Forest harvest is the first activity to undertake in extracting logs from the forest site. The amount of wood wastes generated during logging operation can be used for measuring the value of exploitation factor (FE as multiplying factor in determining annual allocation of wood production (JPT) and as a basic parameter in predicting earn business provision of natural forest (PSDH). Ecological aspects may interprete that the bigger FE value will bring about reduction of forest damages. This paper examines the FE in Sub-Region of East Kalimantan. Results show that the proper FE value for the East Kalimantan Province is ranged between 0.77 -0.89. The amount of FE value is more influenced by factor of feller skills than the management competence factor of IUPHHKHA. Keywords: Exploitation factor, natural forests, reduced impact logging, Sub-Region East Kalimantan ABSTRAKDalam pemanfaatan kayu, pemanenan hutan merupakan tahap kegiatan utama yang dilakukan agar potensi pohon dapat dikeluarkan dari dalam hutan. Banyak atau sedikitnya limbah yang terjadi selama proses pemanenan kayu dapat dijadikan tolok ukur faktor eksploitasi (FE). Selama ini, pemerintah menetapkan angka FE sebesar 0,7. Padahal, paradigma pengelolaan hutan alam sudah semakin baik dengan diterapkannya pembalakan berdampak rendah (reduced impact logging/ RIL) dan/atau berdampak rendah karbon (RIL-C). Dilihat dari aspek ekonomis, nilai FE mempunyai peranan sangat penting karena digunakan sebagai pengali dalam menentukan jatah produksi tahunan (JPT) dan sebagai dasar dalam prediksi penerimaan besarnya provisi sumberdaya hutan (PSDH). Pada aspek ekologis, penetapan nilai FE yang lebih besar dapat mengurangi terjadinya kerusakan hutan. Tulisan ini mengevaluasi nilai FE di Sub Region Kalimantan Timur. Hasil penelitian menunjukkan besarnya bilangan FE di lima IUPHHK-HA di Kalimantan Timur berkisar antara 0,77 -0,89. Besar kecilnya bilangan FE lebih dipengaruhi oleh faktor keterampilan penebang dibandingkan dengan faktor kompetensi manajemen IUPHHK-HA.Kata kunci: Faktor eksploitasi, hutan alam, pembalakan berdampak rendah, Sub Region Kalimantan Timur 335
To improve the efficiency of timber harvesting process, forest industries have implemented tree length ABSTRAKSalah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanenan kayu di hutan alam adalah dengan menerapkan metode tree length logging. Namun demikian, peningkatan efisiensi pemanenan kayu tersebut belum diikuti oleh perbaikan kebijakan efisiensi biaya produksi. Sebagai contoh, penerapan kebijakan sistem upah borongan penuh pada kegiatan penebangan pohon dinilai masih relatif mahal sehingga perlu dicari alternatif pembanding dengan sistem swakelola. Tulisan ini mempelajari besarnya biaya produksi penebangan yang dilakukan dengan sistem borongan dan swakelola. Penelitian dilakukan di dua perusahaan pengusahaan hutan alam (IUPHHK-HA) Kalimantan Tengah. Hasil analisis biaya menunjukkan penebangan sistem swakelola yang dilakukan di IUPHHK-HA PT. A dan PT. B 3 3 masing-masing adalah Rp 4.051,11/m dan Rp 6.800,11/m . Biaya penebangan sistem swakelola tersebut lebih murah dibandingkan dengan sistem borongan yang berkisar antara Rp 6.000-3 Rp 7.000/m . Untuk efisiensi biaya, pihak manajemen IUPHHK-HA sebaiknya menerapkan sistem upah penebangan secara swakelola.Kata kunci: Analisis biaya, penebangan pohon, swakelola, sistem kontrak/borongan, hutan alam 101
One indicator of sustainable forest management is the minimum impact of residual stand damage caused by timber harvesting activities. This paper examines stand damage due to timber harvesting on hilly tropical forest, Central ABSTRAKSalah satu indikator pengelolaan hutan lestari adalah adanya dampak kerusakan tegakan tinggal yang ditimbulkan oleh kegiatan pemanenan kayu. Tulisan ini mempelajari kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu di hutan tropis berbukit di Kalimantan Tengah. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan plot contoh penelitian berukuran 200 m x 100 m yang ditempatkan secara sistematis pada tiga petak tebang terpilih dengan operator chainsaw yang berbeda tingkat kemahirannya. Hasil penelitian menunjukkan besarnya derajat kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu berkisar antara 19,37 -34,9% dengan rata-rata 24,37% termasuk kategori kerusakan tegakan tingkat ringan. Kerusakan tegakan tinggal rata-rata akibat penebangan adalah 16,27% dan akibat penyaradan kayu sebesar 8,1%. Operator chainsaw yang tidak terlatih/kurang berpengalaman cenderung mengakibatkan kerusakan lebih besar dibandingkan operator chainsaw yang sudah terlatih. Tipe kerusakan tegakan akibat penebangan baik pada areal yang landai, agak curam maupun curam didominasi oleh patah batang pohon. Tipe kerusakan tegakan tinggal akibat penyaradan umumnya berupa pohon yang roboh/miring. Kerusakan tegakan akibat pemanenan kayu dapat dikurangi dengan pengawasan yang lebih baik di areal penebangan dan memberikan pelatihan dan/atau penyegaran kepada operator chainsaw dan traktor sarad mengenai teknik penebangan dan penyaradan ramah lingkungan.Kata kunci: Pemanenan kayu, hutan alam, sistem tebang pilih, derajat kerusakan, tegakan tinggal 273
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.