Parameter untuk mengetahui hewan sapi sempurna setelah disembelih yaitu dengan melihat refleks kelopak mata dan atau waktu henti darah memancar. Menurut EFSA (2004) kematian merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan respirasi fisiologis dan sirkulasi darah telah berhenti sebagai akibat dari pusat sistem tersebut di batang otak secara permanen kehilangan fungsi karena kekurangan oksigen dan energi. Waktu henti darah memancar merupakan indikasi bahwa jantung sudah tidak dapat memompa darah keluar dari tubuh karena tidak ada lagi asupan oksigen darah dalam jantung, sehingga hewan tersebut dapat dikatakan mati. Tujuan dari penelitian ini untuk menghitung waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan metode pemingsanan dan tanpa pemingsanan yang dipotong di rumah potong hewan ruminansia besar (RPHRB), sehingga diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna. Tiga puluh ekor sapi Brahman Cross dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan yaitu, sebanyak 15 ekor yang disembelih dengan pemingsanan (kelompok 1) dan sebanyak 15 ekor yang disembelih tanpa pemingsanan (kelompok 2). Waktu henti darah memancar dihitung sesaat setelah hewan disembelih sampai darah berhenti memancar. Hasil dari penelitian diperoleh rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan sebelum disembelih adalah sebesar 3,02 menit dan rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih tanpa pemingsanan adalah sebesar 2,13 menit. Selang waktu henti darah memancar antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah 53,4 detik. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan hewan sebelum pemotongan, yaitu dengan atau tanpa pemingsanan.Kata kunci: Pemingsanan, sapi, tanpa pemingsanan, waktu henti darah (The Perfect Cow Died after Slaughtered by Stunning and Non Stunning Methods According to Gushing Blood Downtime)Palpebra reflex and gushing blood downtime can be used as parameters to see animals death after slaughtered. Stop bleeding time was an indication that the heart is unable to pump blood out of the body due to no more oxygen in the blood of the heart, so that the cattle can be said has been dead perfectly. The aims of this study was to calculate the stop bleeding time of cattle slaughtered by stunning and non stunning methods, thus obtained the avaraging data of perfectly death time of animals. Thirty catlles’s Brahman Cross divided into two treatment groups, firstly 15 cattle’s were slaughtered by stunning method (group 1) and the second one 15 cattle’s were slaughtered by non stunning method (group 2). Blood gushing downtime was calculated immediately after the animal is slaughtered until the blood stops radiating. The results showed the average blood gushing downtime in cattles that were stunning before slaughtered is 3.02 minutes and the average time to stop blood gushing in cattles of non stunning group is 2.13 minutes. The interval blood gushing downtime between the cattles slaughtered by stunning and non stunning was 53.4 seconds. Blood gushing downtime was affected by the treatment of animals before they were slaughtered.Keywords: cattle, gushing blood downtime, non stunning, stunning.
Carbon Dots (CDs) which have been synthesized using the laser ablation method show the presence of UV-Vis absorption in the wavelength range of 303 nm to 333 nm for absorbance and 495 nm to 503 nm for fluorescence. Changes in the time duration 1, 2, 3 hours of CDs resulted in changes in the optical energy gap. The optical energy gap valuesare distinguished by the type of indirect transition (n=2) is 3.40 eV (1 hour), 3.15 eV (2 hour), 2.85 eV (3 hour) and direct transition (n=1/2) is 2.58 eV (1 hour), 2.31 eV (2 hour), 1.70 eV (1 hour).
