AbstrakDeksametason merupakan kortikosteroid yang memiliki efek anti-inflamasi paling kuat. Penelitian ini bertujuan membandingkan deksametason 10 mg dengan deksametason 15 mg intravena prabedah terhadap nyeri pascabedah dan kebutuhan analgetik opioid. Penelitian ini merupakan uji acak terkontrol buta ganda pada 60 wanita dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I-II yang menjalani pembedahan radikal mastektomi termodifikasi dalam anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Desember 2013-April 2014. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 30 orang menerima deksametason 10 mg dan 30 orang menerima deksametason 15 mg yang diberikan 30 menit prabedah. Penilaian skala nyeri menggunakan nilai numeric rating scale (NRS) pada saat istirahat dan mobilisasi, pada jam ke-1, 2, 4, 12, dan 24 pascabedah. Pemberian analgetik tambahan opioid dilakukan bila nilai NRS>3. Analisis statistika data hasil penelitian menggunakan uji-t, chi-kuadrat, dan Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukan nilai NRS saat istirahat pada kelompok deksametason 10 mg dengan deksametason 15 mg tidak berbeda bermakna (p>0,05), sementara nilai NRS saat mobilisasi pada kelompok deksametason 10 mg lebih tinggi dibanding dengan kelompok deksametason 15 mg (p<0,05). Pemberian analgetik tambahan pascabedah tidak terdapat perbedaan secara bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Simpulan penelitian ini adalah pemberian deksametason 15 mg dapat diberikan karena mempunyai efek analgesia yang lebih baik. Kata kunci: Deksametason, numeric rating scale, nyeri pascabedah Comparison between 10 mg and 15 mg of Intravenous Dexamethasone as Analgesia Adjunct on Post Operative Pain in Patients Undergo Modified Radical Mastectomy AbstractDexamethasone is a glucocorticoid with the strongest anti-inflammatory property. The aim of this study was to compare the effect of 10 mg and 15 mg of intravenous dexamethasone on post operative pain and opioid analgetic need. This was a randomized double-blind study involving 60 females with physical status ASA I-II whom underwent modified radical mastectomy under general anesthesia at Dr. Hasan Sadikin General Hospital during December 2013-April 2014. Patients were divided into 2 groups where 30 patients received 10 mg dexamethasone and 30 patients received 15 mg dexamethasone 30 minutes prior to surgery. Pain assessment was performed using numeric rating scare (NRS) at rest and during activity, documented on the 1 st , 2 nd , 4 th , 12 th and 24 th hour post operative. Additional analgesia was given if NRS >3. Data were analyzed statistically using Student's t test, chi-square and Mann Whitney U test. Result showed that the difference between NRS at rest for 10 mg and 15 mg dexamethasone (p>0.05) was not significant, while the difference in NRS during activity at all time measurements were statistically significant (p<0.05). There was no statistical significant difference in additional opioid administered between the two groups (p>0.05). This study concludes that 15 mg dexamethasone has a be...
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah salah satu penyakit pada sistem kardiovaskular yang sering terjadi dan merupakan problema kesehatan utama di negara maju. Bedah pintas koroner merupakan salah satu penanganan intervensi PJK. Beberapa faktor risiko berhubungan dengan peningkatan mortalitas pascabedah pintas koroner. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui angka mortalitas pada pasien yang menjalani bedah pintas koroner berdasar atas usia, jenis kelamin, left ventricular ejection fraction, cross clamp time, cardio pulmonary bypass time, dan penyakit penyerta di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2014−2016. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan pendekatan retrospektif berdasar atas data rekam medis yang dilakukan bulan April 2017. Dari penelitian diperoleh hasil angka mortalitas pascabedah pintas koroner sebesar 15,15%. Angka mortalitas pasien yang menjalani bedah pintas koroner dipengaruhi beberapa faktor diantaranya usia, jenis kelamin, left ventricular ejection fraction, cross clamp time, cardio pulmonary bypass time dan penyakit penyerta.
