ABSTRAKAbaka penghasil serat alam yang menjadi bahan baku pulp kertas uang. Serat alam yang berasal dari abaka, mempunyai sifat ramah lingkungan dan berkearifan lokal, sangat disukai oleh para konsumen pabrikan. Dewasa ini kebutuhan serat abaka di dalam negeri masih dipenuhi dari impor. Pulp dan kertas yang berasal dari abaka mempunyai keunggulan di antaranya tahan sobek, kalau sudah menjadi kertas sulit dipalsukan atau kertas yang dihasilkan digunakan untuk , kertas yang sulit ditiru, materai, kertas dukomen(segel, sertifikat, ijazah dan kertas penting lainnya). Bank Indonesia (BI) mulai tahun 2014 lebih serius untuk menggunakan bahan baku serat kapas dan serat abaka dalam negeri. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Mata Uang N0. 7 Tahun 2011 pada pasal 9 (2) agar mengutamakan bahan baku dalam negeri (lokal) dengan menjaga mutu, keamanan dan harga yang bersaing dalam mencetak Uang Rupiah. Panen perdana abaka pada umur 18-20 bulan setelah tanam. Pada saat itu belum ada pendapatan bagi petani, adanya tumpangsari antara cabai + abaka memberikan sumber pendapatan, karena cabai merupakan tanaman semusim sehingga hasil panen cabai dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan petani dalam masalah keuangan. Disamping itu masih ada tanaman tegakan (jabon,atau sengon). Pola tumpangsari abaka + cabai kecil bisa memberikan keuntungan sebesar Rp. 21.333.000,-Dengan demikian pengembangan abaka mempunyai prospek yang cukup baik. Tujuan dari pada penulisan review ini untuk memberikan dukungan eksistensi inovasi pengembangan abaka sebagai sumber serat alam yang memberikan kontribusi dalam menyediakan bahan baku kertas uang yang dicanakan oleh Bank Indonesia (BI)dan membuka lapangan kerja di pedesaan, serta memberikan sumber pendapatan para petani.
ABSTRAKKabupaten Rembang merupakan daerah sentra produksi tebu Jawa Tengah yang memiliki karakteristik utama didominasi oleh lahan kering. Permasalahan lahan kering erat berkaitan dengan rendahnya ketersediaan air dan hara. Hal ini menentukan kondisi kesuburan tanah wilayah tersebut. Kesuburan tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan, produksi, dan rendemen tebu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh sebaran tingkat kesuburan lahan beserta faktor-faktor pembatasnya di Kabupaten Rembang. Kajian kesuburan tanah dilakukan melalui metode evaluasi kesuburan tanah dengan matching data analisis kimia tanah dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah. Metode pengambilan sampel didasarkan pada pembuatan satuan peta lahan (SPL). Penilaian kesuburan tanah berdasarkan analisis sifat kimia tanah yang meliputi kapasitas tukar kation (metode ekstraksi NH4Oac), pH, C-organik, kejenuhan basa (estimasi peta sebaran pH), P2O5 (metode Olsen dan Bray-1), dan K tersedia (flamephotometer). Kesuburan tanah di Kabupaten Rembang dapat dikategorikan menjadi kelas kesuburan tanah rendah dan sedang. Faktor pembatas kesuburan tanah yang ditemukan antara lain terdiri dari kandungan nitrogen, kapasitas tukar kation, pH, P2O5 tersedia, karbon organik, dan K tersedia.Kata kunci: Saccharum officinarum, kesuburan tanah, evaluasi ABSTRACT Rembang District is an area of Central Java production center which has the main characteristics dominated by dry land. Dry land issues related to the low availability of water and nutrients. It determines the area of soil fertility conditions. Soil fertility affects the growth, production, and yield of sugarcane. Study of soil fertility conducted through the soil fertility evaluation methods of chemical analysis of matching data criteria soil with soil chemical properties. The sampling method is based on the land unit mapping. Soil fertility assessment based on the analysis of soil chemical properties that include cation exchange capacity (NH4Oac extraction method), pH (pH meter), C-Organic (Walkey and Black method), base saturation (estimation of pH mapping), P2O5 (Olsen and Bray-1 method), and available K (flamephotometer). Soil fertility in Rembang district classified into low until moderate. The limiting factor in soil fertility were consists of nitrogen content, cation exchange capacity, pH, available P2O5, organic carbon, and available K.Keywords: Saccharum officinarum, soil fertility, evaluation PENDAHULUAN Kabupaten Rembang merupakan daerah sentra produksi tebu di Jawa Tengah yang terletak dengan posisi lintang pada 111°,00' -111°,30' BT dan 6°,30'-7°,00' LS.Produktivitas tanaman dan rendemen yang dihasilkan masih tergolong rendah (< 6%) sehingga hasil hablur yang diperoleh menjadi rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas dan rendemen pertanaman tebu yang ada di wilayah Rembang.Bahan induk tanah-tanah wilayah pengembangan tebu di Rembang berasal dari 12 formasi satuan geologi berupa bahan alluvium, batuan endapan, volkanik, dan batuan sedimen klastik dari ...