Buffalo has a higher level of adaptation than cows. The buffalo adaptation form at different locations will affect the physiological and reproduction of buffalo, so it is necessary to know buffalo adaptation on the characteristics of wetlands and dry land. This research was conducted in May to June 2017 in Kabupaten Serang, Banten. The variables observed in this research are buffalo reproduction, breeders socioeconomic, and physiological response of livestock. There were analyzed by SPSS. The results of this study indicated that buffalo reproduction characteristics in wetlands and dryland were as follows: first estrus was 22.71 ± 7.87 and 29.18 ± 11.79 months, first conception was 27.86 ± 11.43 and 32.55 ± 12.12 months, first parturition was 41.57 ± 12.33 and 26 ± 12.12 months, Calving interval was 24.10 ± 10.39 and 15.67 ± 6.55 months, calving rate was 2.36 ± 1.15 and 2.23 ± 1.20, conception period 1 year, Postpartum estroes was 6.23 ± 2.71 and 4.56 ± 2.34 months. Physiological response of livestock on dry land showed that buffalo cattle were experiencing heat stress.
dikembangkan melalui pendekatan hewan model untuk mempelajari tentang PJK. Minyak goreng yang digunakan secara berulang dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas yang berdampak negatif bagi kesehatan terutama jantung dan pembuluh. Tujuan dari penelitian ini mengukur indeks aterogenik plasma (IAP) dan indeks Castelli (IC) dari mencit model yang diinduksi minyak trans (MT). Sebanyak 16 ekor mencit galur DDY dibagi menjadi 4 kelompok yaitu mencit yang diinduksi 20% minyak trans (MT20), 40% minyak trans (MT40) dan 60% minyak trans (MT60) dan kontrol (K). Persentase minyak trans diberikan berdasarkan dari total energi konsumsi pakan harian. Minyak trans diberikan per oral sehari sekali selama 70 hari. Darah diambil pada hari ke-70 dari vena lateral ekor tikus untuk mengukur profil lipid plasma yaitu kolesterol total, trigliserida (TG), High Density Lippoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL) plasma menggunakan alat uji cepat Lipid Pro®. Nilai Indeks Aterogenik Plasma (IAP) yaitu log (TG/HDL) dan Indeks Castelli (IC) yaitu LDL/HDL. Hasil pengkuran profil lipid plasma menunjukkan kolesterol total, trigliserida, HDL dan LDL plasma pada kelompok MT meningkat secara nyata dibandingkan kontrol (sig<0,05). Nilai IA pada mencit yang diberi minyak trans berbeda nyata dari kontrol (sig<0,05) dan memiliki risiko tinggi. Nilai IC pada mencit yang diberi minyak trans berbeda nyata dari kontrol (sig<0,05) dan memiliki risiko sedang-tinggi. Minyak trans meningkatkan nilai indeks aterosklerosis dan indeks resiko koroner mencit.Coronary Heart Disease (CHD) is a "silent killer" disease. Various studies were developed through an animal model approach to studying CHD. Cooking oil that is used repeatedly can increase levels of free fatty acids which have a negative impact on health, especially the heart and vessels. The aim of this study was to measure the plasma atherogenic index (IAP) and Castelli index (IC) of trans oil-induced model mice (MT). A total of 16 DDY mice were divided into 4 groups, namely mice induced with 20% trans oil (MT20), 40% trans oil (MT40) and 60% trans oil (MT60) and control (K). The percentage of trans oil is given based on the total energy consumption of the daily feed. Trans oil is given orally once a day for 70 days. Blood was taken on the 70th day from the lateral vein of the rat tail to measure the plasma lipid profile, namely total cholesterol, triglycerides (TG), High Density Lippoprotein (HDL) and plasma Low Density Lipoprotein (LDL) using the Lipid Pro® rapid test kit. The Plasma Atherogenic Index (IAP) values are log (TG / HDL) and the Castelli Index (IC) is LDL / HDL. The results of measuring the plasma lipid profile showed that plasma total cholesterol, triglycerides, HDL and LDL in the MT group increased significantly compared to the control (sig<0,05). The IA value in mice treated with trans oil was significantly different from the control (sig<0.05) and had a high risk. The IC value in mice treated with trans oil was significantly different from the control (sig<0.05) and had a medium-high risk. Trans oil increased the atherosclerosis index and coronary risk index of mice.
Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi ekstrak klorofil daun singkong sebagai antioksidan pada burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) dewasa yang dipapar panas singkat. Adapun peubah yang diamati adalah konsumsi pakan, kecernaan pakan, bobot badan, jumlah telur, bobot telur, tinggi kuning telur, tinggi putih telur/albumen, bobot ovarium, bobot uterus, dan tebal kerabang telur. Penelitian ini terdiri dari enam kelompok perlakuan. Kelompok kontrol (K0), kelompok hewan uji hanya diberi ekstrak klorofil daun singkong 5,29 mg/168 g bobot badan/oral (KL). Kelompok hewan uji dipapar suhu 40 Ë% C selama delapan jam tiap hari (P). Kelompok P+KL1, P+KL2, dan P+KL3 masing-masing dipapar suhu 40 Ë% C selama delapan jam tiap hari, kemudian diberi ekstrak klorofil daun singkong 5,29, 10,58, dan 21,16 mg/168 g bobot badan per oral selama 28 hari setelah diadaptasikan satu minggu. Parameter seperti konsumsi pakan, kecernaan pakan, jumlah telur, dan bobot telur dihitung setiap hari selama penelitian. Parameter lain diukur di akhir perlakuan, kecuali bobot badan dilakukan setiap minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa burung puyuh yang mendapatkan paparan panas (P) konsumsi pakannya cenderung menurun dibandingkan kelompok K0. Rataan kecernaan pakan tertinggi dijumpai pada kelompok KL. Rataan bobot badan burung puyuh yang mendapatkan ekstrak klorofil daun singkong cenderung meningkat dibandingkan dengan perlakuan K0 dan P. Rataan jumlah dan bobot telur pada kelompok yang mendapatkan paparan panas dan ekstrak klorofil daun singkong cenderung meningkat dibandingkan kelompok K0, kecuali pada kelompok P+KL3. Rataan tinggi kuning telur/yolk dan albumen dari kelompok burung puyuh yang mendapat ekstrak klorofil daun singkong cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok K0 dan P. Rataan bobot ovarium dan uterus pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan (P>0,05). Rataan tebal kerabang telur pada kelompok P paling tipis dibandingkan yang lain. Simpulan pada penelitian ini adalah ekstrak daun singkong memiliki potensi sebagai antioksidan pada burung puyuh dewasa yang diberikan paparan panas singkat.
This study �as aimed to describe cortisol hormone concentration and meat �uality �hich �ere �as aimed to describe cortisol hormone concentration and meat �uality �hich �ere aimed to describe cortisol hormone concentration and meat �uality �hich �ere produced in beef cattle stunned with captive bolt stun gun before slaughtering. Blood and meat samples were taken from Brahman cross steers �n�� ���� in two abattoirs located in �est �ava and Banten. s �n�� ���� in two abattoirs located in �est �ava and Banten. �n�� ���� in two abattoirs located in �est �ava and Banten. Blood samples �ere collected immediately after slaughtering. Cortisol hormone concentration in the serum �as measured by using radioimmunoassay (RIA). The descriptive, correlation, and regression analyses �ere used to interprete data. Meat �uality assessment �as based on pH, cooking loss, and complete drainage of blood. The average of cortisol hormone concentration �as 26.59 ng/mL. Meat pH at 1 h postmortem and 24 h postmortem �ere 6.65 and 6.21, respectively. Meat cooking loss �as , respectively. Meat cooking loss �as respectively. Meat cooking loss �as 26.77%. Blood drainage in meat samples of each cattle showed complete drainage. There was a sig� a sig-significant correlation �P<0.05�� between cortisol concentrations and pH at � hour postmortem as well as cortisol concentration and cooking loss. There was no significant correlation between pH at 24 h postmortem and cooking loss. Cattle was stunned with a captive bolt stun gun before slaughtering produced meat �ith complete blood drainage but had high cortisol hormone concentration and pH ultimate.Key words: cortisol, quality of meat, stunning, captive bolt stun gun ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. Sampel darah dan daging diambil dari sapi Brahman cross steer (n=11) di dua RPH di Provinsi �awa Barat dan Banten. Darah yang memancar setelah penyembelihan ditampung dan diambil serumnya selanjutnya konsentrasi hormon kortisol diukur menggunakan metode radioimmunoassay (RIA). Pengukuran kualitas daging dilakukan dengan mengukur nilai pH, cooking loss, dan kesempurnaan pengeluaran darah. Analisis deskriptif, korelasi, dan regresi digunakan dalam penelitian ini. Nilai rata-rata konsentrasi hormon kortisol adalah 26,59 ng/ml. Nilai rata-rata pH jam ke-1 dan ke-24 secara berurutan, yaitu 6,65 dan 6,21. Nilai rata-rata cooking loss adalah 26,77%. Pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah menunjukkan adanya pengeluaran darah yang sempurna. Terdapat korelasi bermakna �P<0,05�� antara konsentrasi hormon kortisol dengan nilai pH jam ke-1 dan konsentrasi hormon kortisol dengan cooking loss. Tidak terdapat korelasi bermakna antara nilai pH jam ke-24 dengan cooking loss. Dengan demikian dapat disimpulkan bah�a sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum penyembelihan memiliki daging dengan pengeluaran darah yang sempurna namun...
