Globally, carbon-rich mangrove forests are deforested and degraded due to land-use and land-cover change (LULCC). The impact of mangrove deforestation on carbon emissions has been reported on a global scale; however, uncertainty remains at subnational scales due to geographical variability and field data limitations. We present an assessment of blue carbon storage at five mangrove sites across West Papua Province, Indonesia, a region that supports 10% of the world's mangrove area. The Additional supporting information may be found online in the Supporting Information section. How to cite this article: Sasmito SD, Sillanpää M, Hayes MA, et al. Mangrove blue carbon stocks and dynamics are controlled by hydrogeomorphic settings and land-use change. Glob
Raja Ampat has biodiversity in marine waters so it qualifies as a conservation area as well as a tourism destination. The number of tourist visits to this area has increased significantly, from 998 people in 2007 to 29,653 people in 2016. Increasing number of tourists have become a threat if the behavior of tourist are not concerned on the environment sustainability and damage the attractions for diving. Assessment of the carrying capacity of the area becomes an important factor to know for sure the maximum number of visitors that can be accommodated by the region at any given time without causing disturbance to the environment and human. The study was conducted from September 2015 to August 2016. Data collection of dive sites was conducted by measuring the extent of coral reefs, coral slope, coral reef condition, and water depth. Calculation of carrying capacity used is Physical Carrying Capacity (PCC) and Real Carrying Capacity (RCC). There are 15 main dive sites frequented by divers. The number of people allowed to dive based on physical carrying capacity ranges from 20 to 500 diver/day, for Actual carrying capacity (RCC) of 14 - 335 diver/day. Locations that have the lowest carrying capacity on The Passage site and highest on the Melissa Garden site. The process of integrating dive attractions with other tours and monitoring of travel activities is a key factor in the sustainability of Raja Ampat regency tourism.
Each species has a special value. No species was created without intention. If one species matters, all species are altogether admirably important. This paper elucidates critical importance of species conservation in the context marine fish biodiversity in Indonesia. This resource endowment has not been truly known and hence improperly utilized. As direct consequences, biodiversity loss and species extinction are unstoppable trend. This condition is attributed to the lack systematic research and serious education programs. Beside the needs of improving research and education at national level, conservation programs should be intentionally adapted by regional government. Of the various available conservation approaches, the adapting of focal species by each regional government may become an effective approach to massively promote fish conservation program at provincial and regency levels. It also may become an input for conservation practices at larger scale.AbstrakSetiap spesies mempunyai nilai khusus. Tidak ada satu spesies pun yang diciptakan tanpa tujuan. Jika satu spesies saja begitu berarti, keberadaan semua spesies sekaligus sangat penting. Makalah ini menekankan begitu pentingnya konser-vasi spesies pada keragaman hayati laut di Indonesia. Sumber daya ini belum diketahui dengan sempurna dan sebab itu menjadi alasan untuk tidak dimanfaatkan dengan baik. Sebagai akibatnya, kehilangan keragaman hayati dan kepunahan spesies adalah kecenderungan yang tidak terhentikan. Hal ini terjadi karena kekurangan penelitian dan program pendi-didikan. Selain kebutuhan untuk meningkatkan penelitian dan pendidikan pada skala nasional, program konservasi harus sengaja diadakan di tingkat daerah. Dari berbagai pendekatan program konservasi, penentuan spesies kunci bisa menjadi pendekatan efektif untuk mempromosikan konservasi spesies ikan secara masif oleh pemerintah daerah provin-si atau kabupaten. Pendekatan ini bisa menjadi pelajaran bagi praktif konservasi pada skala yang lebih luas.
Sumber daya ikan tuna di Samudera Hindia dikelola oleh 2 Regional Fisheries Management Organization yaitu Indian Ocean Tuna Commission dan Commission for the Conservation of the Blue Fin Tuna. Dengan pengolahan ini, maka sumber daya ini tidak lagi bebas dimasuki untuk dimanfaatkan, kecuali oleh negara atau entitas yang menjadi anggota ke-2 Regional Fisheries Management Organization ini. Sumber daya tuna ini telah dimanfaatkan sejak tahun 1950, dan mungkin akan terus menjadi daerah penangkapan utama di masa mendatang. Jenis-jenis tuna ukuran besar sudah cenderung ditangkap secara berlebihan. Sementara jenis tuna ukuran kecil cenderung belum tinggi intensitas penangkapan. Indonesia sudah saatnya mengembangkan perikanan tuna di Samudera Hindia ini secara besar-besaran, mengingat posisi geografis Indonesia yang relatif lebih dekat dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.Indian Ocean tuna resources are managed by two Regional Fisheries Management Organization; the Indian Ocean Tuna Commission and Commission for the Conservation of the Blue Fin Tuna. Under this management regime, the fishery is not an open access. It can only be utilized by member countries and entities of the those Regional Fisheries Management Organization. The tuna resources have been extensively caught since 1950, and may be kept on being exploited in the future. The large tuna species tended to have been fully utilized, while the small species may be considered under fished. Indonesia should develop its capacity to the best use of the existing resources, considering its relatively shorter distance to the fishing ground.
