Latar belakang: Sectio caesarea (SC) adalah operasi darurat terbanyak pada obstetrik. Spinal anestesia direkomendasikan untuk section cesarean. Akan tetapi, ffek samping spinal anestesia tersering (hipotensi) dapat menimbulkan efek samping fetomaternal. Spinal anestesia dosis rendah diduga dapat mengurangi efek samping spinal anestesia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan outcome spinal anestesia dosis rendah dibanding dosis biasa pada operasi section cesarean darurat. Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada 119 pasien yang menjalani SC dengan spinal anestesia. Kelompok A mendapat bupivacaine heavy 5mg + adjuvant (dosis rendah), kelompok B mendapat bupivacaine heavy 7,5mg + adjuvant (dosis rendah), kelompok C mendapat bupivacaine heavy >8mg + adjuvant (dosis biasa). Outcome diteliti yaitu tekanan darah dan nadi ibu menit ke 0,3,6,9. waktu capai ketinggian blok T10-T6, Bromage score, dan Apgar score bayi. Data penelitian dianalisa statistik menggunakan uji normalisasi dan homogenitas, Korelasi Spearman, One-Way ANOVA, Kruskal wallis dan Mann Whitney dengan p≤0,05. Hasil: Tidak ada beda yang signifikan antara tekanan darah dan nadi pada menit ke 0,3,6, dan 9, waktu capai Bromege 2-3 (p ≥ 0,05), waktu capai T10-T6 (p≥ 0,05) dan Apgar score pada ketiga kelompok penelitian. Akan tetapi waktu kembali Bromage 0 kelompok spinal dosis rendah dan dosis biasa memiliki beda yang signifikan (p ≤0,05). Kesimpulan: Outcome tekanan darah, nadi, waktu capai blok T10-T6, bromege score 2-3, Apgar score tidak berbeda signifikan pada spinal anestesia dosis rendah dibanding dosis biasa. Waktu kembali bromege 0 berbeda signifikan pada spinal anestesia dosis rendah dibandingkan dosis biasa.
Latar belakang: Fentanyl merupakan opioid sintetik yang poten, dengan berbagai kelebihannya sehingga fentanyl dijadikan pilihan utama agen premedikasi dan induksi anestesi umum. Kejadian batuk setelah pemberian bolus fentanyl intravena/ fentanyl induce cough (FIC) merupakan sesuatu yang tidak diharapkan pada kasus pembedahan tertentu sehingga pencegahan FIC haruslah dilakukan. Beberapa penelitian telah dilakukan namun kurang efisien, oleh karenanya pada penelitian ini dilakukan pemberian pre-emptive fentanyl dosis 25 μg untuk menurunkan FIC.Tujuan: Mengetahui efek pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg intravena terhadap insiden batuk setelah bolus fentanyl 2 μg/kgBB intravena.Metode: Empat puluh pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum dipilih secara acak untuk diikutkan dalam penelitian. Dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama (20 pasien) mendapat injeksi intravena normal salin 0,5 ml dan diikuti fentanyl 2 μg/kgBB dalam 2 detik, dan kelompok sisanya mendapatkan injeksi intravena fentanyl 25 μg sebelum fentanyl induksi. Digunakan tes Mann-Whitney dan uji korelasi Spearman untuk membandingkan dan menilai hubungan variabel.Hasil: Pemberian pre-emptive fentanyl menunjukkan nilai signifikansi 0.183 pada timbulnya batuk dibandingkan kelompok yang mendapat normal saline namun berkorelasi negatif. Hubungan insiden batuk diantara kedua kelompok bernilai tidak signifikan (p=0,08). Dari derajat batuknya, berbeda signifikan (p=0,043), dengan nilai koefisien korelasi negatif (-0,326) dan nilai yang signifikan (p=0,04).Simpulan: Pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg dapat menurunkan insiden FIC namun secara statistik tidak bermakna.Perlu penelitian selanjutnya untuk mengetahui rentang dosis pre-emptive fentanyl yang tepat serta teknik lainnya sebagai alternative untuk menurunkan insiden FIC