ABSTRAKTanaman tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang strategis berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gula. Saat ini berbagai tipe kemasakan varietas tebu dapat ditemui pada tipologi lahan yang sama sehingga potensi varietas akan sulit dicapai pada tipologi lahan yang tidak sesuai. Untuk itu kesesuaian varietas tebu dengan tipe kemasakan yang berbeda perlu diuji dengan tipologi lahan. Penelitian dilaksanakan di Desa Gili Timur, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan dengan tipologi lahan tekstur tanah berat (B), lahan tadah hujan (H), dan drainase lancar (L) atau BHL mulai Oktober 2014 sampai September 2015. Penelitian lapang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang 5 kali dengan 8 perlakuan varietas dengan tipe kemasakan yang berbeda yaitu PS 881 (Awal); Cenning, PSJK 922, dan PS 882 (Awal Tengah); KK, VMC 76-16, PSDK 923, dan BL (Tengah Lambat). Varietas tebu yang ditanam menggunakan benih bagal mata 2 dengan PKP 135 cm. Kesesuaian tipologi lahan BHL dengan tipe kemasakan varietas tebu menunjukkan bahwa varietas tebu tipe kemasakan awal bila ditanam tepat waktu menghasilkan produktivitas sama dengan varietas masak tengah lambat dengan tingkat produktivitas (92,98-109,28 ton/ha). Varietas tebu dengan tipe kemasakan awal sampai awal tengah menghasilkan produktivitas tebu 93-96 ton/ha menggunakan varietas PS 881, Cenning, dan PSJK 922, dan varietas tengah lambat menghasilkan produktivitas tebu 92-109 ton/ha menggunakan varietas VMC-7616, PSDK 923, dan BL. Produksi hablur tertinggi varietas masak awal 8,46 ton/ha (PS 881), varietas awal tengah 8,66 ton/ha (PSJK 922), varietas tengah lambat 9,40 ton/ha (PSDK 923). Panen tebu dilakukan berdasarkan tingkat kemasakan yang optimal, di lokasi penelitian (wilayah Bangkalan, Madura) varietas tipe kemasakan awal sampai awal tengah mencapai tingkat kemasakan optimal pada saat tanaman mencapai umur 9 bulan dan 9,5 bulan setelah tanam pada tipe kemasakan tengah lambat. Dengan demikian pada tipologi lahan BHL direkomendasikan penggunaan varietas tebu dengan tipe kemasakan awal sampai tengah lambat. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan penataan varietas tebu. Pemilihan varietas yang berproduksi tinggi dan tahan kepras serta sesuai dengan lingkungan setempat sangat dianjurkan.Kata kunci: Tebu, tipologi lahan, tipe kemasakan varietas ABSTRACTSugarcane is one of the strategic plantation crops associated with the fulfillment of sugar. At present various types of ripening sugarcane varieties can be found on the same land typology, so the potential productivity of a variety would be difficult to achieve on a typology that is not appropriate. The suitability of sugarcane varieties with different maturity types need to be checked with appropriate land typology. The research was conducted in East Gili, Kamal, Bangkalan on the land typology of heavy soil texture (B), the rainfed (H), and good drainage (L) or BHL started in October 2014 to September 2015. The field research was designed using a Randomized Block Design (RAK) with five rep...
