Samudera Hindia di sebelah Selatan Jawa merupakan salah satu habitat penting bagi ikan pelagis jenis tongkol komo (Euthynnus affinis). Keberadaan stok ikan di perairan ini sangat dipengaruhi oleh proses oseanografi yang berlangsung di daerah tersebut. Penelitian ini bertujuan mengkaji aspek reproduksi dan dugaan musim pemijahan tongkol komo di selatan Jawa berdasarkan monsun dan suhu permukaan laut (SPL). Sebanyak 152 ekor contoh ikan dan gonad diperoleh dari 3 lokasi pendaratan ikan yaitu Palabuhanratu, Sendang Biru dan Tanjung Luar pada tahun 2013. Analisa sampel gonad dilakukan tahun 2014 di Laboratorium Biologi, Balai Riset Perikanan Laut. Data Suhu Permukaan Laut (SPL) diunduh dari Citra Satelit Aqua MODIS level-3, situs resmi NASA tahun 2012-2013. Hubungan antar parameter dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan musim pemijahan berlangsung antara Mei-Oktober bersamaan dengan musim timur sampai dengan musim peralihan II, dimana durasi di perairan selatan Jawa lebih panjang dibandingkan dengan perairan lainnya. Fase matang gonad (Tingkat Kematangan Gonad IV) betina sebanyak 55% dan gonad jantan sebanyak 40% diperoleh pada bulan Juli. Berikutnya, pada bulan Oktober sekitar 11% sampel gonad ikan betina sudah memijah (spent). Fekunditas tertinggi dan diameter telur terbesar sebagai indikator pemijahan, ditemukan pada Musim Timur dan Musim Peralihan II, bersamaan dengan terjadinya upwelling di perairan selatan Jawa yang ditandai dengan nilai sebaran suhu permukaan laut (SPL) rendah. Terdapat kesamaan waktu antara puncak musim pemijahan dengan puncak musim penangkapan ikan tongkol komo di perairan selatan Jawa.Indian Ocean South off Java-Nusa Tenggara as an important habitat of pelagic fish, kawa-kawa (Euthynnus affinis). The fish stocks in those areas affected by oceanographical prosessed. This study aimed to analyze the reproduction aspects and spawning prediction of kawakawa and its relation with monsoon and sea surface temperature (SST) conditions. Gonad samples were obtained from 3 fish landing sites at Palabuhanratu, Sendang Biru and Tanjung Luar in 2013. Analysis of 152 fishes and gonad samples were conducted in 2014 at Biology Laboratory of Research Institute for Marine Fisheries. SST data was taken from Aqua MODIS satellite imagery level 3 (2012-2013), downloaded from the NASA website. The analysis is done descriptively. The results showed that spawning season of kawakawa occurs in May-October (east monsoon to transitional monsoon II), its duration was longer than in other waters. Based on the gonad maturity stages, gonad mature (stage IV) found to be dominant in July (east monsoon), which is 55% female and 40% of male gonad samples. Based on the GSI value, spawning peak season occurred in September (transitional monsoon II) and a month later (October) about 11% of female fish gonad samples showed an indication of spawning (spent). The highest fecundity with the largest egg dimater range as spawning indicator was found in east monsoon to transitional monsoon II. Spawning season of kawakawa occurs along with upwelling events in these waters, with lowest SST. The peak of the spawning season and the fishing season was happened in the same time
<p>Laut Sulawesi diketahui sebagai daerah penangkapan ikan yang potensial sekaligus diduga sebagai lokasi pemijahan. Berbagai jenis larva ikan pelagis maupun demersal ditemukan di perairan ini. Kelimpahan dan sebaran larva ikan di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi seperti temperatur, salinitas dan sejumlah parameter lainnya termasuk ketersediaan pakan. Untuk mengetahui pengaruh parameter oseanografi terhadap kelimpahan dan sebaran spasial larva ikan di Laut Sulawesi, telah dilakukan penelitian menggunakan kapal riset KR Baruna Jaya VII pada Oktober 2012. Parameter oseanografi yaitu temperatur dan salinitas diukur menggunakan iCTD dan sampling larva menggunakan bonggo net pada 18 stasiun pengukuran. Analisa hubungan kondisi oseanografi dengan sebaran larva dilakukan secara deskriptif dan pemetaan sebarannya dilakukan secara spasial. Hasil menunjukan keterkaitan sejumlah parameter oseanografi dengan kelimpahan dan sebaran spasial larva ikan. Sebaran larva famili Scombroidae dominan berada pada perairan bersalinitas tinggi karena merupakan jenis ikan oseanik. Larva ikan demersal banyak ditemukan di perairan sekitar Kep.Sangihe Talaud. Kelimpahan larva tertinggi ditemukan di perairan bagian utara dan barat lokasi penelitian dimana kelimpahan plankton tinggi ditemukan.</p><p> </p><p>Celebes Sea is known as a potential fishing and spawning grounds for several pelagic fish species. Abundance and distribution of fish larvae are allegedly linked to oceanographic conditions such as temperature, salinity and others oceanographic parameters including food availablity. To see the effect of oceanographic on the abundance and spatial distribution of fish larvae in the Celebes Sea, has conducted a research in October 2012using the research vessel KR Baruna Jaya VII. The measurement of oceanographic parameters including temperature and salinity and larval sampling were done respectively by using iCTD and Bonggo net at 18 measuring stations. The analysis of data was carried out for dertemining the effect of oceanographic condition to the fish larvae distribution and distribution mapping spatially of larvae abundance. Results show that there were a connection between fish larvae abundance and spatial distribution with oceanographic parameters. Scombridae larvae distribution was dominant at waters with high salinity condition because they are oceanic. Demersal fish larvae are mostly found in waters around Sangihe-Talaud islands. Highest abundance of fish larvae was found at northern and western part of research locations where the higher plankton concentration was found.</p>
