Background:Many studies showed a better recovery of cognitive function after administration of exogenous lactate during moderate-severe traumatic brain injury. However, the study evaluating lactate effect on mild traumatic brain injury is still limited.Aims:To evaluate the effect of exogenous lactate on cognitive function in mild traumatic brain injury patients.Settings and Design:Prospective, single blind, randomized controlled study on 60 mild traumatic brain injury patients who were undergoing neurosurgery.Materials and Methods:Subjects were randomly assigned into hyperosmolar sodium lactate (HSL) group or hyperosmolar sodium chloride (HSS) group. Patients in each group received either intravenous infusion of HSL or NaCl 3% at 1.5 ml/KgBW within 15 min before neurosurgery. During the surgery, patients in both groups received maintenance infusion of NaCl 0.9% at 1.5 ml/KgBW/hour.Statistical Analysis:Cognitive function, as assessed by Mini-Mental State Examination (MMSE) score at 24 h, 30 and 90 days post-surgery, was analyzed by Anova repeated measures test.Results:The MMSE score improvement was significantly better in HSL group than HSS group (P < 0.001). In HSL group the MMSE score improved from 16.00 (13.75-18.00) at baseline to 21.00 (18.75-22.00); 25.00 (23.75-26.00); 28.00 (27.00-29.00) at 24 h, 30, 90 days post-surgery, respectively. In contrast, in HSS group the MMSE score almost unchanged at 24 h and only slightly increased at 30 and 90 days post-surgery.Conclusions:Hyperosmolar sodium lactate infusion during mild traumatic brain injury improved cognitive function better than sodium chloride 3%.
Lidokain intravena mempunyai efek analgesia, antihiperalgesia, dan antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian lidokain intravena terhadap nilai numeric rating scale (NRS) dan kebutuhan fentanil pascaoperasi eksisi fibroadenoma mammae. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol buta ganda terhadap 40 orang pasien wanita usia 18-60 tahun dengan status fisik ASA I-II yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode September 2011-Februari 2012. Sampel dikelompokkan random menjadi kelompok lidokain dan kontrol. Penilaian nyeri menggunakan numeric rating scale. Data dianalisis menggunakan uji chi-kuadrat, uji-t, dan Mann Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% dan dianggap bermakna bila p<0,05. Hasil penelitian menunjukkan nilai NRS kelompok lidokain lebih rendah dan berbeda bermakna pada 30 menit (p<0,001), 60 menit (p<0,001), 90 menit (p=0,003), dan 120 menit (p=0,011) pascaoperasi, penggunaan fentanil pertolongan pada kelompok lidokain adalah 0-25 µg dan pada kelompok kontrol 25-75 µg selama 3 jam pascaoperasi. Simpulan penelitian adalah lidokain intravena 1,5 mg/kgBB bolus sebelum induksi dilanjutkan dosis rumatan 1 mg/kgBB/jam sampai 1 jam pascaoperasi mampu menurunkan nilai numeric rating scale dan mengurangi kebutuhan fentanil pascaoperasi.
Sindrom burnout didefinisikan sebagai kelelahan kronik yang mencakup tiga komponen, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan berkurangnya kepuasan terhadap pencapaian pribadi. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berisiko tinggi mengalami kelelahan dan sindrom burnout akibat beban kerja yang tinggi yang dihadapi baik dalam hal melakukan pelayanan dalam bidang anestesi dan beban dalam pendidikannya. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kejadian sindrom burnout pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan pendekatan kuesioner yang dilakukan pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unpad yang masih aktif dan memberikan pelayanan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan April 2018 sebanyak 89 orang. Dilakukan penilaian menggunakan kuesioner yang mencakup data demografik, pendidikan dan pekerjaan, pencapaian prestasi pribadi, serta maslach burnout inventory yang sudah diterjemahkan. Hasil penelitian didapatkan angka kejadian sindrom burnout pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unpad adalah 44%. Simpulan penelitian ini adalah angka kejadian sindrom burnout pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unpad cukup tinggi, yaitu 44%.
