Skabiosis adalah penyakit kulit menular, bersifat zoonosis yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Anjing lokal berumur tujuh tahun dengan bobot 8 kg mengalami masalah kulit berupa alopesia, kerak, penebalan dan pelipatan kulit di seluruh badan. Hasil pemeriksaan kerokan kulitnya dengan metode pemeriksaan kerokan kulit ditemukan tungau Sarcoptes scabiei. Anjing tersebut didiagnosis menderita skabiosis. Terapi kausatif diberikan dengan cara menginjeksikan ivermectin dengan dosis 300 mcg/kg BB secara subkutan (SC) dan untuk terapi simptomatisnya digunakan difenhidramin. Ivermectin diberikan satu kali dalam satu minggu selama empat minggu. Difenhidramin diberikan untuk mengurangi rasa gatal, pengobatan topikal dengan lime sulfur. Selain itu pengobatan topikal lainnya adalah dengan pemberian permethrin 5% untuk membantu kerja ivermectin.

Background: The presence of various animals, such as: ducks, chickens and pigs in households increases the potential risks of zoonosis from animal to human. One of the diseases is Japanese encephalitis (JE). The seroepidemiological studies on the presence JE among animals especially those raised in household is very important for emerging and reemerging disease control program. Ducks, chickens and pigs have long been considered as carrier and even the amplifier hosts of Japanese encephalitis virus (JEV) replication. The presence of the animal hosts and mosquitoes as vector could result in transmission of the JEV to humans. Methods: A seroepidemiological study of the presence of Japanese encephalitis virus (JEV) was conducted by collecting sera and detecting the antibody against JEV in ducks, chickens and pigs in Bali. As pig is the amplifying animal of JEV, comparison JEV antibody between ducks reared in households with pig nearby and with no pig were also determined the presence of antibody against JEV was examined by using indirect enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). The serum samples with over cut off value (COV) of optical density were considered as those containing Ab against JEV.

Protein total merupakan semua jenis protein yang terdapat di dalam darah, komponennya tersusun atas albumin, globulin, dan beberapa protein lain dalam jumlah yang lebih sedikit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar protein total sapi bali betina dewasa yang tidak bunting, agar dapat dijadikan evaluasi pemeriksaan berbagai kondisi fisik dan subklinis. Sampel darah diperoleh dari 11 ekor sapi bali betina dewasa, berusia 2 tahun dengan kondisi sehat secara klinis dan tidak bunting. Sampel diuji menggunakan metode otomatis dengan prinsip refraktometer menggunakan gelombang cahaya dengan panjang gelombang 564 nm. Protein total yang diperoleh dari sampel yang telah diperiksa adalah dengan kadar protein terendah 6,34 g/dL dan hasil tertinggi 7,55 g/dL dengan rata-rata 7,22 g/dL. Hasil tersebut terhitung lebih rendah daripada sapi ras lain seperti Friesian Holstein (FH), Peranakan Ongole (PO), dan Brahman. Dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya kadar total protein, diantaranya pakan dan ras sapi, sehingga evaluasi pada sistem peternakan dapat dilakukan.

The aim of this study was to determine the prevalence and risk factors Dirofilariaimmitis (D. immitis) infection in dogs slaughtered in Yogyakarta. A total of 151 dogs that were slaughtered from May – November 2013 were examined their heart in order to determine the presence of D. immitis infection. Blood samples were tested using Modified Knott’s Technique for microfilariae examination. The results showed that based on the heart and blood examination the prevalence of D. immitis infection was 14.6 % and 7.9 %, respectively. The risk factors for D. immitis infection were the age and origin of the dog.

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva. Anjing kasus bernama Ve merupakan anjing ras Pug berumur 10 bulan, mengalami gangguan pada mata. Ve mengalami konjungtivitis pada mata bagian dexter dan sinister. Ve dilaporkan terkena konjungtivitis saat berumur 3 bulan. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik mukosa mata merah, pada bagian mata sinister tidak terlihat bola mata (atropi) yang disertai keluarnya eksudat mucopurulent, bagian mata dexter terlihat kornea keruh yang disertai keluarnya eksudat mucopurulent berlebihan dan hiperpigmentasi pada kulit karena parasit Demodex sp. Berdasarkan identifikasi dan pemeriksaan, konjungtivitis yang diderita Ve disebabkan karena trauma yang dibarengi dengan infeksi sekunder bakteri. Dari hasil pemeriksaan hematologi rutin menunjukkan limfositosis, eosinofilia dan trombositopenia. Terapi mata yang diberikan berupa antibiotik salep mata Erlamycetin® dan vitamin Calvidog®, sedangkan untuk kulit diberikan injeksi dipenhidramine HCl dan injeksi invermectin.