Prevalensi penggunaan antibiotik dalam swamedikasi cukup tinggi di berbagai kalangan tak terkecuali mahasiswa. Penggunaan antibiotik dalam swamedikasi dapat meningkatkan resistensi antibiotik dan efek samping. Tingkat pengetahuan berpengaruh pada penggunaan antibiotik dalam swamedikasi yang tepat dan bijak. Penelitian bertujuan untuk menggambarkan tingkat pengetahuan mahasiswa tentang penggunaan antibiotik dalam swamedikasi. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juli 2018 di Unit Pelaksana Tahun Pertama Bersama Universitas Mataram menggunakan desain potong lintang. Sejumlah 400 sampel dipilih secara acak. Data karakteristik demografi dan tingkat pengetahuan diperoleh dari kuesioner yang sudah tervalidasi, kemudian dianalisis secara deskriptif. Dari 421 mahasiswal, 379 pernah menggunakan antibiotik yang terdiri dari 119 laki-laki dan 260 perempuan dengan rata-rata usia 17-18 tahun. Latar belakang mahasiswa sebagian besar berasal dari SMA. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan mahasiswa tergolong tinggi (5,4%), sedang (63,1%), dan rendah (31,4%). Pengetahuan terkait kondisi dan dampak penggunaan antibiotik yang tidak tepat perlu diperbaiki. Tingkat pengetahuan responden tergolong sedang sehingga diperlukan peningkatan pemahaman penggunaan antibiotik yang tepat dan bijak.
Stachytarpeta jamaicensis L. Vhal (SJ) tea has been empirically used as an anthelmintic, but scientific evidence on its use as an anthelmintic against Fasciola sp. is still limited. The aim of this study was to determine the effective concentration of SJ tea as an anti-Fasciola. S. jamaicensis leaves were cut, dried and then packed in the form of tea bags. The presence of secondary metabolites in the tea was also analyzed phytochemically. The anthelmintic activity assay of SJ tea was carried out using an in vitro experimental design with a post-test with control group design. The in vitro test consisted of negative control (0.9% NaCl), positive control (10% Albendazole) and SJ tea with a concentration of 10%, 5%, and 2.5%. The worm’s movement was observed and the time required for the death of Fasciola was recorded and analyzed. Phytochemical analysis shows that SJ tea contained alkaloid compounds, flavonoids, saponins, tannins and triterpenoids. Time required for death of Fasciola in the positive control, the negative control, the tea concentration of 10%, 5%, and 2.5% were 18.75, 168.75, 23.75, 42.5, and 66.25 min, respectively. S. jamaicensis tea with a concentration of 10% showed comparable effectiveness (p>0.05) to standard reference 10% Albendazole as an anti-Fasciola and resulted in the fastest death of Fasciola fluke compared to other concentrations of the tea. The results of this study indicate that SJ tea can be used as an alternative in overcoming Fasciola infestation. Further works are required to determine its safety when used in vivo.
Latar Belakang: Prevalensi paramphistomiasis di provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2014 mencapai 20,7%. Tujuan penelitian untuk membandingkan aktivitas infus bunga Widuri berbagai konsentrasi terhadap Paramphistomum spp. secara in vitro terhadap Albendazol 10% b/v. Metode: Paramphistomum dewasa dikelompokkan ke dalam 5 kelompok : kontrol negatif (larutan NaCl 0,9% b/v), kontrol positif (Albendazol 10% b/v), dan infus bunga Widuri (5, 20 dan 40% b/v). Tiap kelompok diinkubasi pada suhu 37oC, kemudian diamati waktu kematian setiap 15 menit selama 5 jam. Persentase mortalitas ditentukan dan dianalisis secara statistik dengan parametrik dan non-parametrik menggunakan perangkat lunak SPSS v.16; Hasil: Rerata waktu kematian untuk tiap kelompok berturut-turut 270; 23,33 ± 5.77; 16,67 ± 11.55; 103,33 ± 5.77; dan 146,67 ± 5.77 menit. Kesimpulan: Infus bunga Widuri 5% b/v efektif sebagai antiparamphistomiasis ditinjau dari rerata waktu mortalitas yang berbeda bermakna (p<0,05) lebih rendah dibandingkan Albendazol 10% b/v.
