Pengambilan subyek menggunakan metode purposive sampling.Penentuan subyek sesuai dengan kriteria inklusi dan di dapatkan sejumlah 4 subyek berumur 6 bulan hingga 10 bulan. Analisis data yang dilakukan adalah analisis kualitatif yang disajikan berdasarkan data yang telah dikumpulkan kemudian disimpulkan.Hasil penelitian ;Pola asuh pemberian makan kepada balita stunting tidak sesuai dengan kebutuhan gizi subyek. Praktik pemberian ASI yang tidak ekslusif, pemberian MP – ASI yang terlalu dini pada subyek sebelum 6 bulan. Jenis MP – ASI yang tidak variatif, frekuensi pemberian makan yang tidak sesuai dengan anjuran DEPKES. Rendahnya pengetahuan ibu mengenai pola asuh pemberian makan pada balita adalah faktor ketidaksesuaian pemberian ASI dan pemberian MP – ASI kepada subyek penelitian.Kesimpulan ; Pola asuh pemberian makan pada balita usia 6 – 12 bulan yang salah berpotensi menyebabkan terjadinya stunting.
Latar Belakang : Pernikahan dini (menikah >18 tahun) dapat berpengaruh pada status gizi anak yang dilahirkan. Ibu yang menikah pada usia dini, berisiko memiliki anak berstatus gizi pendek, gizi kurus dan gizi buruk.Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia ibu menikah dini dengan status gizi batita di Kabupaten Temanggung.Metode : Penelitian ini termasuk penelitian observasi dengan desain cross-sectional pada 72 anak yang berusia 0-2 tahun dari ibu yang menikah dini dan dipilih secara consecutive sampling. Ibu dikatakan menikah dini jika usia ibu saat menikah <18 tahun. Status gizi batita diperoleh dari z-score PB/U dan BB/U menggunakan baku antropometri WHO 2005. Analisis data menggunakan uji Chi-Square.Hasil : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata usia ibu saat menikah dini adalah 15,9±0,98 tahun, sedangkan rerata usia batitanya saat ini 10,4±7,16 bulan. Persentase anak pendek pada kelompok usia ibu yang menikah dini saat berusia 14-15 tahun sebesar 43,5% dan pada kelompok yang menikah saat usia 16-17 tahun sebesar 22,4%. Persentase anak gizi kurang pada kelompok usia ibu yang menikah dini saat berusia 14-15 tahun adalah 17,4%, sedangkan pada kelompok yang menikah saat usia 16-17 tahun sebesar 14,3%. Hal tersebut menunjukkan adanya kecenderungan semakin dini usia nikah ibu, semakin meningkat persentase anak pendek, tetapi secara statistik tidak berhubungan (p=0,067). Begitupula dengan gizi kurang yang juga terdapat kecenderungan semakin dini usia nikah ibu, semakin meningkat persentase gizi kurang, dan secara statistik juga tidak berhubungan (p=0,736).Kesimpulan : Terdapat kecenderungan semakin dini usia ibu menikah, semakin meningkat persentase anak pendek dan gizi kurang, tetapi secara statistik tidak ada hubungan antara usia ibu menikah dini dengan status gizi batita di Kabupaten Temanggung.
Latar Belakang : Permasalahan gizi yang banyak terjadi pada anak usia sekolah dasar salah satunya disebabkan kurangnya pengetahuan gizi. Pedoman gizi terbaru yang ada di Indonesia yakni Tumpeng Gizi seimbang juga belum dapat tersosialisasi dengan baik. Komik menjadi salah satu media yang sangat digemari anak – anak yang kini telah banyak dimanfaatkan sebagai media pendidikan. Pemberian pendidikan gizi melalui media komik diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang gizi seimbang khususnya bagi anak – anak. Metode : Penelitian ini berjenis quasi experimental dengan pre-post test two group design pada anak SDN Bendungan kota Semarang kelas IV dan V sebanyak 66 anak. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan 1 yang hanya diberikan komik dan kelompok perlakuan 2 yang diberikan komik dan pendampingan seminggu sekali selama satu bulan. Data pengetahuan dan sikap tentang gizi seimbang diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Pengaruh pendidikan gizi terhadap pengetahuan dan sikap pada kedua kelompok diuji menggunakan uji paired t-test, Wilcoxon dan Mann Whitney.Hasil : Peningkatan median pengetahuan gizi seimbang pada kelompok perlakuan 1 dari sebelum nya sebesar 56% menjadi 72%, sedangkan pada kelompok perlakuan 2 rerata pengetahuan sebelum sebesar 61,82 ± 11,09% menjadi 80,85 ± 10,43%. Peningkatan median sikap gizi seimbang pada kelompok perlakuan 1 dari sebelumnya sebesar 64% menjadi 88%, sedangkan peningkatan median sikap pada kelompok perlakuan 2 dari sebelum nya sebesar 60% menjadi 84%. Terdapat perbedaan pada peningkatan pengetahuan gizi antara kelompok perlakuan 1 dan 2 (p<0,05), namun tidak terdapat perbedaan peningkatan sikap gizi antara kelompok perlakuan 1 dan 2 (p>0,05).Kesimpulan : Pendidikan gizi melalui komik gizi seimbang meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang gizi seimbang pada kedua kelompok. Terdapat perbedaan pada peningkatan pengetahuan antara kelompok perlakuan 1 dan 2. Tidak ada perbedaan pada peningkatan sikap antara kelompok 1 dan 2.
