Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. Jenis limbah B3 rumah tangga walaupun jumlah atau konsentrasi yang kecil tetap mengandung bahan berbahaya beracun. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis dan menghitung volume/berat limbah B3 rumah tangga, mengetahui pemahaman dan pengelolaan limbah B3 yang dimiliki masyarakat, mendeskripsikan hubungan antara pendapatan dan pendidikan dengan pengetahuan dan pengelolaan limbah B3 rumah tangga serta menentukan rekomendasi tentang pengelolaannya. Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan menghitung volume dan jenis limbah B3 yang dihasilkan setiap rumah, pendataan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh rumah tersebut dalam rangka pengelolaan limbah B3 dan melakukan survey dengan menggunakan questionnaire/deep. Hasil penelitian terhadap 69 responden selama 8 minggu, rata-rata rumah tangga setiap minggu menghasilkan limbah B3 cair 0,8 liter dan 0,4 kilogram limbah B3 padat. Limbah B3 cair berupa sisa produk pembersih, minyak goreng kotor, oli bekas, sedangkan limbah padat berupa kaleng kemasan insektisida, baterai, dan bohlam. Masyarakat telah memiliki tempat sampah di rumah, namun hanya sedikit yang memiliki tempat sampah terpisah, sebagian besar tidak mengetahui arti dan jenis limbah B3, masyarakat masih membuang semua jenis sampah secara tercampur. Tidak terdapat hubungan pendapatan dengan pengelolaan limbah B3 rumah tangga, namun terdapat hubungan pendapatan dengan timbulan limbah B3 rumah tangga di kelurahan Pasar Tais. Tidak terdapat hubungan antara latar belakang pendidikan dengan timbulan limbah B3 rumah tangga, namun terdapat hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan dan pengelolaan limbah B3 rumah tangga di kelurahan Pasar Tais. Pemerintah harus menetapkan jenis-jenis limbah B3 yang bersumber dari limbah rumah tangga, memastikan pemberian label/tanda pada produk kebutuhan rumah tangga yang berpotensi menjadi limbah B3, dan mengedukasi masyarakat tentang potensi limbah B3 di sekitar mereka, serta pemerintah harus menyediakan sarana, prasarana serta pengelola limbah B3.Kata Kunci : limbah, b3, rumah tangga, pengelolaan.
Economic diversity has often been promoted as a means to achieve the economic goal of stability. Many empirical studies have also concluded that greater diversification in economic can reduce vulnerability and engendering financial development. The objective of this paper is to analyze the degree of economic diversification at village level. This research was conducted at twenty villages located around Kerinci Seblat National Park (TNKS) and determined purposively and surveyed. Twenty households from each selected village were selected using systematic random sampling method, so the total respondents were 400 households. Economic diversity at the village level was estimated using EDI suggested by Dewi, et al (2005).Research found that EDI value for each village studied varies from 0.20 to 1.00 with no village reaches 1.099, which is an ideal condition. The lowest EDI, i.e. 0.20, occurs in the village of Karang Dapo Atas and Karang Dapo Bawah, subdistrict of Bingin Kuning and the village of Ujung Tanjung II Subdistrict Embong Uram Karang. This value indicates that households in the village surveyed simply rely on one type of work, especially in the agricultural sector. This also means that not many households get into other employment sectors such as mining and or services/stalls/stores. By simply relying on agriculture as its main source of income, households tend to be vulnerable if there is a change in the agricultural sector, especially in sectors such as coffee and rubber plantations. Keywords: Economic Diversity, Kerinci Seblat National Park,