The prevalence of pediculosis reported in Asia has ranged from 0.7% to 59%. High resistance and side effects is a challenge in using the pediculicidal agents. The widely use and empirical as well as scientific studies of traditional plants for anti-lice were already done, one of them is cempaka. The aim of this study was to determine the pediculicidal activity of cem-ceman white cempaka flower (Michelia alba DC.) on Pediculus humanus capitis in vitro. The white cempaka flowers made into cem-ceman preparations by mixing and soaking in coconut oil until 3 days. Pediculisidal activity was tested by filter paper diffusion test method with 3 replications. Data were analyzed using Kruskal-Wallis followed by post hoc Mann-Whitney Method test with software SPSS v.16. The phytochemical screening showed that sample contains alkaloid, tannin, saponin, and triterpenoid. Pediculidal activity test showed that cem-ceman white cempaka flower has pediculicidal effect in 10% concentration (w/v) with 66.67% mortality and 15% concentration (w/v) with 77.33% mortality. In conclusion cem-ceman white cempaka flowers has pediculicidal activity at concentration 10% and 15% but lower than permethrin 1% (p<0.05).
Pineapple peel (Ananas comosus (L.) Merr.) has a potential natural-based anthelmintic agent. This study aimed to determine the effective concentration of pineapple peel juice against Paramphistomum sp. in vitro. Adults Paramphistomum sp. were divided into 5 test groups, the control group contained Albendazole 10% w/v, the nontreatment group contained NaCl 0.9% w/v and the treatment group contained pineapple peel juice with concentration of 12.5, 20, and 25% w/v. The number of live flukes and the motility scores were recorded every 15 minutes for 5 hours of incubation. The Survival Index (SI) and Relative Motility (RM) of flukes were calculated and statically analyzed using SPSS version 23 software. SI values of flukes in the 12.5, 20, and 25% w/v concentration of treatment group were 46.3, 50.0, and 38.9% respectively. RM values of flukes in the 12.5, 20 and 25% w/v concentration of treatment groups were 39.1, 42.0, and 34.1 respectively. RM values of flukes in the 12.5, 20 and 25% w/v concentration of treatment groups were 39.1359, 42.0249, and 34.1174 respectively. This research showed that, pineapple peel juice 25% w/v was effective against Paramphistomum sp. with survival index and relative motility values comparable to Albendazole 10% w/v (p <0.05).
Dari bulan Juli hingga Oktober 2018, Tim Pengabdian Masyarakat dari Fakultas MIPA Universitas Mataram mengadakan pelatihan deteksi telur dan cacing dewasa di Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) Masbagik Lombok Timur dan pelatihan pembuatan obat cacing alternatif/herbal di Kelompok Peternak Punik Agung, Desa Kesik, Masbagik Lombok Timur dan. Kegiatan diawali dengan deteksi telur cacing dan cacing dewasa pada feses sapi yang dipelihara di kandang kolektif Kelompok Peternak Punik Agung, Desa Kesik. Hasil deteksi feses menunjukkan bahwa semua sapi yang dipelihara di kandang kolektif tersebut menderita cacingan (terdeteksi beberapa jenis/spesies cacing) dengan kategori ringan hingga sedang. Berdasarkan hasil deteksi tersebut, dilakukan pembuatan dan pemberian obat cacing alternatif/herbal. Tanaman yang dipilih sebagai obat herbal cacingan adalah pepaya/gedang (Carica papaya) dan widuri/rembiga (Calotropis gigantea). Dua tanaman ini paling mudah didapat di sekitar perumahan warga di Dusun Kesik dan paling mudah diproses untuk dijadikan obat cacing dibanding tanaman yang lain. Biji pepaya dan bunga widuri dikeringkan dan ditumbuk hingga membentuk serbuk halus untuk kemudian diberikan pada sapi yang menderita cacingan. Berdasarkan hasil deteksi diberikan pemberian obat cacing alternatif/herbal sebagai berikut. Satu kelombok diberi serbuk biji pepaya/gedang (2 hari pemberian sebagai dosis pengobatan), 1 kelompok diberikan serbuk bunga widuri/rembiga (1 hari pemberian sebagai dosis pengobatan) dan 1 kelompok lain diberian albendazol sebagai kontrol positif. Observasi terhadap jumlah telur dan cacing dewasa pasca pemberian obat dilakukan tiap 7 hari sebanyak 2 kali (selama 14 hari). Setelah 14 minggu pemberian obat anternatif/herbal, sapi yang mendapatkan bubuk biji pepaya/gedang menunjukkan penurunan infeksi yang lebih baik (berdasarkan pada penurunan persentase jumlah dan jenis cacing yang menginfeksi) dibandingan dengan bubuk bunga widuri/rembiga. Namun, penurunan tertinggi didapatkan dari sapi yang diberikan Albendazol (kontrol). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, bubuk biji pepaya dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk mengatasi kasus sapi cacingan, tapi tidak untuk menggantikan obat standar farmasi.
