Lantunan ayat Al-Quran dapat menstimulasi β endorfin yang dihasilkan hipofisis anterior otak. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh lantunan ayat Al-Quran terhadap intensitas nyeri dan kebutuhan opioid tambahan pascaseksio sesarea dengan regional spinal. Metode penelitian adalah eksperimental secara acak terkontrol buta tunggal pada 32 ibu hamil berusia >18 tahun dan beragama islam di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan April–Mei 2019. Data jumlah penggunaan opioid tambahan pascaoperasi selama 24 jam yang diberikan dengan patient controlled analgesia (PCA) dianalisis dengan Uji Mann-Whitney. Hasil perhitungan statistik diperoleh penggunaan opioid tambahan pada kelompok lantunan Al-Quran lebih sedikit dibanding dengan kelompok kontrol (21,87 mcg vs 107,87 mcg) dengan perbedaan yang sangat bermakna (p<0,0001). Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa lantunan ayat Al-Quran sebagai terapi tambahan penatalaksanaan nyeri pascaseksio sesarea menurunkan penggunaan opioid tambahan.Effect of Quran Recital on Additional Opioid Requirement in Post-Cesarean SectionThe recitation of Al-Quran could stimulate β endorfins which is produced by anterior pituitary. This study aimed to identify the effect of listening to Al-Quran recitation on pain intensity and additional opioid requirement in patients after spinal cesarean section surgery. This was a randomized single blind controlled experiment on 32 pregnant moslem women over 18 years old treated in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in April 2019-May 2019. The amount of additional 24-hours post-operative opioid requirement using Patient Controlled Analgesia (PCA) was analyzed by the Mann-Whitney Test. Results showed that the use of additional fentanyl in the Al-Quran recitation group was significantly less than in the controlled group(21.87 mcg vs 107.87 mcg) (p<0.0001). Therefore, Al-Quran recitation as an additional therapy in the management of pain is able to reduce the dose of additional fentamyl needed in postcaesarean section patients.
Angka kejadian acute kidney injury (AKI) di ICU tergolong tinggi dengan penyebab utama adalah sepsis dan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi lama rawat dan mortalitas pasien di ICU. Angka kejadian, lama rawat, dan mortalitas AKI pada ICU di Indonesia belum diketahui. Tujuan penelitian ini mengetahui angka kejadian AKI, lama rawat dan mortalitas pasien AKI di ICU RSUP dr Hasan Sadikin pada tahun 2018. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan pada 148 pasien yang dirawat di ICU RSUP dr. Hasan Sadikin Tahun 2018. Diagnosis AKI ditentukan melalui kriteria KDIGO dengan melihat peningkatan kreatinin serum dan penilaian urine output. Penelitian ini dilakukan mulai September 2019 sampai Februari 2020. Pada penelitian ini diperoleh sebanyak 61 pasien (41,2%) dengan diagnosis AKI, mayoritas pasien didiagnosis AKI tahap 3 yaitu sebanyak 32 pasien (53%). Sebanyak 14,8% pasien mendapatkan renal replacement therapy (RRT. Rerata lama rawat pada pasien AKI di ICU, yaitu 9,4±7,2 hari dan mortalitas sebesar 77%. Simpulan, angka kejadian AKI di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tergolong tinggi, yaitu 41,2% serta mortalitas yang juga tinggi, yaitu 77%.