Stunning method before slaughtering is considered more animal welfare compared to a non-stunning method and also reduces stress levels in broilers. As for the bleed-out efficiency, testing was done indirectly by blood volume measurement which consists of erythrocyte count, leucocyte count, hemoglobin levels, hematocrit values, and erythrocyte index in broilers. Brain histopathology was also carried out to see the effect of electrical stunning towards the brain tissues. The stunning method used is electrical stunning via water bath with the capacity of 146 mAh. The results showed that the stunning method before slaughtering caused smaller number of erythrocytes and hematocrit values, and the brain histopathology showed that stunning causes encephalopathy.
The aim of the study was to determine the correlation between sucrose intake at various administration doses to SGPT and SGOT level in Wistar rats. SGPT and SGOT level in blood serum were used as parameter of liver function. Twelve rats were grouped according to administration doses (20%, 40%, 60% of given feed total energy and control group). Sucrose was administered orally once a day for 70 days at given doses by force feeding. SGPT dan SGOT level were measured using SGPT and SGOT Test Kit and read using spectrophotometer. The result indicated that increased administration dose caused a significant increase of SGPT and SGOT level. Keywords: sucrose, liver, SGPT, SGOT, Wistar rats PENDAHULUANMakanan merupakan hal penting bagi kehidupan suatu makhluk hidup karena makanan adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan makhluk hidup. Makanan tidak hanya berfungsi sebagai sumber energi bagi tubuh, namun juga membantu proses pertumbuhan dalam tubuh atau perkembangan, serta mengganti jaringan tubuh yang rusak, mengatur metabolisme dan berbagai keseimbangan air, mineral, dan cairan tubuh yang lain, juga berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit (Notoatmodjo 2003).Semakin berkembangnya masyarakat turut mengubah tren dan pola makan masyarakat. Perubahan pola makan masyarakat kepada fast food, makanan dan minuman dengan kadar gula tinggi kini semakin wajar terjadi di semua lapisan masyarakat. Hal ini menjadi salah satu faktor utama penyebab timbulnya penyakit degeneratif dan metabolis, dan telah menggeser posisi penyakit infeksi sebagai penyakit dengan kejadian tertinggi di dunia. Penyakitpenyakit degeneratif tersebut antara lain penyakit kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) termasuk hipertensi, diabetes mellitus, dan kanker (Brunner dan Suddarth 2002).Sukrosa dan fruktosa telah banyak dijadikan bahan penelitian untuk dilihat dampak yang akan terjadi pada hati apabila terus-menerus dikonsumsi. Konsumsi fruktosa dan sukrosa yang tinggi dapat meningkatkan kejadian obesitas dan diabetes, penyakit metabolik, dan penyakit kardiovaskular (Rippe dan Angelopoulos 2013). Asupan pakan yang mengandung sukrosa tinggi pada rodensia akan menyebabkan perkembangan yang mengarah ke obesitas, resistensi insulin, diabetes, dyslipidemia, hati yang berlemak, dan tekanan darah tinggi (Bizeau dan Pangliassotti
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.