This research explains how tradition can be modified for tourism and political purposes. The tradition that will be elaborated in this essay is "Festival 1000 Tumpeng Kelud". This festival adapts tradional Javanese cultural ceremony. The commodification of tradition is associated with the development of tourism in the area of Kelud Mountain, East Java. Furthermore, tourims activity in Kelud Mountain is part of strategy to defend particular territory in a disputed area. This is ethnography research with qualitative data and descriptive analysis, located in Sugihwaras village. Key informants of this research are special figure in society whom considered as person who can communicate with Kelud Mountain, society representative, BMKG officers, and Village officials. This essay concludes that there are three layers purposes of convening "Festival 1000 Tumpeng" initiated by the government of Kediri namely preservation of traditions and gratitude expression to God, tourism promotion, and politics of territoriality related to disputed area with Blitar Regency.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat dekat dengan keberagaman. Terdiri dari kurang lebih 1.300 suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, setiap suku tersebut memilki budaya, bahasa, dan cara hidup yang berbeda-beda, bahkan dapat juga menganut sistem kepercayaan atau agama tersendiri. Terbukti, dengan kekayaan perbedaan tersebut, Indonesia dapat berdiri sebagai bangsa dan negara yang merdeka. Namun, sejak 2005 kita dihadapi pada fenomena baru, yakni meningkatnya kasus intoleransi dan radikalisme yang mengatasnamakan isu primordial, seperti agama dan etnis. Mudah saja jika kita mengasumsikan bahwa konflik semata terjadi karena kesalahpahaman antarkelompok semata, atau sebagai akibat dari kesenjangan ekonomi yang menimbulkan kecemburuan sosial. Padahal, yang sebenarnya terjadi tidak lah sesederhana itu. Buku bungai rampai ini akan menelusuri serta menguak kasus-kasus intoleransi dan radikalisme yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Data terkini yang telah dikumpulkan melalui observasi mendetail di lapangan serta wawancara eksklusif dengan narasumber yang kompeten akan dianalisis dengan metode ilmiah untuk menghasikan suatu temuan dan kesimpulan yang berkualitas. Dengan demikian, diharapkan buku bunga rampai ini dapat menjadi katalis bagi para pembacanya untuk dapat membangun kehidupan yang lebih positif dalam bingkai keindonesiaan di lingkungan masing-masing.
Indonesia is confronting an intensifying threat of ecological disaster due to excessive natural resource exploitation and environmental damage. Existing tools to evaluate local government performance are unable to critically assess many key aspects of natural resource and environmental management. The results of these formal performance assessments do not reflect the reality in local communities. We argue that this gap is caused by more than just inaccurate reporting; the gap between reality and assessment results is because official assessment approaches sideline the consideration of state–society relations and socio-political dimensions. The assessments reduce natural resource management and environmental protection in Indonesia to techno-managerial terms that reflect a post-politicizing of the environment, as outlined in Erik Swyngedouw’s critical social science literature. In this chapter, we look specifically at the content and application of these local government environmental performance assessment tools. While they may appear to cover key points of environmental good governance, their technocratic mode character is disguising politico-business linkages and oligarchical interests that damage the environment. Environmental crisis, social conflict, and democratic regression are consequently on the increase in Indonesia.
Pasca desentralisasi, dalam perpolitikan lokal di Indonesia berkembang fenomena baru, yaitu penguatan identitas lokal. Salah satu contoh menguatnya identitas lokal adalah bangkitnya lembaga adat seperti kerajaan dan lembaga adat lainnya. Pada saat yang sama, desentralisasi juga meningkatkan kehadiran aparatur negara, terutama di pulau-pulau terluar Indonesia. Birokrasi merepresentasikan kekuasaan negara pun mendominasi kepemimpinan politik di daerah-daerah tersebut. Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah contoh daerah pulau terluar yang mengalami peningkatan masif keberadaan aparatur negara dan kebangkitan identitas lokal pada saat yang bersamaan. Birokrat di sana mendominasi kepemimpinan formal maupun informal. Sementara itu, kelompok bangsawan lokal membangkitkan semangat kerajaan dengan merevitalisasi Lembaga Adat Tana Samawa (LATS). Dalam dokumen resminya, LATS dimaksudkan sebagai aktor penengah yang memediasi antara pemerintah daerah dan masyarakat. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan apakah kehadiran LATS dengan modal simboliknya mampu memperkuat demokrasi lokal di Sumbawa sebagai penyeimbang kepemimpinan politik yang selama ini dimonopoli oleh birokrat. Artikel ini akan mengelaborasi sejauh mana kehadiran LATS di Sumbawa dapat memperkuat demokrasi lokal di tengah derasnya pertumbuhan aparatur negara.
This essay discusses vigilante groups in relation to access for rights to security, particularly in Central Lombok District, West Nusa Tenggara Province. Vigilante groups are defined as 'informal security groups' to distinguish them from formal security entities owned by the state such as the police and military. I propose an alternative interpretation toward the existence of informal security groups that is different from mainstream explanation. Most of the literatures have a strong tendency to categorize informal security groups merely as antagonist actors and a predatory element in the process of democratization in Indonesia. By referencing Asef Bayat's notion of social non-movement, I argue that informal security group, in Lombok particularly, is one way ordinary people seek to improve their quality of life when security and access to justice are not available, resulting in a blurred line between legal and illegal activity. However, these groups are susceptible to be used by the local elites to achieve particular political interests. This research used qualitative methods, including interviews and archival research. Kelompok Keamanan Informal Sebagai Bentuk Social Non-Movement di Indonesia:Kasus Buru Jejak di Lombok Tengah AbstrakArtikel berikut ini membahas tentang kelompok kekerasan dalam kaitannya dengan akses terhadap hak atas keamanan di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kelompok kekerasan dalam artikel ini didefinisikan sebagai 'kelompok keamanan informal' untuk membedakannya dengan entitas keamanan formal yang dimiliki oleh negara seperti polisi dan tentara. Saya menawarkan alternatif interpretasi yang berbeda dengan penjelasan yang sudah umum terhadap keberadaan kelompok kekerasan informal. Sebagian besar penelitian terdahulu cenderung menempatkan kelompok kekerasan informal hanya sebagai aktor antagonis atau elemen predatoris dalam proses demokratisasi. Dengan mengacu kepada konsep yang digagas oleh Asef Bayat tentang social non-movement, saya berargumen bahwa kelompok keamanan informal di Lombok merupakan cara orang-orang biasa untuk meningkatkan kualitas hidupnya ketika akses terhadap hak atas keamanan dan keadilan tidak tersedia, meskipun berada di antara batas aktivitas legal dan ilegal. Akan tetapi, kelompok-kelompok seperti itu rentan digunakan oleh elit lokal untuk memperoleh kepentingan politik tertentu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara dan penelusuran arsip/dokumen.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.