Latar Belakang : Preemptive analgesia dan multimodal analgesia mempunyai peranan penting dalam penanganan nyeri selama dan pasca operasi dengan memblok jalur nyeri yang terdiri dari tranduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Ketamin sebagai Anti NMDA (N metil D Aspartat) reseptor bekerja memblok jalur transmisi dan modulasi serta sinergis dengan opioid. Ketamin dosis kecil 0,15 mg/kgbb mempunyai efek preemptive analgesia dan tidak memiliki efek samping yang berat.Tujuan : mengetahui pengaruh pemberian preemptive ketamin 0,15 mg/kgbb iv terhadap intensitas nyeri pasca bedah onkologi mayor dengan anestesi umum pada 1,2 dan 3 jam pasca operasiMetode : Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda, bersifat eksperimental. Sampel penelitian adalah pasien usia 17-40 tahun, kriteria klinis ASA I-II, pendidikan minimal SMP, dan BMI antara 20-30 kg/M2 yang menjalani pembedahan elektif bedah onkologi mayor kategori nyeri sedang yang meliputi operasi struma dan mammae selain radikal mastektomi (MRM). Jumlah sampel adalah 44 pasien yang dibagi secara random menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok 1 (perlakuan) yang menerima ketamin 0,15 mg/kgbb dan kelompok 2 (kontrol) tanpa menerima ketamin 0,15mg/kgbb. Semua pasien menerima (multimodal analgesia) yaitu fentanyl (opioid), ketorolac (NSID) dan juga obat2an lain untuk anestesi umum. Intensitas nyeri pada semua sampel diamati pada 1, 2 dan 3 jam pasca operasi dengan menggunakan Verbal numerical rating scale (VNRS) yang setara dengan VAS (visual Analogue scale). Uji statistik normalitas menggunakan uji saphiro wilk diperoleh hasil bahwa data yang ada tidak terdistribusi normal sehingga dilakukan uji beda non parametrik mann whitney testHasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ketamin 0,15 mg/kgbb mengurangi nyeri akut lebih baik pada 1, 2 dan 3 jam pasca operasi. Pada 1 jam pasca operasi kelompok perlakuan memiliki nilai rerata VAS 0 atau lebih rendah 0,77 cm dbandingkan kelompok kontrol dengan nilai p<0,001. Pada 2 jam pasca operasi kelompok perlakuan memiliki rerata VAS 0,3 cm atau lebih rendah 1,4 cm bila dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan nilai p<0,001. Pada 3 jam pasca operasi kelompok perlakuan memiliki rerata 0,9 cm atau lebih rendah 1,6 cm dengan nilai p<0,001.Kesimpulan : Pada penelitian ini preepmtive ketamin 0,15 mg/kgbb iv memberikan pengaruh menurunkan intensitas nyeri pada 1 jam, 2 jam dan 3 jam pasca pembedahan onkologi mayor kategori nyeri sedang.
Latar belakang: Nyeri kronik pasca bedah mayor merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Faktor sosiodemografi menjadi salah satu perhatian dalam prevalensi kejadian nyeri kronik pasca bedah mayor dan belum ada data mengenai angka kejadian nyeri kronik dan faktor yang mempengaruhinya di Indonesia, khususnya di Malang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor sosiodemografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, dan tingkat pendapatan terhadap angka kejadian nyeri pasca bedah. Metode: Penelitian ini tergolong penelitian epidemiologi analitik dengan metode cross sectional pada 123 pasien yang menjalani operasi elektif bedah mayor di RS Dr. Saiful Anwar Malang periode Juli-Desember 2018. Penelitian dilaksanakan dengan metode wawancara pada responden. Variabel penelitian ini yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji korelasi Spearman pada SPSS 25.0. Hasil: Sebanyak 66 subjek tidak mengalami nyeri kronik dan 57 subjek mengalami nyeri kronik pasca bedah mayor. Tingkat pendidikan memiliki hubungan yang signifikan dengan dengan angka kejadian nyeri kronik (p=0,038). Akan tetapi hubungan yang terjadi bersifat lemah (koefisien korelasi Spearman =0,187). Faktor sosiodemografi di antaranya usia, jenis kelamin dan pendapatan tidak berhubungan dengan angka kejadian nyeri kronik pasca bedah mayor (p>0,05). Kesimpulan: Faktor tingkat pendidikan memiliki hubungan yang bersifat lemah dengan angka kejadian nyeri kronik pasca operasi bedah mayor. Akan tetapi, faktor sosiodemografi seperti usia, jenis kelamin, dan pendapatan tidak berhubungan dengan angka kejadian nyeri kronik pasca operasi bedah mayor.