Newly released sugarcane varieties need to be adapted to various environments. This research was aimed at examining the growth and yield potential of newly released varieties of sugarcane in the first year as plant cane (PC) and the second year as first ratoon cane (RC1) on dry land. The research was carried out at Wedarijaksa station, Trangkil Sugar Mill area, Pati, Central Java in 2019–2021. Four sugarcane varieties were grown using a double rows system, AAS Agribun, ASA Agribun, AMS Agribun, and CMG Agribun and one commercial variety, PSJK 922. Measurements of crop growth were made periodically: yield components at harvest in PC-RC1, and physiological characteristics 5 months after planting. The results indicate that mean tonnes of cane and sugar per hectare between PC and RC1 decreased by 22.7% and 21.0%, respectively, for AAS Agribun, ASA Agribun, and CMG Agribun due to decreased stem weights. AMS Agribun showed the smallest decrease in tonnes of cane (4%) and increase in tonnes of sugar per hectare (2%) from PC to RC1. The highest number of tonnes of sugar in PC was achieved by ASA Agribun (12.8 t ha−1), slightly above PSJK 922 (12.69 t ha−1). The decline in tonnes of cane and sugar needs to be reduced by the continuously improving cultivation techniques. The mean photosynthetic water use efficiency of tested new varieties was 7.46 µmol CO2 mol H2O−1. These research findings provide information on crop performance and can be used as a basis for selecting varieties to be developed in the region. Further studies will be required to test these new sugarcane varieties in a wide range of agroecological zones in Indonesia.
<p>Dalam mendukung pencapaian swasembada gula, Pulau Madura menjadi salah satu sasaran lokasi pengembangan tebu. Di Kabupaten Sampang pengembangan usaha tani tebu dimulai sejak tahun 2009. Program ini<br />didukung oleh masuknya perusahaan perkebunan serta bantuan penganggaran dari APBN. Penelitian bertujuan mengetahui kelayakan secara sosial dan ekonomi serta potensi pengembangan usaha tani tebu ke depan dan untuk mengetahui peluang dari usaha tani tebu ini bagi masyarakat di Pulau Madura secara umum. Penelitian dilaksanakan mulai September sampai Desember 2013 di lokasi-lokasi kecamatan pengembangan tebu Kabupaten Sampang. Informasi dikumpulkan dengan memanfaatkan data sekunder dan data primer melalui wawancara dengan individu maupun grup/kelompok masyarakat, dinas/institusi terkait. Data dianalisa menggunakan analisis deskriptif untuk memperoleh gambaran kondisi yang dihadapi dan pemecahan dari masalah yang dihadapi di wilayah yang diamati. Analisis aspek usaha tani meliputi data input-output komoditas existing dengan analisis finansial. Untuk melihat kelayakan usaha tani digunakan R/C Ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelayakan usaha tani tebu adalah kepemilikan lahan, insentif rangsangan dana bantuan sosial (Bansos) APBN dan subsidi pengembangan Tebu Madura (Dinas Perkebunan Provinsi), serta kerja sama kemitraaan dengan pabrik gula (PTPN X) yang menawarkan bantuan modal, subsidi saprotan, alat/mesin pertanian, serta jaminan pasar. Kemitraan yang telah ada antara PTPN X dengan petani tebu di Sampang dapat dikategorikan dalam tipe kemitraan subkontrak dan layak diteruskan. Skema yang sudah diterapkan dalam kontrak ini adalah pola kemitraan antara pemerintah daerah, swasta (PTPN X), dan petani tebu. Usaha tani tebu dengan R/C ratio sebesar 1,05 dan 1,68 dan pendapatan bersih Rp1.358.920,00/ha dan Rp14.024.360,00/ha pada usaha tani tebu awal dan tebu kepras I, membuktikan usaha tani tebu di lokasi penelitian sangat layak untuk diusahakan dan menguntungkan. Selain peluang bagi masyarakat memanfaatkan potensi lahan tidur dan sub-optimal untuk pengembangan usaha tani tebu yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat di Kabupaten Sampang.</p><p> </p><p>In order to achieve self-sufficient in sugar consumption, the Madura Island became one of the targets of sugar cane development area. In Sampang Regency, the development of sugar cane agribusiness have been started since 2009. This program was supported by the companies as well as financial supported from national budget (APBN). The study aims to determine the feasibility of social and economic as well as the potential<br />for future development of sugar cane farming and to understand the opportunities of the farming for community in Madura Island on the whole. The study was conducted from September to December 2013 at 14 districts of sugar cane developing area in Sampang. Information