<p>Utilization of fishing area in Banten Bay by various activities may cause multi sectors conflicts related to management of the bay. The integrated zone system in that area has not been established yet; therefore it is needed to be studied. The objectives of this study were to 1) determine fishing season and fishing ground; 2) determine indicators and criteria of fishing zone; 3) establish fishing zone. The study was conducted in four fish landing centers which are located in Karangantu, Terate, Wadas, and Kepuh from January to April 2010. Data were collected by surveying analyzed using the fishing season index analysis, relationship analysis between sea surface temperature, chlorophyll-a and fish abundance, and GIS analysis. Based on the results, it were revealed that 1) peak fishing season of pelagic fish was from November to January and demersal fish was from November to December; 2) the catches from fishing grounds surrounding Panjang island were anchovies, trevallies, squids, Indian mackerels, pony fishes, Fringescale sardinella; surrounding Pamujan besar island were threadfin bream, shrimps; and surrounding Tunda island were eastern little tuna, narrow barred king mackerels, black pomfret, red snapper, great trevally, scads, mullets, squids; 3) development indicators of fishing zone were (i) feasibility of fishing ground, (ii) compatibility of fishing gears with fishing grounds, (iii) possibility of conflicts, (iv) infrastructure, (v) carrying capacity of environment; 4) Banten bay water was divided into three fishing zones, they were (i) passive zone, (ii) passive and outboard motor zone, (iii) active and inboard motor zone.</p><p><strong>Key words:</strong> fishing ground, fishing zone, utilization</p>
Pemanfaatan sumberdaya kelautan masih menghadapi banyak kendala dalam mengoptimalkannya, termasuk pemanfaatan air laut sebagai bahan baku garam (salah satu jenis sumberdaya non hayati kelautan). Besarnya potensi produksi dan kebutuhan garam menempatkan garam sebagai komoditas yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir. Pertanian dilakukan di ladang-ladang garam secara tradisional menggunakan teknologi hasil warisan pendahulunya, dengan menghasilkan produksi dan kualitas garam yang rendah, kondisi ini membuat perekonomian dan pendapatan petambak garam tergolong rendah. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei - Juli 2016, untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan PNPM PUGAR yang ada di Kecamatan Kapetakan dan Pangenan, Kabupaten Cirebon. Pelaksananan kebijakan PNPM PUGaR di Kecamatan Kapetakan dan Pangenan, Kabupaten Cirebon menggunakan prinsip bottom-up, yaitu berdasarkan pada usulan yang telah disepakati oleh masyarakat sendiri melalui musyawarah tetapi tidak lepas dari arahan pemerintah pusat sesuai tujuan yang ditargetkan oleh pemerintah. Pelaksanaan tersebut sudah berjalan dengan baik mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Peningkatan modal awal produksi melalui dana BLM, kualitas produksi meningkat dari KP 3 menjadi KP 2 dan KP 1 diikuti kuantitas garam yang meningkat 2-3 kali lipat dirasakan oleh petambak garam dengan adanya pembinaan, pendampingan serta dukungan peralatan yang modern dalam menghasilkan produksi garam. Kebijakan PUGaR yang dikeluarkan oleh pemerintah diharapkan dapat menimbulkan dampak sesuai dengan tujuan kebijakan PUGaR dalam pengentasan kemiskinan merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan sebagai bentuk representasi dari tujuan nasional bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan dan pendapatan serta pertumbuhan wirausaha kelautan dan perikanan.
Grouper (Epinephelus retouti) or also known as the Red-tipped grouper is one of the economically important type of grouper that is widely exported and live on coral reef ecosystems. Coral reef ecosystem impact damage to biota existence the symbiotes in it, including the grouper bara. Changes the State of the environment influence on the biological condition of the fishery. Research on the study of the fisheries biology grouper done in the waters of Raja Ampat Islands conducted in August 2015. This research aims to analyze the value of (1) the leght at first maturity (Lm), and legth at first capture (Lc); (2) analyze the relationship of length weight (the pattern of growth). The data were analyzed by using the formula: L 50 = −b 0 b 1 (prediction of the leght at first maturity = Lm) and the L 50% = S1 S2(the legth at first capture = Lc); W = αL β (pattern of growth). The results showed that Grouper Bara in the waters ofWest Waigeo had Lm 29,91 cm dan Lc 25,37 cm, showed that the grouper can't catch (Lc < Lm). Result of the relationship of length weight, can b value was 2,219 or b < 3 (negative allometric, length accretion faster weight accretion). Pattern of growth was allow equation W= 0,145L 2,219
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.