Asesmen pengetahuan tentang penggunaan produk kefarmasian dan alat kesehatan penting dilakukan pada mahasiswa farmasi sebagai dasar upaya pencegahan COVID-19. Kuesioner yang valid dan reliabel dibutuhkan dalam asesmen tersebut, namun studi di Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menguji validitas dan reliabilitas hasil pengembangan kuesioner gambaran pengetahuan pengetahuan mahasiswa terkait penggunaan produk kefarmasian dan alat kesehatan dalam upaya preventif Covid-19. Penelitian ini bersifat deskriptif. Uji validitas konten melibatkan penilaian 6 orang pakar secara kualitatif (kesepakatan pakar) dan kuantitatif (indeks dan rasio validitas). Validitas muka dilakukan pada 30 orang mahasiswa secara kualitatif. Uji validitas konstruk dan reliabilitas dilakukan pada 30 orang mahasiswa dengan pendekatan korelasi bivariat dan Cronbach Alpha. Hasil uji validitas isi diperoleh kesepakatan pakar pada 55 item yang telah dikembangkan . Adapun secara kuantitatif nilai ICV-I sebesar 0,8 (1 item) dan 1. CVR bernilai 1 kecuali pada 1 item sebesar 0,6. Secara kuantitatif diperoleh 54 item pertanyaan yang valid. Validitas muka dinyatakan lolos setelah satu kali revisi. Pada uji validitas konstruk dan reliabilitas diperoleh nilai Chronbach Alpha 0,881 dan korelasi item terkoreksi kurang dari 0,3 pada 14 item. Berdasarkan hasil uji diperoleh kuesioner yang valid dan reliabel untuk mengukur pengetahuan tentang penggunaan produk kefarmasian dan alat kesehatan pada mahasiswa sebagai upaya preventif Covid-19.
[Bahasa]: Angka prevalensi skabies di pondok pesantren di Indonesia adalah sebesar 3,9-6% termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Alih pengetahuan oleh tenaga kesehatan terdidik pada santri diperlukan untuk mencapai pesantren bebas skabies. Program pengabdian kepada masyarakat (PKM) ini bertujuan untuk menentukan peningkatan pengetahuan, status perilaku kebersihan santri dan kesehatan kulit santri melalui penyuluhan dan pemeriksaan skabies pada santri Madrasah Aliyah Nurul Islam Sekarbela, Kota Mataram. Peningkatan pengetahuan ditentukan melalui pemberian kuesioner pretest dan posttest setelah penyuluhan. Status perilaku kebersihan santri ditentukan melalui wawancara semi terstruktur. Status dermatologis ditentukan melalui penemuan lesi skabies dengan pemeriksaan fisik dan teknik dermoskopi. Penyuluhan yang telah dilakukan meningkatkan pengetahuan santri terkait skabies sebesar 25-90%. Status perilaku kebersihan santri terkait skabies pada aspek kebersihan diri terkait penularan masih rendah dengan persentase lebih dari 50%. Berdasarkan pemeriksaan fisik, sebesar 21% santri terinfeksi skabies (n = 52 orang) dengan status dermatologikus berupa papula, erilematosa, skuama, dan erosi. Kata Kunci: alih pengetahuan, skabies, santri, madarasah [English]: The prevalence of scabies in Islamic boarding schools in Indonesia is 3,9-6%, including the province of West Nusa Tenggara. A knowledge transfer by educated health workers to madrasa students (santri) is needed to protect boarding schools from scabies. This community service program aimed to elevate the students’ knowledge of scabies, develop their hygiene behavior, and help them understand skin protection. It was done through counseling and physical examinations on students of MA Nurul Islam Sekarbela. The increase of knowledge was examined through the provision of pre and post counseling questionnaires. The personal hygiene status was determined through semi-structured interviews. Meanwhile, dermatological status was assessed through the scabies lesions by the physical examination and dermoscopy techniques. The counseling increased students’ knowledge of scabies at 72%-95%. The aspect of personal hygiene relating to transmissions is still low (> 50%). Based on the physical examinations, 21% of the students were infected with scabies (n = 52) in the form of papules, erythematous, squama, and erosion. Keywords: knowledge transfer, scabies, santri, madrasa
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.