was collected by using secondary data and primary data through interviews with individual and group/community groups, agencies/institutions concerned. Data were analyzed using descriptive analysis to obtain a description of the conditions encountered and the solving of problems encountered in the observed region. The analysis covers aspects of farm commodity input-output data with the existing financial analysis. To look at the feasibility of farming used the R/C ratio. The results of the study showed that some factors which influenced the farmer to plant the cane were: land ownership; the stimuli of incentives from social grants (Bansos) from APBN and subsidy from project<br />development (from Provincial Agricultural office); the cooperation of partners through sugar company (PTPN X) which offered grants, input subsidy, equipments/agriculture machinery as well as market assurance. The partnership among PTPN X and the sugar cane farmers in Sampang was feasible and categorized a subcontract partnership type. Meanwhile, the scheme that had been implemented in this type of contract was the<br />partnership pattern between local government, private (PTPN X) and the sugar cane farmers. The sugar cane farming with R/C ratio of 1.05 and 1.68, or net income recieved of Rp1,358,920/ha and Rp14,024,360/ha at<br />the first harvested and second period harvested, proving that the farming in the study area is feasible to carry on and profitable. In addition, it is the opportunities to develop the potential of the unused and suboptial<br />land for sugar cane agribusiness development that provides economic benefits to the community in Sampang Regency.</p>
<p>Salah satu wilayah pengembangan tanaman tebu lahan kering di Sulawesi Selatan terdapat di Kabupaten Bone dengan dua pabrik gula (PG) yaitu PG Bone dan PG Camming. Produktivitas tebu dan rendemen sangat berfluktuasi dan dipengaruhi oleh faktor iklim selain pengelolaan on farm. Dengan demikian potensi sumber daya iklim yang berpengaruh terhadap produktivitas tebu dan rendemen perlu diketahui. Analisis data iklim di Kabupaten Bone dilaksanakan mulai bulan Juni 2012 sampai Desember 2013. Data yang diperlukan terdiri atas curah hujan, suhu maksimum, suhu minimum, kelembapan, lama penyinaran, dan kecepatan angin yang terkumpul dari Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Selatan, PG Camming, dan PG Bone. Data produktivitas tebu dan rendemen diperoleh dari PG Camming dan PG Bone. Awal dan akhir musim hujan, peluang hujan, serta lama periode kering ditentukan berdasarkan metode Markov Chain First<br />Order Probability. Pola sebaran hujan ditentukan berdasarkan isohiet yang dibuat menggunakan program ArcGIS 9.03. Evapotranspirasi dihitung berdasarkan hasil analisis neraca air berdasarkan metode Penman-<br />Monteith menggunakan program CROPWAT 8.0. Sebaran curah hujan tahunan di Kabupaten Bone didominasi oleh pola hujan tahunan >2.000 mm dan 1.500–2.000 mm dan sebagian kecil wilayah Timur dengan curah hujan tahunan <1.000 mm. Tingginya curah hujan yang berlangsung sepanjang tahun menyebabkan rata-rata periode hari kering relatif pendek yaitu 66–92 hari. Evapotranspirasi potensial di wilayah PG Camming berkisar 1.268–1.288 mm sehingga potensi curah hujan dapat memenuhi kebutuhan air tanaman tebu. Tekstur tanah di sebagian besar wilayah pengembangan tebu di Bone adalah tekstur berat dan drainase lahan jelek maka potensi lahan tergenang cukup tinggi. Dengan potensi sumber daya iklim tersebut mengindikasikan bahwa di sebagian besar wilayah PG Bone dan PG Camming optimasi masa tanam sangat penting dan menggunakan varietas tebu masak awal yang tahan kelebihan air terutama pada wilayah dengan curah hujan >2.000 mm/tahun. Selain itu perlu ditunjang dengan usaha memanen air hujan yang melimpah dan perbaikan drainase. Waktu tanam yang optimum adalah tengah bulan pertama Oktober sampai tengah bulan pertama November (10A–11A) di wilayah PG Camming dan tengah bulan pertama November (11A) di wilayah PG Bone.