Latar Belakang: Ikan Teri (Stolephorus sp) merupakan pangan lokal di Kabupaten Tegal yang potensial dijadikan PMT-P untuk balita gizi kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh subtitusi tepung ikan teri terhadap kandungan gizi dan daya terima PMT-P Cookies Ikan Teri.Metode: Penelitian eksperimental rancangan acak lengkap satu faktor dengan variasi persentase subtitusi tepung ikan teri (n=4) dari F0= 0% (kontrol), F1= 10%, F2=15% dan F3=20%. Kadar protein diukur dengan menggunakan metode Micro-Kjedahl, karbohidrat dengan metode by difference, lemak dengan metode Soxhlet, energi melalui perhitungan, kadar air dengan metode gravimetri, kadar abu dengan metode pengabuan kering dan kadar kalsium serta besi diukur dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectroscopy (AAS). Daya terima menggunakan uji hedonik. Hasil: Rata-rata kandungan gizi per 100 gram PMT-P cookies ikan teri F0, F1,F2, dan F3 secara berturut-turut adalah energi sebesar 424±0,24; 421±0,97; 413±0,42; 422±0,40; protein sebesar 7,67±0,20; 9,48±0,03; 11,85±0,07; 12,77±0,08 g; lemak sebanyak 9,20±0,04; 10,35±0,18; 9,58±0,12; 10.47±0.11 g, karbohidrat sebesar 77,70±0,17; 72,59±0,16; 70,03±0,25; 69,17±0,17 g; kadar air sebanyak 3,75±0,03; 4,56±0,01; 4,66±0,03; 4,40±0,06 %; kadar abu sebesar 1,66±0,01; 3,01±0,03; 3,86±0,02; 3,18±0,02 %; besi 4,04±0,08; 4,51±0,06; 4,78±0,08; 5,32±0,14 mg; dan kalsium sebanyak 1419±3,02; 2600±1,98; 2880±1,98; 3133±2,29 mg. Semakin tinggi subtitusi tepung ikan teri semakin rendah daya terima warna, aroma, dan rasa cookies. Cookies yang mendekati standar permenkes dan daya terimanya baik yaitu F1 dengan subtitusi tepung ikan teri sebanyak 10%.Simpulan: Semakin meningkat subtitusi tepung ikan teri maka semakin meningkat protein, lemak, kadar air, kadar abu, besi, dan kalsium serta menurunnya karbohidrat juga daya terima warna, aroma, dan rasa cookies ikan teri.
Latar Belakang : Karies gigi merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang sering dijumpai di masyarakat, dimana diantaranya adalah golongan anak. Mengkonsumsi makanan kariogenik berlebih dapat meningkatkan risiko karies gigi. Anak yang mengalami karies gigi dalam kurun waktu yang lama akan berpengaruh terhadap asupan zat gizi dan status gizi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian karies gigi dengan konsumsi makanan kariogenik dan status gizi pada anak sekolah dasar Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Besar subjek yang dibutuhkan sebanyak 63 responden. Subjek diambil secara random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi tingkat karies gigi menggunakan indeks DMF-T, asupan makanan kariogenik diperoleh menggunakan Food Frekuensi Question (FFQ) dan kuesioner, dan status gizi dengan cara antropometri. Analisis data menggunakan uji korelasi rank Spearman.Hasil : Hasil penelitian menunjukkan tingkat karies gigi sedang 23.8% dengan indeks DMF-T rata-rata 4.0 . Frekuensi konsumsi makanan kariogenik sebanyak 73% mengkonsumsi 3-6x sehari. Terdapat 15.8% anak memiliki status gizi sangat kurang. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa: ada hubungan antara kejadian karies gigi dengan konsumsi makanan karieogenik (p=0.009 ; r=0.298) ,ada hubungan antara karies gigi dengan status gizi (p=0.008 ; r=0.303).Simpulan : Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa ada hubungan antara kejadian karies gigi dengan konsumsi makanan karieogenik, dan ada hubungan antara karies gigi dengan status gizi
Latar Belakang : Stunting merupakan gangguan pertumbuhan karena malnutrisi kronis, yang ditunjukkan dengan nilai z-score panjang badan menurut umur (PB/U) kurang dari -2 SD. Anak 12–24 bulan sangat rentan terjadi masalah gizi stunting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian stunting.Metode : Penelitian observasional dengan desain case-control dan subjek adalah anak usia 12-24 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling, 36 subjek untuk tiap kelompok. Derajat stunting dinyatakan dengan z-score PB/U. Data identitas subjek dan responden, riwayat ASI eksklusif, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga dan riwayat penyakit infeksi diperoleh melalui kuesioner. Data asupan zat gizi diperoleh melalui food recall 24 jam selama 2 hari tidak berurutan. Analisis menggunakan metode Chi Square dengan melihat Odds Ratio (OR) dan multivariat dengan regresi logistik ganda.Hasil : Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 12–24 bulan adalah status ekonomi keluarga rendah (OR= 11.769; p= 0.006; CI 1.401 – 98.853), riwayat ISPA (OR= 4.043; p= 0.023; CI 1.154 – 14.164), dan asupan protein kurang (OR = 11.769; p = 0.006; CI 1.401 – 98.853). Riwayat pemberian ASI eksklusif, pendidikan orang tua, riwayat diare, asupan energi, lemak, karbohidrat, seng dan kalsium bukan merupakan faktor risiko kejadian stunting.Kesimpulan : Status ekonomi rendah, riwayat ISPA, dan asupan protein kurang merupakan faktor risiko yang bermakna pada kejadian stunting anak usia 12-24 bulan.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.