AbstrakHipotensi merupakan komplikasi anestesi spinal yang sering ditemukan pada seksio sesarea. Pencegahan hipotensi dapat dilakukan dengan pemberian cairan, vasopresor, dan memperbaiki posisi uterus ibu saat terlentang dengan mengganjal punggung. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh ondansetron 8 mg yang diberikan 5 menit sebelum spinal anestesi dalam menjaga kestabilan hemodinamik. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Januari-Maret 2014 dengan desain eksperimental secara acak klinis terkontrol tersamar ganda yang mengikutsertakan 46 ibu hamil dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I−II yang menjalani seksio sesarea menggunakan anestesi spinal. Setelah randomisasi secara blok permutasi, subjek penelitian dikelompokkan menjadi 2, yaitu 23 subjek kelompok kontrol mendapat NaCl 0,9% dan 23 subjek kelompok perlakuan mendapat ondansetron intravena 8 mg. Tekanan darah dan laju nadi diperiksa setiap 1-15 menit setelah anestesia spinal, kemudian diperiksa tiap 3 menit sampai operasi selesai. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji-t, Uji Mann-Whitney, dan Uji Kolmogorov-Smirnov. Analisis statistik menunjukkan perbedaan bermakna tekanan darah sistol, tekanan darah rata-rata, dan jumlah pemakaian efedrin antara kelompok kontrol dan kelompok ondansetron (p<0,05). Simpulan, pemberian ondansetron 8 mg dapat mengurangi hipotensi dan menurunkan jumlah pemberian efedrin pasca-anestesi spinal pada operasi seksio sesarea.Kata kunci: Anestesi spinal, hipotensi, ondansetron, seksio sesarea Intravenous Ondansetron Effect on Blood Pressure and Heart Rate in Caesarean Section under Spinal Anesthesia AbstractHypotension is the most common complication in spinal anesthesia during cesarean sections. One of the prevention efforts includes administering a fluid vasopressor or placing a wedge under the right hip for left uterine displacement. This study aimed to determine the effect of ondansetron 8 mg, 5 minutes before spinal anesthesia, to maintain maternal hemodynamic stability. This double-blind randomized control experimental study was conducted in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during the period of January to March 2014 on 46 pregnant women, American Society of Anesthesiologist (ASA) II, who underwent cesarean section with spinal anesthesia. After randomization, the subjects were grouped into two groups: 23 subjects were included in the control group receiving Nacl 0.9% and 23 subjects were included in the ondansetron group receiving 8 mg of ondansetro. Blood pressure and pulse rate were examined every minute until 15 minutes after spinal anesthesia and then every 3 minutes until the operation was complete. Data were analyzed statistically using t test, Mann Whitney Test, and Kolmogorov-Smirnov Test. The results show that there were significant differences in systol presure, average blood pressure, and use of ephedrine between the control and ondansetron group (p<0.05). In conclusion, the provision of 8 mg ondansetron can prevent hypotension and reduce...
Metode palpasi pada pilot balon merupakan teknik yang tidak akurat untuk menentukan tekanan balon pipa endotrakeal (endotracheal tube/ETT). Tujuan penelitian ini membandingkan ketepatan pengukuran tekanan balon ETT antara metode palpasi pada pilot balon (MP) dan teknik melepas spuit secara pasif (MSP). Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2014 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, menggunakan metode kuantitatif eksperimen dengan rancangan uji acak silang tersamar tunggal. Subjek penelitian adalah 94 orang pasien berusia 18−65 tahun dengan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I-III, yang menjalani pembedahan dengan anestesi umum secara intubasi endotrakeal. Saat akan dilakukan intubasi, balon ETT dikembangkan dengan dua teknik yang berbeda kelompok metode palpasi (n=48) dan kelompok teknik melepas spuit secara pasif (n=46). Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji-t tidak berpasangan dan uji chi-kuadrat. Hasil penelitian didapatkan tekanan rata-rata pada kelompok MP 57,7±26,0 cmH 2 O dan MSP 28,7±4,5 cmH 2 O, sedangkan untuk ketepatan pengukuran pada kelompok MSP 56,5% dan kelompok MP 6,2% (p<0,001). Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa metode palpasi merupakan teknik pengukuran tekanan balon ETT yang tidak adekuat. Kata kunci: Metode palpasi pada pilot balon, teknik melepas spuit secara pasif, endotracheal tube
Intubasi nasotrakeal adalah salah satu metode yang umum digunakan pada operasi intraoral dan maksilofasial yang memiliki keunggulan untuk menyediakan akses yang lebih baik. Hal yang menjadi perhatian utama ketika memasukkan endotracheal tube (ETT) adalah penempatan yang tepat dan sesuai sehingga menghindari komplikasi akibat malposisi ETT. Fiberoptic bronchoscope (FOB) adalah cara yang paling pasti untuk menilai penempatan ujung ETT karena menyediakan visualisasi secara langsung sehingga dapat mengukur penempatan ETT yang ideal, tetapi FOB tidak selalu tersedia di rumah sakit. Penelitian ini bermaksud menilai kesesuaian Chula formula, yaitu rumus yang menggunakan tinggi badan untuk menempatkan ETT pada posisi yang tepat. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan secara prospektif pada 59 subjek penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juli sampai Agustus 2018. Subjek diintubasi nasotrakeal dengan kedalaman ETT dihitung menggunakan Chula formula, kemudian jarak ujung ETT ke carina dinilai menggunakan FOB. Hasil uji statistik dengan Guilford dan Spearman didapatkan nilai r 0,933 dan p 0,0001 yang menunjukkan kesesuaian yang sangat kuat pada Chula formula untuk menempatkan ETT pada kedalaman yang tepat. Simpulan, Chula formula dapat memprediksi kedalaman ETT dengan tepat pada intubasi nasotrakeal.Chula Formula as a Predictor for Correct Endotracheal Tube Placement for Nasotracheal IntubationNasotracheal intubation is a common method which provides better access for intraoral and maxillofacial operations. The main concern when inserting an endotracheal tube (ETT) is the correct and appropriate placement as there are many complications develop due to ETT malposition. A Fiberoptic Bronchoscope (FOB) is the best way to assess the placement of the tip of the ETT for it provides a direct visualization to measure the ideal ETT placement; however, it is not always readily available in hospitals. This study aims to assess the compatibility of Chula formula, a formula that utilizes height to determine the correct ETT placement. This study was a prospective analytical study on 59 research subjects in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from July to August 2018. The subjects were nasotracheally intubated with the ETT depth measured using the Chula formula, afterwards the distance from the tip of the ETT to the carina was assessed using an FOB. The results from Guilford and Spearman’s were an r value of 0.933 and a p value of 0.0001, showing a statistically significant conformation of the Chula formula in correct ETT placement. It is concluded that Chula formula can be used as a predictor for correct ETT placement in nasotracheal intubation.