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui varietas sorgum, jenis aplikasi input FMA atau bahan organik yang sesuai untuk pertumbuhan sorgum di lahan suboptimal pesisir serta menentukan pengaruh interaksi yang terbaik. Penelitian ini dilakukan dengan teknik budidaya sorgum input rendah menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan dua faktorial sebanyak tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah 3 varietas sorgum; Kefa Coklat (V1), Numbu (V2) dan Samurai (V3). Faktor kedua berupa aplikasi fungi mikoriza arbuskular (FMA) dosis 5 g/tanaman (P1), kompos sawit dosis 5 ton/ha (P2), bokashi dosis 5 ton/ha (P3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas sorgum yang lebih berpotensi untuk dikembangkan di lahan pesisir sebagai hijauan pakan ternak adalah varietas samurai, sedangkan untuk hasil produksi adalah varietas numbu. Bahan pembenah tanah yang tepat untuk pertumbuhan dan hasil di lahan pesisir adalah aplikasi pupuk kandang dengan dosis 5 ton/ha dibandingkan dengan aplikasi pupuk TKKS 5 ton/ ha dan FMA 5 gr/ tanaman. Kombinasi Varietas sorgum kefa coklat dengan pupuk kandang sesuai untuk dikembangkan dilahan pesisir sebagai hijauan pakan ternak, sedangkan untuk hasil produksi biji adalah varietas numbu dikombinasikan dengan pupuk kandang. Kata Kunci : Lahan Pesisir, Varietas Sorgum, Pupuk Kandang, Mikoriza
Palm oil mill in Indonesia disposed of 4 million tons of fibers’ waste from oil palm fruits mesocarp in 2016. The waste has excellent potential as a growing medium for seedlings. The study aimed to analyze its fertilizer effect on bambang lanang seedling growth. The study was conducted from May to August 2018, at the nursery of Agriculture Faculty, Bengkulu University. A complete randomized design was applied with seven treatments and six replications. The treatments were controlled, NPK (2 g; P1), NPK and Osmocote® (1 and 1,5 g; P2), NPK and (1.5 and 2 g; P3), Osmocote® (1.5 g; P4), Osmocote® (2 g, P5), and Osmocote® (3 g, P6). The fibers’ waste from oil palm fruits mesocarp was chosen as the media. The addition of fertilizer yielded significantly different results in height, diameter, leaf number, and dry weight of seedlings. The treatments of P1, P2, and P3 gave better result on height (30.14-33.95 cm), diameter (5.65-5.97 mm), leaf numbers (11.04-11.17 leaf), leaf width (64.22-65.86 cm2), and dry weight (1.60-2.27 g seedling−1) than other treatments (P4, P5, and P6). The seedling sturdiness ratio for those treatments was 5.36-5.70 and could be classified as good seedlings. The P2 treatment could be applied as fertilizer to improve seedlings growth in nursery.
Most of the social forestry program plantations in Bengkulu are in the form of mixed planting of coffee or rubber trees. The type of land use affects the production and decomposition of litterfall, which play an important role in nutrient cycle. The aim of the research was to determine the production and decomposition rate of litterfall in coffee (Coffee robusta) monoculture, coffee and Gliricidia sepium (gliricidia) agroforestry, and rubber (Hevea brasiliensis) monoculture. The research was arranged in a systematic design with three treatments and fifteen replications. The variables measured included production, composition, and decomposition rate of litterfall. The collected data were analyzed using T-test. According to the results, the litter production in coffee monoculture, agroforestry of coffee and gliricidia, and rubber monoculture was 1051.5, 1001.5, and 662.5 Kg ha-1 4 months-1 with the decomposition rate about 5.13, 4.25, and 5.28 gr m-2 4 months-1, consecutively. The litterfall composition in the three types of land use consisted of leaf, twig, fruit, and flower. Leaf was the highest component of litterfall in coffee monoculture, agroforestry of coffee and gliricidia, and rubber monoculture, reaching 830.2 (78.99%), 646.7 (64.73%), and 391.0 (59.01%) kg ha-1, respectively. Nutrition analysis of leaf litterfall indicated that the highest content of C, N, P, and K was observed in agroforestry of coffee and gliricidia compared to other plantation types.
