Ada dua tujuan yang diharapkan dari penelitian ini yaitu: 1. Untuk mengetahui penerapan hukum di pengadilan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. 2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya disparitas putusan pengadilan dalam memutuskan kasus tindak pidana anak. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Normatif dan Empiris dengan pendekatan sosiologi hukum dan menggunakan studi komparasi putusan pengadilan Negeri. Sumber data yang digunakan yaitu putusan pengadilan negeri, Putusan Nomor: 41/Pid.Sus-Anak/2019/PN. Padang, Putusan Nomor: 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Tarutung, Putusan Nomor: 1/Pid.Sus-Anak/2019/ PN Masohi. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui peraturan Perundang-undangan, buku-buku, artikel, laporan penelitian, dan jurnal hukum yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum yang digunkan ialah analisis data komparatif yakni membandingkan tiga putusan pengadilan tentang pertanggungjawaban anak terhadap tindak pidana yang dilakukan.Hasil penelitian yang diperoleh dalam tulisan ini yaitu: 1. Penerapan Hukum di Pengadilan terhadap anak yang melakukan tindak pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. 2. Terjadinya Disparitas Putusan pengadilan selain karena adanya ketentuan dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang memberi kebebasan bagi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, juga dilatarbelakangi oleh pertimbangan hakim terhadap fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan.Kata Kunci : Tanggung Jawab Hukum, Anak, Tindak Pidana
Muhammadiyah has consistently been using the method of hisab wujûd al-hilâl (the calculation resulted in a matter of time and the position of beginning new moon of Qamariyyah) for about four decades from 1970 to the present time. This steadiness implies that this method turns to be an ideological identity of Muhammadiyah in determining the first day of the fasting month of Ramadhan. Here, this Islamic mass organization believes that a political effort with a particular identity will have a huge impact on making the method of hisab wujûd al-hilâl as a reliable reference to decide ru`yah (seeing the new moon when the sun set sat on 29 of the Qamariyah month), and on encouraging majority of Muslim in Indonesia to use it.
This paper discussed the implementation of the new MABIMS hilāl visibility criteria in the unification of the Hijriyah calendar in member countries (Malaysia, Brunei, Indonesia and Singapore). This research uses the approach of Astronomy and Grindle's theory of policy implementation. The data source comes from the MABIMS Muzakarah results document and related articles. The research results indicate that the new MABIMS moon crescent visibility criteria are part of a public policy that, in its implementation, requires two mutually supportive variables. First, the content of the policy in the form of the moon crescent visibility criteria (3⁰; 6.4⁰) was accepted by all member countries through the signing of an ad referendum on 8 December 2021. This acceptance will receive public support if it is beneficial to time management. Second, the context of implementation is carried out in stages by taking into the characteristics of the institutions involved in preparing the Hijriyah calendar. At the practical level, the policy can be well received by the public, except in Indonesia, which still faces obstacles. This is due to the policy in the three countries being carried out on a top-down basis, while in Indonesia, it is carried out on a bottom-up basis. Furthermore, determining of Ramadan, Shawwal, and Zulhijjah are still waiting for confirmation of the sighting of the moon (ru’yah). It related to the domination of ru’yah, and a strong distinction between the function of the calendar in civil administration and worship practice. Abstrak Makalah ini membahas penerapan kriteria baru visibilitas hilalMABIMS dalam penyatuan penanggalan Hijriyah di negara-negara anggota(Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura). Penelitian ini menggunakanpendekatan penerapan kebijakan Astronomi dan teori Grindle. Sumber databerasal dari dokumen hasil Muzakarah MABIMS dan artikel terkait. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa kriteria baru visibilitas hilal MABIMS merupakanbagian dari kebijakan publik yang dalam pelaksanaannya membutuhkandua variabel yang saling mendukung. Pertama, isi kebijakan berupa kriteriavisibilitas bulan sabit (3⁰; 6.4⁰) diterima oleh seluruh negara anggota melaluipenandatanganan referendum pada 8 Desember 2021. Penerimaan ini akanmendapat dukungan publik jika bermanfaat hingga manajemen waktu. Kedua,konteks pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan memperhatikankarakteristik lembaga yang terlibat dalam penyusunan penanggalan Hijriyah.Pada tataran praktis, kebijakan tersebut dapat diterima dengan baik olehmasyarakat, kecuali di Indonesia yang masih menghadapi kendala. Hal inidisebabkan kebijakan di ketiga negara dilakukan secara top-down, sedangkan diIndonesia dilakukan secara bottom-up. Selanjutnya, penentuan awal Ramadan,Syawal dan Zulhijah masih menunggu konfirmasi penampakan hilal (rukyah).Ini terkait dengan dominasi ru’yah, dan perbedaan yang kuat antara fungsipenanggalan dalam administrasi sipil dan praktik ibadah.
Kalender Hijriyah Muhammadiyah disusun dengan menggunakan metode hisab wujûd al-hilâl tanpa membedakan fungsi kalender untuk ibadah dan muamalat atau administrasi. Tiadanya pembedaan fungsi kalender ini menjadikan kalender Muhammadiyah lebih menunjukkan kepastian dalam penetapan hari-hari besar keagamaan sehingga memberikan kemudahan dalam membuat perencanaan kegiatan yang bernuansa keagamaan. Meskipun demikian, masih beragamnya metode yang digunakan dalam penyusunan kalender yang ada di Indonesia menyebabkan penetapan hari-hari besar keagamaan khususnya bulan-bulan yang terkait dengan ibadah masih belum seragam. Perbedaan dalam penggunaan metode ini mempunyai implikasi fikih yang signifikan seperti puasa Ramadan, hari raya, puasa Arafah, kurban dan zakat. Tulisan ini akan membahas persoalan tersebut dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu ilmu ushul fikih, ilmu astronomi, dan sosiologi. Abstract Muhammadiyah Islamic lunar calendar is composed on the methodological basis of the emergence of the Moon (wujud al-hilal). This method does not distinguish the function of calendar whether for worship, transaction or administrative objectives. The absence of such limit shows that the Muhammadiyah calendar system strives to put certainty in determining the dates of Islamic holidays so to make Muslims easy to prepare the events far before they are realized. However, unlike the Muhammadiyah, there are different methods of composing the Islamic lunar calendar amongst Islamic organizations in Indonesia. As a result, conflicts amongst Muslims often occur when determining the dates of Islamic worship and event. This, furthermore, has caused legal implication in Islamic law, such as in determining the beginning of the fasting month, the first day of idul fitri and the payment of zakat al-fitr, the fasting in the days of the hajj and the slaughtering of animals. This article will examines the issue of discrepancies in determining the beginning of the Islamic lunar calendar seen from the perspectives of Islamic legal methodology (usul al-fiqh), astronomy and sociology.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.