Pneumonia merupakan salah satu jenis infeksi nosokomial dengan jumlah kasus tertinggi dibanding dengan infeksi nosokomial lain di unit perawatan intensif (ICU) disertai jumlah morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pola pneumonia nosokomial merupakan suatu karakteristik pneumonia nosokomial yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan dapat menjadi indikator untuk perbaikan terapi. Penelitian bertujuan menggambarkan pola pneumonia nosokomial di unit perawatan intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari-Desember 2017. Metode penelitian menggunakan deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 70 objek penelitian yang diambil dari rekam medis dan dilakukan dalam waktu 3 bulan, yaitu Oktober-Desember 2017. Hasil penelitian jumlah kematian akibat pneumonia nosokomial masih tinggi, yaitu 60% terutama pada pasien laki-laki usia ≥ 65 tahun. Komorbid terbanyak pada pneumonia nosokomial, yaitu hipertensi (31,4%) diikuti penyakit neuromuskular (15,7%). Mikrob terbanyak penyebab HAP adalah A. baumannii (38,1%), P. aeroginosa (30,4%), dan K. pneumoniae (15,2%), sedangkan mikrob penyebab terbanyak ventilator associated pneumonia (VAP) adalah A. baumannii (32%), P. aeroginosa (30,5%), dan K. pneumoniae (22%). Mikrob A. baumannii juga menjadi penyebab mortalitas tertinggi dengan persentase 45,4% dan terapi empirik yang sering digunakan adalah kombinasi meropenem-levofloxacin (40%), terapi tunggal meropenem (34,3%), dan kombinasi ceftazidime-levofloxacin (20%). Simpulan, pola pneumonia nosokomial di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari-Desember 2017 masih diperlukan perbaikan program penanganan terhadap infeksi ini untuk mencapai pelayanan yang baik.
AbstrakPregabalin memiliki efek antihiperalgesia, antialodinia, dan antinosiseptif. Penelitian bertujuan untuk membandingkan pregabalin 150 mg dengan 300 mg dosis tunggal 1 jam prabedah terhadap nyeri pascabedah dan kebutuhan opioid pada operasi histerektomi abdominal dalam anestesi umum. Uji klinik acak terkontrol buta ganda dilakukan terhadap 60 wanita (18-60 tahun) status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I-II di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Mei-Agustus 2013. Pasien dibagi menjadi dua kelompok yang menerima pregabalin 150 mg atau 300 mg. Analisis statistik data hasil penelitian menggunakan uji-t, chi-kuadrat, dan Uji Mann-Whitney. Pada penelitian ini ditemukan nilai numeric rating scale (NRS) saat mobilisasi pada kelompok pregabalin 150 mg dan pregabalin 300 mg berbeda bermakna (p<0,05). Pemberian analgetik tambahan pascabedah antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05). Simpulan penelitian adalah pregabalin dosis 150 mg memiliki efek analgesia dan penambahan opioid yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan dosis 300 mg. Kata kunci:Histerektomi abdominal, numeric rating scale, nyeri pascabedah, pregabalin AbstractPregabalin has anti-hyperalgesia, anti-allodynia, and anti nociceptive effects. This study aimed to compare the use of single dose of 150 mg pregabalin to 300 mg pregabalin given 1 hour preoperatively in regards to postoperative pain and opioid requirements in abdominal hysterectomy patients. Double blind randomized controlled trial was conducted on 60 women (18-60 years), American Society of Anesthesiologist (ASA) physical status I-II, who underwent abdominal hysterectomy under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung within May to August 2013. Patients were divided into two groups; those whose received preoperative 150 mg pregabalin and those who received preoperative 300 mg pregabalin. Statistical analysis was performed on the data using student's t-test, chi square, and Mann-Whitney U-test. This study found that the numeric rating scale (NRS) scores during mobilization in the 150 mg pregabalin group and 300 mg pregabalin were significantly different (p<0.05). There was no significant difference in postoperative supplemental analgesic administration between the two groups (p>0.05). The conclusion of the study is there is no significant difference between preoperative 150 mg and 300 pregabalin in its therapeutic effect and supplemental opioid requirement.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
334 Leonard St
Brooklyn, NY 11211
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.