Komoditas kelapa sawit secara nasional dari segi luas dan produksinya semakin meningkat setiap tahunnya selama kurun waktu tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2015-2017. Tahun 2015 luas area perkebunan, tahun 2015 mencapai 11.260.277 ha/th dan pada tahun 2017 sebesar 12.307.677 ha/th. Faktor yang lain yaitu produksi kelapa sawit sebesar 31.070.015 ton/th dan pada tahun 2017 sebesar 35.359.384 ton/th (Dirjen Perkebunan, 2017). Akhir-akhir ini, perusahaan perkebunan baik milik negara maupun rakyat mulai melakukan pembaharuan dalam proses peremajaan. Permasalahan yang timbul pada saat peremajaan adalah tumbuhan bawah yang tumbuh dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan yang mengganggu tanaman akibat dari peremajaan secara konvensional sehingga dikembangkan teknik baru yaitu underplanting. Peremajaan dengan teknik konvensional ini sering ditemui permasalahan seperti biaya yang tinggi, terbukanya lahan secara besar-besaran dan timbulnya erosi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komposisi jenis tumbuhan bawah serta jenis asing dan jenis asli yang tumbuh pada tiga kondisi kebun kelapa sawit di PT. Bio Nusantara Teknologi (sawit yang tua (TM dan sawit muda (TI)) dan menghitung indeks keragaman jenis tumbuhan bawah pada ketiga kondisi kebun kelapa sawit. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuadrat. Ukuran kuadrat yang digunakan adalah 1x1 m. Banyaknya jumlah kuadrat mengacu pada metoda kurva spesies area dengan luas minimum 40 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi tumbuhan bawah pada TM ditemukan 20 jenis yang terdiri dari 5 jenis asli dan 15 jenis asing dan pada kebun TI ditemukan 20 jenis yang terdiri dari 8 jenis asli dan 12 jenis asing. Tingkat keragaman jenis tumbuhan bawah (H’) tergolong rendah dengan besaran masing-masing pada TM sebesar 0,637 dan TI dengan nilai 1,94. Jenis yang mendominasi pada kedua kondisi kebun kelapa sawit adalah Axonopus compressus dengan INP 130,238% (TM) dan 42,237% (TI). Kata Kunci: Kelapa Sawit, Underplanting, Komposisi Tumbuhan Bawah, Keragaman Jenis, Metode Kuadrat, Kurva Species Area
Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki potensi sebagai penyangga kehidupan masyarakat terutama bagi nelayan sekala kecil. Ekosistem mangrove mempunyai peran penting sebagai habitat utama bagi kepiting bakau(Scylla Spp). Penelitian tentang potensi kepiting bakau (Scylla spp) pada ekosistem mangrove guna mengetahui kondisi populasi kepiting bakau di alam sehingga dapat menjadi acuan dalam mengatur penangkapan dan sebagai landasan kebijakan pengelolaan penangkapan kepiting bakau untuk menjamin usaha penangkapan kepiting bakau secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Penelitian ini berdasarkan 3 jenis kerapatan mangrove, setiap stasiun dibagi menjadi 3 transek garis dengan masing-masing 4 plot (ukuran 10x10 m) tiap transek garis. Tiap plot di pasang bubu sebanyak 2 buah pada setiap minggu selama 4 bulan (Juli-Oktober). Hasil pada ekosistem mangrove di Kota Bengkulu memiliki potensi kepiting bakau sebanyak 1.183 ekor. Secara keseluruhan habitat kepiting bakau pada perairan kota bengkulu sangat mendukung dalam menunjang kehidupan kepiting bakau dengan keberadaan kerapata mangrove jarang, sedang dan rapat yang memiliki 7 jenis mangrove yaitu yaitu R.apiculata,S.alba, B.gymnoriza, A.lanata, X.Granatum, K.candel dan L. littoreae. Memiliki kisaran parameter fisika kualitas air suhu -29,250C, salinitas 11-26,250/00, pH 6,95-7,55 pasang tertinggi 80-106,25 cm dan kandungan C-Organik 4,18-5,83%. Hubungan total tangkapan kepiting dengan kerapatan mangrove dan Hubungan total tangkapan kepiting dengan kandungan C-organik pada sedimen masing-masing kedua variabel memiliki pengaruh hubungan yang kuat dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 80% dan 90%.nilai koefieien korelasi (r) di peroleh 0,89 dan 0,95. Kata Kunci: Potensi Kepiting Bakau, Ekosistem Mangrove
Kondisi lingkungan hidup yang makin buruk seperti pencemaran udara, peningkatan suhu dan penurunan air tanah memerlukan upayaperbaikan lingkungan, salah satunya adalah dengan pembangunan hutan kota. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pasar Baru Kecamatan Kota Manna Kabupaten Bengkulu Selatan pada bulan Maret sampai Mei 2012 dengan tujuan untuk mengetahui: (1) kondisi sosial ekonomi masyarakat (2) persepsi masyarakat mengenai pembangunan dan fungsi hutan kota ,dan (3) hubungan antara faktor sosial ekonomi dengan persepsi masyarakat Responden berjumlah 82 orang yang diambil dari 72 orang masyarakat umum perkotaan dan 10 orang pejabatan instansi pemerintah. Metoda analisis data adalah analisis deskriptif dan analisa kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat perkotaan tergolong makmur. Masyarakat rata-rata memiliki sikap positif (kategori III) terhadap pembangunan dan fungsi hutan kota. Variabel umur, pendidikan formal dan pendapatan merupakan faktor sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap persepsi masyarakat mengenai pembangunan dan fungsi hutan kota. Kata Kunci : Hutan kota, Persepsi, Faktor sosial ekonomi
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.