Latar belakang: Thoracoscopy atau evaluasi ruang torak merupakan standard diagnosis untuk efusi pleura dan dapat juga digunakan untuk mengambil sampel tumor secara biopsi. Anestesi lokal umum digunakan untuk thoracoscopy, namun sering menyebabkan nyeri karena adanya incomplete block. Thoracic Paravertebral Block (TPVB) yang menawarkan blok unilateral secara keseluruhan dan memiliki efek analgesia jangka panjang dapat digunakan sebagai teknik anestesi pada Thoracoscopy. Kasus: Pasien wanita 44 tahun, berat badan 32 kg, tinggi 155 cm didiagnosa susp keganasan Lung Carcinoma, efusi pleura massive, anemia (Hb 8), Hipoalbumin (2,95), underweight (BMI 14,2), dan riwayat asma. Pasien mendapat tindakan Thoracoscopy biopsi. Thoracic Paravertebral Block dilakukan dengan teknik blind berdasarkan landmark tulang dengan predetermined teknik. Jarum diinsersikan pada ligament costo-transverse superior 1-1,5 cm dari batas superior vertebral transverse. Agen anestesi yang digunakan adalah 9 ml bupivacaine 0,5% (masing-masing 3 ml pada T3, T4, T5). Thoracic Paravertebral Block memberikan efek analgesia selama tindakan dan setelah tindakan thoracoscopy hingga 12 jam dengan Visual Analog Scale rendah selama thoracoscopy. Kesimpulan: Thoracic Paravertebral Block sangat efektif, nyaman, dan aman untuk tindakan thoracoscopy dengan mampu memberikan efek analgesia selama tindakan dan setelah tindakan thoracoscopy hingga 12 jam.
Latar belakang: Pasien pasca seksio sesarea dapat mengalami nyeri postoperatif dengan rerata skor nyeri 4,7 (skala 10). Komplikasi nyeri postoperatif pada pasien dengan komorbid kardiak dapat mengakibatkan disfungsi organ kardiopulmoner. Transversus abdominis plane block (TAP blok) sebagai blok saraf perifer memberikan analgesia pada dinding abdomen anterior. Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui skala nyeri post operatif, waktu mobilisasi dan lama hari rawat inap serta komplikasi kardiak post operatif pada pasien seksio sesarea dengan komorbid kardiak stenosis mitral berat yang diberikan TAP blok sebagai bagian multimodal analgesia Kasus: Pasien perempuan 31 tahun, kehamilan ke 2, usia kehamilan 34-36 minggu dengan Pre eklampsia berat, stenosis mitral berat, regurgitasi mitral ringan, regurgitasi trikuspid sedang,regurgitasi pulmonal ringan, ejection fraction (EF) 79,11%, hipertensi pulmonal high probability, Gagal jantung stadium B fungsional II. Menjalani tindakan seksio sesarea, dengan regional anestesi Sub Arachnoid Block. Setelah operasi dilakukan TAP blok bilateral dipandu ultrasound dengan regimen Ropivacaine 0,25% total volume 30 cc. Monitoring hemodinamik post operatif dilakukan di ruang rawat intensif. Pasien diamati skala nyeri selama dirawat, waktu mobilisasi dan lama hari rawat inap. Dari hasil pengamatan didapatkan hemodinamik stabil, skala nyeri 0-1 selama di rawat tanpa tambahan analgesia opioid, mobilisasi aktif dimulai hari ke 2, dan lama rawat inap selama 4 hari. Kesimpulan: TAP Blok sebagai bagian dari multimodal analgesia memberikan analgesia yang aman dan efektif pada pasien seksio sesarea dengan komorbid kardiak stenosis mitral berat, mencegah komplikasi kardiak, menurunkan penggunaan opioid, mempercepat waktu mobilisasi dan hari rawat inap sama dengan pasien normal.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.