Kabupaten Padang Pariaman merupakan salah satu daerah kabupaten di Propinsi Sumatera Barat yang memiliki wilayah pesisir dan laut. Melihat potensi yang ada, perubahan orientasi pembangunan dari pembangunan yang berbasis sumberdaya daratan (land based resources) kepada pembangunan yang berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan (marine and fisheries based resources) memungkinkan di Kabupaten Padang Pariaman.
Bordered with the South China Sea, which has potential sustainable fishery resource equal to 1.06 million tones/year, Belitung still not employed fishery as income generating sectors for the regency. The aim of this research is to formulate strategic policies on the development of capture fisheries, thus fishery sector may serve as one economic basis for Belitung. Analysis used for this research was descriptive analysis and macro-micro linkage developed through structural equation modelling (SEM). Research results showed a significant influence between fisheries effort with fishing ground area (P = 0.008), between fiscal condition with market growth (P = 0,002) and fishing ground area (P = 0,005), between national policy with monetary tendency (P = 0,002) and fishing trade (P = 0,007), between fishing trade with regional economy (P = 0,003), and between regional economy with supporting sectors (P = 0,000). Therefore, the development policy for fishery sector should employ existing resource potential and spatial reference. Other viewpoint related with the security of local fishery market product and premium fishery basis whenever there is global economic and financial fault. Such condition applies to anticipate challenging economic situation and whenever applied national policy unsuitable for the local condition. Development of permanent trade routes is expected, as well as ensuring the continuation of services that support fishery development. ABSTRAK Perairan Laut Cina Selatan dengan potensi lestari 1,06 juta ton/tahun dan masih belum menjadikan sektor perikanan sebagai kontributor ekonomi utama di kawasan termasuk di Kabupaten Belitung. Penelitian ini bertujuan merumuskan kebijakan pembangunan perikanan tangkap sehingga menjadi basis ekonomi Kabupaten Belitung. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis deskriptif dan analisis micro-macro link yang dikembangkan dengan metode structural equation modelling (SEM). Hasil analisis menunjukkan pengaruh signifikan terjadi pada usaha perikanan Belitung terhadap wilayah basis (P=0,008), kondisi fiskal terhadap pertumbuhan market output (P = 0,002) dan wilayah basis (P=0,005), kebijakan nasional terhadap moneter (P=0,002) dan trade (P=0,007), trade terhadap ekonomi regional (P=0,003), dan ekonomi regional terhadap sektor penunjang (P=0,000). Terkait dengan ini, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat diarahkan pada pengembangan usaha perikanan tangkap yang berbasis potensi dan prospek kewilayahan, serta penyelamatan pemasaran produk perikanan daerah dan usaha perikanan unggulan terutama bila kondisi ekonomi dan keuangan global tidak stabil. Hal ini untuk antisipasi terhadap kondisi yang tidak mendukung bila suatu kebijakan nasional diberlakukan di kawasan yang tidak sesuai dengan kondisi kedaerahan. Dan perlu pengembangan jalur-jalur perdagangan produk perikanan yang permanen dan jangka panjang serta jaminan kondusifitas kegiatan pelayanan jasa yang mendukung pembangunan perikanan.
ABSTRAKKegiatan illegal fishing pada dasarnya tidak saja dilakukan oleh nelayan asing tetapi juga dilakukan oleh nelayannelayan Indonesia dengan ukuran kapal yang relatif kecil yaitu dibawah 30 Gross Tone (GT). Ukuran kapal yang kecil lepas dari analisis kegiatan ilegal, padahal dalam jumlah kapal yang banyak dengan kapasitas yang kecil tentu akan memberikan masalah besar bagi pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia. Nelayan yang bermukim di Brondong Jawa Timur merupakan salah satu contoh yang lebih memiliki untuk melakukan kegiatan illegal fishing dengan menurunkan ukuran kapal yaitu menurunkan GT. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal dilakukan karena beban ekonomi untuk pengurusan yang cukup tinggi dan tata cara pemgurusan perijinan yang sangat merepotkan merupakan alasan utama nelayan Brondong. Kata kunci: Model logit, kepatuhan, PPN Brondong
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.