Skor acute physiologic and chronic health evaluation (APACHE) II, lama perawatan, dan luaran pasien merupakan indikator penting di Intensive Care Unit (ICU). Ketiga indikator ini dapat berbeda dari satu dengan tempat lain. Ketiga indikator ini dapat dibandingkan di tempat lain untuk meningkatkan pelayanan ICU. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran skor APACHE II, lama perawatan, dan angka mortalitas pada pasien yang dirawat di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2017. Metode yang digunakan adalah deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 303 objek penelitian. Objek penelitian diambil di bagian rekam medis pada bulan April 2018. Penelitian ini memperoleh hasil skor APACHE II berkisar 0−56 dengan rerata 16,68, angka mortalitas sebesar 130 (42,3%), dan lama perawatan berkisar 2−79 hari dengan rerata 9,89 hari. Data skor APACHE II terhadap angka kematian berbeda dengan Amerika Serikat yang dapat dikarenakan perbedaan acuan prediksi mortalitas, underestimation derajat keparahan pasien cedera kepala, bias yang disebabkan oleh penatalaksanaan pasien pre-ICU, dan satu waktu pemeriksaan skor APACHE II.
AbstrakPregabalin memiliki efek antihiperalgesia, antialodinia, dan antinosiseptif. Penelitian bertujuan untuk membandingkan pregabalin 150 mg dengan 300 mg dosis tunggal 1 jam prabedah terhadap nyeri pascabedah dan kebutuhan opioid pada operasi histerektomi abdominal dalam anestesi umum. Uji klinik acak terkontrol buta ganda dilakukan terhadap 60 wanita (18-60 tahun) status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I-II di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Mei-Agustus 2013. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yang menerima pregabalin 150 mg atau 300 mg. Analisis statistik data hasil penelitian menggunakan uji-t, chi-kuadrat, dan Uji Mann-Whitney. Pada penelitian ini ditemukan nilai numeric rating scale (NRS) saat mobilisasi pada kelompok pregabalin 150 mg dan pregabalin 300 mg berbeda bermakna (p<0,05). Pemberian analgetik tambahan pascabedah antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05). Simpulan penelitian adalah pregabalin dosis 150 mg memiliki efek analgesia dan penambahan opioid yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan dosis 300 mg. Kata kunci:Histerektomi abdominal, numeric rating scale, nyeri pascabedah, pregabalin AbstractPregabalin has anti-hyperalgesia, anti-allodynia, and anti nociceptive effects. This study aimed to compare the use of single dose of 150 mg pregabalin to 300 mg pregabalin given 1 hour preoperatively in regards to postoperative pain and opioid requirements in abdominal hysterectomy patients. Double blind randomized controlled trial was conducted on 60 women (18-60 years), American Society of Anesthesiologist (ASA) physical status I-II, who underwent abdominal hysterectomy under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung within May to August 2013. Patients were divided into two groups; those whose received preoperative 150 mg pregabalin and those who received preoperative 300 mg pregabalin. Statistical analysis was performed on the data using student's t-test, chi square, and Mann-Whitney U-test. This study found that the numeric rating scale (NRS) scores during mobilization in the 150 mg pregabalin group and 300 mg pregabalin were significantly different (p<0.05). There was no significant difference in postoperative supplemental analgesic administration between the two groups (p>0.05). The conclusion of the study is there is no significant difference between preoperative 150 mg and 300 pregabalin in its therapeutic effect and supplemental opioid requirement.
Waktu reaksi dibutuhkan oleh dokter anestesi karena harus berpikir dan bertindak cepat serta tepat dalam situasi kritis mengancam jiwa pasien. Jaga malam selama 24 jam dapat meyebabkan kelelahan dan gangguan tidur sehingga waktu reaksi menjadi lebih lambat. Tujuan penelitian ini mengetahui perubahan waktu reaksi terhadap stimulus visual pada PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Unpad setelah bertugas selama 24 jam di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini berlangsung pada bulan Oktober–November 2019 merupakan pretest and posttest control group design dilakukan pada 58 peserta dengan menilai waktu reaksi sebelum bertugas dan setelah bertugas selama 24 jam diperiksa menggunakan metode Ruler Drop. Analisis data menggunakan Uji Wilcoxon karena data distribusi tidak normal berdasar atas hasil Uji Kolgomorov Smirnov. Pada penelitian ini diperoleh median waktu reaksi setelah bertugas selama 24 jam menjadi lebih lama dibanding dengan sebelum bertugas. Nilai median waktu reaksi sebelum bertugas adalah 0,20 detik (range 0,10–0,25 detik), sedangkan waktu reaksi setelah bertugas selama 24 jam adalah 0,23 detik (range 0,17–0,32 detik), dengan rerata lama jam tidur selama bertugas 24 jam adalah 2,32±1,552 jam. Simpulan, waktu reaksi lebih lama pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNPAD setelah bertugas selama 24 jam.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.