Matematika dan budaya adalah dua hal yang berkaitan erat. Namun terkadang masyarakat menganggap matematika dan budaya sebagai sesuatu yang tidak berkaitan. Anggapan lainnya bahwa matematika yang diperoleh di sekolah berbeda dengan matematika yang ditemukan anak dalam kehidupan sehari-hari, sehingga matematika sulit dipahami oleh siswa. Belajar matematika lebih efektif dan bermakna jika pengajaran dimulai dengan mengakrabkan siswa dengan praktek matematika yang ditemukan dalam lingkungan sosial budaya siswa sendiri. Matematika dalam budaya dikenal dengan istilah etnomatematika. Salah satu objek etnomatematika yang dapat digunakan terdapat pada artefak berupa bangunan bersejarah. Salah satau bangunan bersejarah pada Sulawesi Tenggara yaitu Benteng Keraton Buton. Tujuan dari penelitian eksploratif ini adalah untuk menggali dan mengeksplorasi konsep matematika apa saja yang ada pada Benteng Keraton Buton yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran matematika kontekstual. Melalui eksplorasi, dokumentasi, studi literatur, dan observasi di kawasan Benteng Keraton Buton, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat konsep bangun datar pada beberapa bagian Benteng Keraton Buton. Bagian-bagian tersebut berbentuk persegi panjang, persegi, trapesium dan segitiga siku-siku. Pembelajaran matematika menggunakan objek etnomatematika memberikan makna kontekstual yang diperlukan untuk banyak konsep matematika yang abstrak. Untuk mengakomodasikan peran etnomatematika dalam pembelajaran, guru perlu memfasilitasi sehingga siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran matematika.
This study aims to see the effect of perceptions received by tourists visiting intention to Toba Lake, Samosir Regency. A quantitative approach method was used by using statistical data in multiple regression analysis. The population was domestic tourists and the sample was 325 respondents who were obtained using random sampling techniques. The results were divided into (1) a significant effect and positive destination accessibility and simultaneously on the intention in tourist visits 2) the ability of the independent variables in explaining the related variables was 53.8% the remaining 46.2% from other variables not discussed in this study 3) the influence of accessibility variable on tourists' visiting intention is strong. From these results it can be concluded that accessibility according to the Apollo concept needs to be improved by the manager of tourist destinations at Toba Lake because the role of accessibility affects the intention to visit tourists to Toba Lake. Keywords: Real Accessibility, Destination Accessibility, and Visiting Intention
Abstrak Banyaknya peluang kerja dari luar negeri yang ditawarkan untuk perawat Indonesia perlu diimbangi dengan kejelasan informasi tentang tahapan penempatan perawat ke luar negeri. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tahapan sebelum penempatan sampai dengan penempatan ke negara tujuan beserta kendala yang dihadapi agar calon perawat yang akan bekerja ke luar negeri memiliki gambaran alurnya dan dapat mengantisipasi kendala yang mungkin timbul. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Informan adalah perwakilan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) di Jakarta dan perawat di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur yang pernah bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar negeri. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan analisis data dimulai dari telaah data, reduksi data, kategorisasi data dan menginterpretasikan data. Tahapan perawat bekerja ke luar negeri secara umum dimulai dari tahap pendaftaran, tes tertulis, tes wawancara, tes kesehatan, proses matching, tes kesehatan, pembekalan akhir pemberangkatan, dan penempatan di tempat kerja di luar negeri. Persyaratan administrasi dalam tahap pendaftaran bisa berubah/berbeda setiap tahun. Kendala yang dihadapi saat bekerja di luar negeri adalah culture shock, kurangnya kemampuan bahasa, dan rasa bosan. Sebaiknya lama pelatihan/pembekalan dikaji kembali, perawat perlu memaksimalkan proses matching dengan user untuk mendapatkan informasi gambaran pekerjaan, dan perlunya kejelasan komitmen dari perawat agar mereka bisa mengaktualisasikan diri untuk mengurangi rasa bosan. Kata kunci: Penempatan, tahapan, kendala, luar negeri, perawat Abstract The large number of overseas employment opportunities offered to Indonesian nurses needs to be balanced with clear information about the stages of placement nurses abroad. The purpose of this study is to determine the stages before placement until placement to the destination country along with the obstacles faced so that prospective nurses who will work abroad have a picture of the stages and can anticipate