</p><p> </p><p>One of sugar cane cultivation area of dry land in South Sulawesi concentrated in Bone regency with two sugar mills (Bone and Camming). The productivity of sugar cane and sugar are fluctuated and mostly caused<br />by climatic factors. Therefore, climate resources in Bone regency that influence sugar cane growth and yield need to be evaluated. Analysis of climate data in Bone regency was conducted from June 2012 up to December 2013 based on the data of rainfall, maximum temperature, minimum temperature, humidity, sun shine duration, and wind speed collected from the Department of Irrigation Works South Sulawesi Province, Camming and Bone Sugar Mills. Cane and sugar production were collected from Camming and Bone Sugar Mills. The onset and end of rainy season, length of dryspell, and rainfall probability were analysed by The Markov<br />Chain First Order Probability Method. Rainfall pattern was determined by using isohiet. Evapotranspiration was calculated by water balance analysis. Rainfall pattern in Bone was dominated by annual rainfall pattern >2,000 mm and 1,500–2,000 mm, eastern part of Bone has annual rainfall pattern <1,000 mm. The high rainfall that lasted throughout the year resulted in relatively short average dry day (66–92 days). Potential evapotranspiration in the region of Camming Sugar Mill ranges from 1,268 to 1,288 mm so the annual rainfall can meet crop water requirement of sugar cane. Heavy soil texture and bad soil drainage in Bone regions resulted in flooded land. Based on climate resources, it indicates that in most areas of the Bone and Camming Sugar Mills optimization of planting time is critical, use of sugar cane varieties with early maturity and resistant to excess water, and effort to harvest the abundant rainwater especially in areas with rainfall >2000<br />mm/year, and improvement in drainage system. Optimum planting season in Camming Sugar Mill is the first half of October to second half of November (10A–11A) and the first half of November (11A) in Bone Sugar<br />Mill.</p>
ABSTRAKGalur-galur kapas berdaun okra atau menjari berpotensiuntuk ditanam pada tata tanam rapat dalam sistem tumpangsari dengan palawija karena bentuk daun yang menjari dapat meneruskan intersepsi cahaya ke cabang bagian bawah, namun kesesuaiannya perlu diteliti. Penelitian lapang dilakukan di Kebun Percobaan Karangploso, Malang mulai AprilsampaiSeptember 2011 bertujuan untuk mendapatkan galur-galur kapas berdaun okra yang sesuai pada sistem tumpang sari dengan kedelai. Bahan tanaman yang digunakan adalah 4 galur harapan kapas berdaun okra dan 2 varietas kapas berdaun normal terdiri atas 98031/1/7, 98039/6, 98040/3, 98048/2, Kanesia 8, dan Kanesia 10. Galur-galur kapas tersebut tahan terhadap hama penggerek buah dan mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Monokultur kapas dan kedelai ditanam untuk menghitung penurunan produksi tumpang sari terhadap monokultur dan menghitung Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). Parameter yang diamati pada tanaman kapas adalah tinggi tanaman, lebar kanopi, jumlah cabang vegetatif dan generatif, serta jumlah buah/ tanaman setiap dua minggu mulai 60-120 HST. Bobot buah, jumlah buah terpanen, hasil kapas berbiji, dan hasil kedelai diamati saat panen. Parameter pertumbuhan yang diamati pada jagung maupun kedelai adalah tinggi tanaman dan lebar kanopi. Hasil penelitian menunjukkan galur kapas berdaun okra yaitu galur 98048/2 mempunyai kesesuaian yang tinggi bila ditumpangsarikan dengan kedelai dengan hasil kapas 1.888 kg/ha dan kedelai 1.492 kg/ha, dengan 67,3% dari potensi hasil galur tersebut dan NKL 1,3. Tingkat penurunan hasil kapas dan kedelai masing-masing 33% dan 39% terhadap monokultur. Hasil kapas monokultur galur 98048/2 tertinggi dibanding galur okra lainnya yaitu 2.837 kg/ha, dengan 101,1% dari potensi hasil galur tersebut. Penurunan hasil kedelai lebih tinggi (45-47%) bila ditumpangsarikan dengan kapas berdaun normal dibanding galur okra (36-44%).Kata kunci: Tumpang sari, kapas, kedelai, daun okra ABSTRACTCotton lines with okra-leaves may have a potential yield increase in intercropping systems, yet the compatibility of these cotton okra lines have not been quantified. Field research was conducted in Malang (East Java) from April to September 2011. The purpose of this study was to test the suitability of cotton lines with okraleaves in intercropping systems with soybean. The plant material used was 4 cotton lines of okra leaves and 2 normal leaf cotton varieties. The cotton tested were: 98031/1/7, 98039/6, 98040/3, 98048/2, Kanesia 8, and Kanesia 10. The experiment was arranged in a randomized block design with three replications. Parameters observed in the cotton plant were the plant height, canopy width, number of monopodial and simpodial branches, as well as the number of boll per plant every two weeks from 60-120 days after planting. Boll weight, harvested boll number, the cotton seed, soybean yield were observed at harvest. The soybean parameters observed were crop height and canopy width. The res...
