Justifikasi Hak Politik Mantan Narapidana: Perspektif Hak Asasi Manusia dan Perundang-Undangan

Abstract

Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 terkait pengujian yudisial yang membatalkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 yang menyatakan larangan menyertakan bakal calon yang merupakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi. Namun, keluarnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut memicu pro dan kontra. Di satu sisi, substansi peraturan yang mengatur pelarangan tersebut dianggap sebagai pencabutan hak politik warga negara bila dilihat dari perspektif hak asasi manusia dan akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena mengatur hal yang sebaliknya. Namun di sisi lain, ini merupakan langkah progresif yang menjadi harapan banyak pihak bahwa lembaga legislatif menunjukkan citra yang baik dan bebas dari korupsi. Tulisan ini mengangkat 2 (dua) rumusan masalah yakni: (1) bagaimanakah pengaturan melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait hak politik terpidana kasus korupsi dan (2) bagaimanakah justifikasi dimensi Hak Asasi Manusia terkait hak politik mantan terpidana kasus korupsi. Tulisan ini secara khusus menggunakan metode penulisan yuridis normatif melalui library research yang dianalisis dengan sistematisasi menjadi suatu tulisan ilmiah deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan pemberlakuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang menormakan larangan hak politik pasif bagi mantan terpidana mengandung sejumlah kelemahan dan pada akhirnya dianulir oleh Putusan Mahkamah Agung. Ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia terkait hak politik, dalam penerapannya harus ada limitasi waktu pencabutan hak.

Perlindungan Hak Konstitusional Di Indonesia

“…Dalam nuansa yang demokratis memang sudah sewajarnya pembentukan peraturan perundangundangan dilakukan secara demokratis pula dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, dari segala golongan terutama kali dari kelompok masyarakat yang lemah, termarjinalkan, atau bahkan minoritas pada suatu wilayah dimana peraturan perundang-undangan tersebut akan diterapkan (Munte et al, 2017). Hal ini tentu sejalan dengan tuntutan negara hukum yang awalnya ditujukan untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dan melindungi hak-hak masyarakat (Aryani & Hermanto, 2020).…”

Participation of Former Corruption Prisoner in Elections in Islamic Perspective

“…by some democracies. Elections are considered as symbols and benchmarks of the democratic system (Aryani & Hermanto, 2020). The General Election (Pemilu) is a democratic party in the context of realizing people's sovereignty, which provides the opportunity for all citizens to democratically elect their leaders and representatives for the sake of increasing welfare.…”

Deconstruction of the Concept of Former Convicts in the Law Number 10 Year of 2016 Concerning the Election of a Regional Head

“…One of the requirements as stated in the Law Number 10 Year of 2016 as required in the stipulation of the Article 7 (2) letter g is that one is never a convict on the basis of the decision made by the court with permanent legal force or for a former convict, one openly and sincerely tells the public that one is a former convict. The rationale of this stipulation is greatly various such as to prevent corruptions [1], to avoid corrupt leaders [2] and to assure the integrity of a leader [3].…”

“…One of the requirements is as expressed in the stipulation of the Article 4 (1) letter f of the Regulation of the General Elections Commission Number 1 Year of 2020, namely one is never a convict based on a court decision that has got a permanent legal force since one has committed a crime threatened with 5 (five) years or more in jail. The studies of the requirements of the candidacy in the election of a regional head has been done by Aryani and Hermanto [3], Amrullah [4] also by Hardiyanto et al [5].…”