obstacles that may arise. This research is a qualitative research. The informants were Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) representatives in Jakarta and nurses in Jakarta, West Java and East Java who have worked in health service facilities abroad. Data is collected through in-depth interviews and data analysis starting from data examine, data reduction, data categorization and data interpretation. Stages of nurses working abroad generally start from the registration stage, written test, interview test, medical test, matching processes, medical test, final debriefing on departure, and placement in workplaces abroad. The administrative requirements in the registration stage can change/differ every year. The obstacles faced when working abroad are culture shock, lack of language skills, and feeling bored. It is recommended that the length of training/debriefing be reviewed, nurses need to maximize the matching process with the user to get job description information, and the need for clarity of commitment from nurses so that they can actualize themselves to reduce boredom. Keywords: Placement, stages, obstacle, overseas, nurse
Abstrak Permenkes 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional menyebutkan bahwa penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan berupa fasilitas kesehatan tingkat pertama dan rujukan tingkat lanjutan. Minat masyarakat untuk memanfaatkan penyelenggara pelayanan kesehatan dengan JKN akan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya persepsi pasien akan mutu pelayanan kesehatan, baik pada pelayanan kesehatan tingkat pertama ataupun pada fasilitas kesehatan rujukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pasien rawat jalan peserta JKN terhadap penyelenggara pelayanan kesehatan rujukan di Puskesmas X Kota Depok. Penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang dilaksanakan di Puskesmas X Kota Depok, pada bulan Agustus 2017. Informan dikumpulkan di Puskesmas, kemudian dilakukan focus group discussion (FGD). Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik informan, persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit yang menjadi rujukan Puskesmas X. Pemilihan informan adalah pasien yang pernah berobat di Puskesmas X dan melakukan rujukan ke rumah sakit dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di Puskesmas X cukup baik, informasi alur rujukan disampaikan secara jelas. Permohonan rujukan di Puskesmas menurut informan lebih nyaman karena proses rujukan mudah dan pasien mendapatkan rujukan langsung untuk beberapa kali kunjungan ke rumah sakit sehingga tidak harus sering kembali ke Puskesmas. Namun persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan pada rumah sakit rujukan kurang baik karena pelayanan yang diberikan masih jauh dari harapan masyarakat. Kata kunci: Persepsi, Pelayanan kesehatan, Puskesmas, Rujukan Abstract Permenkes 71 of 2013 on Health Services on National Health Insurance states that the providers of health services include all Health Facility in cooperation with BPJS Health in the form of first rate health facilities and advanced level referral. Public interest to utilize health service providers with JKN will be influenced by several factors such as the patient’s perception on the quality of health service, either at first level health service or at referral health facility. To determine the outpatient JKN member’s perception to referal health services at X Public Health Center Depok. The research was descriptive with qualitative approach which was carried out at X Public Health Center Depok, in August 2017. Informants were collected at Puskesmas, then conducted focus group discussion (FGD). The data collected include the characteristics of informants, public perceptions of health services at health centers and hospitals that became the reference of X Community Health Center. Selection of informants were patients who had been treated at X Health Center and made referral to the hospital within the last one year. The results showed that public perception of health service at X Public Health Center was good enough, the referral flow information was presented clearly. Referral application at Puskesmas according to informant is more convenient because the referral process is easy and the patient get direct referral for several visit to hospital so that they do not have to return to Puskesmas often. However, the public perception on the implementation of health service at referral hospital is not good because the service given is still far from the expectation of society. Keywords : Perception, Health Care, Primary Health Care, Referral