Pandemi Coronavirus disease 2019 (COVID-19) memberi dampak ke seluruh aspek, salah satunya dalam pelayanan kesehatan. Skrining praoperatif menjadi salah satu hal penting dalam persiapan dan pemilihan pasien yang akan menjalani operasi elektif di masa pandemi COVID-19. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sensitivitas dan spesifisitas kuesioner COVID-19 yang digunakan untuk skrining pasien praoperatif di RSUP Dr. Hasan Sadikin. Penelitian dilakukan di Unit Rekam Medis RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Februari 2021 hingga Maret 2021. Penelitian ini merupakan studi deskriptif retrospektif dengan desain cross sectional (potong lintang) untuk membandingkan hasil kuesioner dengan hasil PCR COVID-19 yang diambil dari data pasien praoperatif bulan Juni 2020 hingga Agustus 2020. Hasil penelitian didapatkan bahwa sensitivitas kuesioner COVID-19 untuk skrining pasien praoperatif di RSUP Dr. Hasan Sadikin sangat lemah (36,4%), sedangkan spesifisitasnya sangat kuat (97,2%). Rasio kemungkinan positif sempurna (13), sedangkan rasio kemungkinan negatif cukup (0,65). Simpulan penelitian ini kuesioner COVID-19 kurang baik bila digunakan pada populasi dengan prevalensi yang rendah, tetapi cukup baik untuk menyaring pasien yang sehat, namun masih belum dapat dijadikan sebagai alat uji diagnostik, masih membutuhkan pemeriksaan penunjang lainnya untuk mendiagnosis COVID-19.
Sejak tahun 2007 penyebab lain ensefalitis diketahui adalah autoimmun selain virus sebagai penyebab terbanyak (69%) dengan angka kematian di dunia 8-18,45%. Ensefalitis anti-NMDAR adalah ensefalitis autoimun akibat reaksi antibodi terhadap antigen membran ekstraseluler, subunit NR1, yaitu reseptor glutamat NMDA di sinapsis susunan saraf pusat. Kasus ensefalitis NMDAR sangat jarang dijumpai, berdasarkan penelitian yang teridentifikasi hanya 1% pasien usia 18-35 tahun yang dirawat di Unit Perawatan Intensif (UPI), namun dengan penatalaksanaan yang tepat dapat meningkatkan prognosis pasien. Pasien laki-laki, usia 36 tahun dikonsulkan ke UPI RSHS setelah 10 hari rawatan di Neuro High Care (NHC) pada bulan Agustus 2019 dengan penurunan kesadaran disertai riwayat kejang berulang dengan diagnosis ensefalitis anti-NMDAR. Kombinasi obat anti-viral, anti-epilepsi, dan metilprednisolon yang diberikan sebelumnya di ruangan tidak memberikan perbaikan klinis bermakna. Selama perawatan di UPI pasien diberikan terapi plasmafaresis dan menunjukkan perbaikan secara signifikan. Bangkitan kejang berulang dapat berupa kejang parsial, kejang generalisata dan status epileptikus. Manifestasi kejang diduga terjadi karena terbentuknya antibodi yang menyerang reseptor glutamat NMDA dengan target utama NR1. The American Society for Apheresis merekomendasikan plasmaferesis sebagai pilihan terapi utama. Simpulan, terapi plasmafaresis dalam tata laksana kasus ensefalitis anti-NMDAR merupakan pilihan tepat karena terbukti efektif dan efisien dalam perbaikan klinis pasien melalui mekanisme penurunan titer antibodi terhadap reseptor NMDA.
Running had been known producing a posterior muscle tightness in lower extremity, particularly calf muscles, resulting in a relative equinus deformity. Numerous study reported the association between equinus deformity and foot pain, partially due to the increased plantar pressure of forefoot. This study was directed to find a relation between running intensity and increased forefoot plantar pressure. Subjects were divided into two groups according to running intensity as classified as runner or non-runner. Forefoot plantar pressures data were obtained using a foot imprinter and analyzed into numerical values. Ankle maximum dorsiflexion was also examined in an extended knee to detect the calf tightness. Mean forefoot plantar pressure value was Grau 2.89 (range 2-4) in runner group, and Grau 2.15 (range 1-4) in non-runner group (p=0.004). Ankle maximum dorsiflexion was also limited in runner group (16.05±1.98⁰) compared with 19.30±1.38⁰ in non-runner group (p<0.001). There was an association found between running intensity and plantar pressure elevation. Considering the potential damaging effects to the foot, it is recommended for runners or treating physician to look into this problem as well as to make sure that regular calf stretching is advocated.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.