<p>ABSTRACT<br />The level of sugarcane yield in dry land or rainfed generally still low at 40 to 50 tons per hectare. Farmers prefer maintenance of sugarcane than unloading ratoon cane (RC). This can be understood because unloading RC requires high cost, especially in the purchase of seed cane and tillage. Approach through maintaining ratoon techniques are expected to increase production and sugar yield. The research purposes to obtain cane yield and sugar yield RC optimally with maintaining ratoon techniques in dry land. Research has conducted in the Ngimbang, Lamongan district from June 2013 until August 2014. Sugarcane varieties used PS 862 (early ripening) belong to farmers. The study compiled by randomized block design (RBD) and repeated 3 times. The treatment consisted of 1). Replanting; 2). Off barring; 3). Organic fertilizer; 4). Maintaining 10 plants/m; 5). Giving PGR; 6). The package of (1+2); 7). The package of (1+2+3); 8). The package of (1+2+3+4); 9). The package of (1+2+3+4+5); and 10). Control. The results showed that the complete treatment of maintaining ratoon (replanting, off barring, organic fertilizer, maintaining 10 plants/m and PGR) obtained the highest value on the highgrowth parameters include 304.67 cm and a diameter of 3.16 cm, while the production parameters include the stalk number 5.73 stalk/m, stalk weight 1.29 kg/stalk, and stalk length 264.11 cm. Maintaining ratoon could gave the best cane yield and sugar yield than ratoon plants without maintaining ratoon cane with an increase of cane yield 16.20 tons/ha (32.14%) and an increase of sugar yield 1.38% (25.60%). Maintaining on ratoon cane 4th on rainfed significantly increase the production of sugarcane per hectare although not linear with increasing sugar yield.<br />Keywords: Maintaining ratoon, PS 862 varieties, dry land, Sacharrum officinarum</p><p> </p><p>PENINGKATAN PRODUKSI DAN RENDEMEN TEBU (Sacharrum officinarum) MELALUI RAWAT RATOON</p><p>ABSTRAK<br />Tingkat produktivitas tebu di lahan kering atau tadah hujan umumnya masih rendah sebesar 40 sampai dengan 50 ton per hektar. Para petani tebu lebih memilih rawat ratoon daripada membongkar tebu ratoon (RC). Hal tersebut dapat dipahami karena membongkar ratoon membutuhkan biaya yang lebih besar, terutama dalam pembelian bibit tebu dan olah tanah. Pendekatan melalui teknik rawat ratoon diharapkan dapat meningkatkan produksi dan rendemen tebu. Tujuan dari penelitian untuk memperoleh pertanaman tebu dengan teknik rawat ratoon yang berproduksi dan berendemen optimal di lahan kering. Penelitian dilaksanakan di Ngimbang, Kabupaten Lamongan mulai Juni 2013 sampai Agustus 2014. Varietas tebu yang digunakan yaitu PS 862 (masak awal) milik petani. Penelitian disusun dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang 3 kali. Perlakuan terdiri atas 1). Sulam; 2). Pedot Oyot; 3). Pupuk Organik; 4). Pertahankan 10 tanaman/m; 5). Pemberian ZPT; 6). Paket (1+2); 7). Paket (1+2+3); 8). Paket (1+2+3+4); 9). Paket (1+2+3+4+5); dan 10). Kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan lengkap pada rawat ratoon (sulam, pedot oyot, pupuk organik, 10 tanaman/m dan ZPT) diperoleh nilai tertinggi pada parameter pertumbuhan meliputi tinggi 304,67 cm dan diameter 3,16 cm, sedangkan parameter produksi meliputi jumlah batang terpanen 5,73 batang/m, bobot batang 1,29 kg/batang, dan panjang batang 264,11 cm. Rawat ratoon dapat memberikan hasil produksi dan rendemen terbaik dibandingkan tanaman tebu tanpa rawat ratoon dengan kenaikan sebesar 16,20 ton/ha (32,14%) dan peningkatan angka rendemen 1,38% (25,60%). Rawat ratoon RC 4 pada lahan tadah hujan secara signifikan meningkatkan produksi tebu perhektar meskipun tidak linier dengan peningkatan rendemen gula.</p><p>Kata kunci: Rawat ratoon, varietas PS 862, lahan kering, Sacharrum officinarum</p>
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.