Abstrak Setiap puskesmas harus menyelenggarakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) esensial tanpa melihat kriteria puskesmas. UKM esensial meliputi 5 jenis pelayanan, yaitu promosi kesehatan; kesehatan lingkungan; kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana; pelayanan gizi; dan pencegahan dan pengendalian penyakit. Tujuan dari penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran pelaksanaan UKM esensial di puskesmas terpencil dan sangat terpencil di wilayah Indonesia. Data diperoleh dari hasil survei lokasi calon penempatan tim Nusantara Sehat Tahun 2016 sebanyak 131 unit puskesmas terdiri dari 74 puskesmas terpencil dan 57 puskesmas sangat terpencil. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 87,0 persen puskesmas melaksanakan 5 jenis pelayanan esensial dan masih terdapat puskesmas yang hanya melaksanakan 3 jenis pelayanan yaitu sebesar 1,5 persen. Pelayanan kesehatan lingkungan merupakan jenis UKM esensial yang paling banyak tidak dapat diselenggarakan oleh puskesmas. Belum semua jenis tenaga kesehatan ada di puskesmas terpencil dan sangat terpencil. Terkait dengan pelaksanaan UKM esensial jenis tenaga yang masih kurang di daerah terpencil dan sangat terpencil yaitu dokter, tenaga kesling, tenaga pelaksana gizi dan tenaga kesehatan masyarakat. Peningkatkan kemampuan Puskesmas untuk menyelenggarakan UKM esensial secara menyeluruh baik di puskesmas terpencil maupun puskesmas sangat terpencil, perlu didukung dengan tenaga yang memiliki kompetensi sesuai dengan jenis UKM esensial. Abstract Every health center must organized an essential public health effort (essential UKM’s), without looking at the health center’s criteria. Essential UKM’s are consist of five programs, namely health promotion; environmental health; health of maternal, child, and family planning; nutrition services; and prevention and control of diseases. The purpose of this study is to get an overview of the implementation of the essential UKM’s in remote areas and very remote health centers. Data obtained from the survey of Healthy Archipelago team based placement in 2016, as many as 131 units of health centers, consisting of 74 remote area health centers and 57 very remote area health centers. Result of this study showed that 87,0 percent health centers organize a complete 5 programs of essential UKM’s, but there are 1,5 percent of health center that only organize three programs of essential UKM’s. Environmental health was an essential program that most would be un-organized by health center. Not all types of health workers are in remote and very remote health clinics. Associated with the implementation of essential UKM’s, personnels that are still lacking in remote and very remote areas is doctor, environmental health, nutritionist and public health. To improve the ability of the health center organized a complete essential UKM’s throughly both health center in remote areas and very remote areas, need to be supported by of human resources for health who have appropriate competence with essential UKM’s.
Abstrak Kualitas pendidikan tenaga kesehatan yang belum merata salah satu masalah sumber daya manusia kesehatan di Indonesia. Bidan adalah tenaga kesehatan yang menempuh pendidikan kebidanan di institusi DIII kebidanan. Institusi kebidanan dituntut mampu menghasilkan bidan yang berkualitas dan kompeten sebagai pemberi layanan kesehatan ibu dan anak. Global Alliance Vaccines and Immunization (GAVI) sebagai organisasi internasional mendorong dilakukannya penelitian pendidikan DIII kebidanan di Indonesia. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran penyelenggaraan pendidikan DIII kebidanan melalui pendekatan sistem input, proses, dan output. Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan pendekatan kuantitatif yang dilaksanakan di 18 institusi pendidikan DIII kebidanan di 5 provinsi, yaitu Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan, Papua Barat, dan Papua pada tahun 2013. Analisis menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian menggambarkan adanya perbedaan baik pada input, proses, maupun output antar institusi pendidikan menurut wilayah maupun kepemilikan institusi. Terdapat perbedaan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa menurut wilayah dan provinsi (p<0,05). Terdapat perbedaan pengetahuan mahasiswa di institusi pendidikan DIII kebidanan berdasarkan kepemilikan institusi. Tidak terdapat perbedaan keterampilan mahasiswa di institusi pendidikan DIII kebidanan milik pemerintah dan swasta (p=0,062). Perlu peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan DIII kebidanan agar menghasilkan lulusan yang kompeten berbasis wilayah dan kepemilikan institusi pendidikan DIII kebidanan. Kata kunci: pendidikan vokasi, kebidanan, GAVI Abstract The unequality in health workers education quality is one of human resources for health’s problems in Indonesia. Ones who want to become a midwife should attend midwifery education. Diploma III (vocational) midwifery education institution as an education provider of midwifery must produce qualified and competent midwives that will perform their function as maternal and child health (MCH) care provider. The Global Alliance Vaccines and Immunization (GAVI) as an international organization that focuses on the MCH programs in Indonesia, encourages research aiming to describe implementation of Diploma III midwifery education through a system approach (input, process and output). This is a cross-sectional study with quantitative approach that was held in 18 Diploma III midwifery education institution which were spread in 5 provinces: West Java, Banten, South Sulawesi, West Papua and Papua in 2013. The analysis used were chi-square test. The results described differences either on input, process, and output among educational institutions by region and institutional ownership. There was a difference of students’ knowledge and skill by region and province (p <0,05). There was also a difference of the students’ knowledge in midwifery education institution based on institutional ownership. There were no differences in student skills between public and private educational institution (p = 0,062). It is necessary to improve the quality of DIII midwifery education in order to produce competent graduates based on the region and the ownership. Keywords : vocational education, midwifery, GAVI
Abstrak Bidan sebagai tenaga kesehatan strategis yang berperan dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak dituntut memiliki kompetensi tinggi untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kompetensi yang tinggi dapat tercapai bila penyelenggara pendidikan profesi bidan memenuhi standar penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan data Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) tahun 2016, nilai rata-rata uji kompetensi DIII kebidanan hanya 41,08. Peserta uji kompetensi yang belum lulus sebanyak 46,5%. Hasil yang masih jauh dari harapan juga ditunjukkan dari rerata try out uji kompetensi tenaga kesehatan tahun 2012 hingga tahun 2015 yang cenderung menurun. Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi identifikasi kompetensi bidan berdasarkan Kepmenkes 369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi bidan pada hasil Risdiknakes tahun 2017. Kajian dilakukan menggunakan observasi, wawancara mendalam dan literatur review. Informan adalah bidan di puskesmas dan pakar kebidanan. Hasil kajian menunjukkan bahwa kompetensi bidan di fasilitas pelayanan kesehatan masih belum sesuai standar. Beberapa faktor dalam penyelenggaraan pendidikan kebidanan turut membentuk kompetensi bidan yang dihasilkan. Proses rekrutmen calon peserta didik, kualitas dosen, dan proses penyelenggaraan pendidikan kebidanan secara keseluruhan merupakan komponen yang harus menjadi fokus untuk menghasilkan bidan yang sesuai dengan standar kompetensi seperti tercantum dalam Kepmenkes Nomor 369/MENKES/SK/III/2007. Kata kunci: kompetensi bidan, kajian kebidanan, pendidikan bidan, kurikulum kebidanan Abstract Midwives are strategic health workers who play an important role in maternal and child health services. They are required to have well competencies to run their tasks properly. Well, competencies can be achieved if the midwife's professional education providers meet the standards. Based on the Indonesian Health Workers' Assembly (MTKI) data in 2016, the average value of the DIII midwifery-competency test was only 41.08. Participants who failed the competency test were as much as 46.5%. It is still far from the expectation as the average value of health workers’ competency tests try out between 2012 to 2015 tends to decline. This study aims to identify midwife competencies based on Minister of Health's decree No. 369/MENKES/SK/III/2007 on midwives' profession standards and the results of the 2017 Research on Health Workers’ Education (Risdiknakes). The study was conducted using observation, in-depth interviews, and literature review. Informants are midwives at primary health care and midwifery experts. The results of the study indicate that midwife competencies in health care facilities are still not up to standard. Several factors in the administration of midwifery education also shape the competence of the midwives produced. The process of recruiting prospective students, the quality of lecturers, and the process of conducting midwifery education as a whole are components that must be the focus to produce midwives that comply with the competency standards in Minister of Health's decree No. 369/MENKES/SK/III/ 2007. Keywords: midwife competencies, midwifery studies, midwife education
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.