Latar Belakang: Pemberian makanan pada anak dapat mempengaruhi status gizi sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak normal. Kurangnya asupan makanan bergizi pada anak dapat membuat anak mengalami status gizi buruk. Pengetahuan dan sikap ibu diperlukan agar dapat memberikan makanan yang tepat untuk anak. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap perilaku pemberian makanan anak usia 12-24 bulan.Metode: Desain penelitian cross sectional dengan jumlah subjek 65 ibu di wilayah Puskesmas Pegandan. Data yang diteliti meliputi pengetahuan dan sikap ibu dengan menggunakan kuesioner, serta perilaku yang diketahui dengan pengamatan, wawancara dan recall 5x24 jam. Wawancara mendalam dilakukan untuk mengetahui perilaku ibu dalam memberikan makan pada anak. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan perilaku pemberian makan anak dan hubungan sikap ibu dengan perilaku pemberian makan anak.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 86.15% ibu mempunyai pengetahuan baik, 76.92% ibu mempunyai sikap kurang dan 73.95% ibu mempunyai perilaku kurang. Analisis data menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan terhadap perilaku ibu dalam pemberian makanan untuk anak (p=0,003) dan ada hubungan antara sikap dan perilaku ibu dalam pemberian makanan untuk anak (p=0,04). Simpulan: Terdapat hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap perilaku pemberian makan anak usia 12-24 bulan.
Parkinson’s disease (PD) is a neurodegenerative disease associated with progressive impairment of motor and non-motor functions in aging people. Overwhelming evidence indicate that mitochondrial dysfunction is a central factor in PD pathophysiology, which impairs energy metabolism. While, several other studies have shown probiotic supplementations to improve host energy metabolism, alleviate the disease progression, prevent gut microbiota dysbiosis and alter commensal bacterial metabolites. But, whether probiotic and/or prebiotic supplementation can affect energy metabolism and cause the impediment of PD progression remains poorly characterized. Therefore, we investigated 8-weeks supplementation effects of probiotic [Lactobacillus salivarius subsp. salicinius AP-32 (AP-32)], residual medium (RM) obtained from the AP-32 culture medium, and combination of AP-32 and RM (A-RM) on unilateral 6-hydroxydopamine (6-OHDA)-induced PD rats. We found that AP-32, RM and A-RM supplementation induced neuroprotective effects on dopaminergic neurons along with improved motor functions in PD rats. These effects were accompanied by significant increases in mitochondrial activities in the brain and muscle, antioxidative enzymes level in serum, and altered SCFAs profile in fecal samples. Importantly, the AP-32 supplement restored muscle mass along with improved motor function in PD rats, and produced the best results among the supplements. Our results demonstrate that probiotic AP-32 and A-RM supplementations can recover energy metabolism via increasing SCFAs producing and mitochondria function. This restoring of mitochondrial function in the brain and muscles with improved energy metabolism might additionally be potentiated by ROS suppression by the elevated generation of antioxidants, and which finally leads to facilitated recovery of 6-OHDA-induced motor deficit. Taken together, this work demonstrates that probiotic AP-32 supplementation could be a potential candidate for alternate treatment strategy to avert PD progression.
Latar Belakang: Praktik pemberian MPASI berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi dan anak. Pemberian MPASI yang tidak tepat dapat menyebabkan stunting. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis praktik pemberian MPASI pada anak stunting dan tidak stunting usia 6-24 bulan. Metode: Penelitian cross-sectional dilakukan di Kabupaten Cirebon. Subjek terdiri dari 42 subjek stunting dan 42 subjek tidak stunting yang diambil dengan metode consecutive sampling. Praktik pemberian MPASI meliputi waktu pemberian MPASI pertama, variasi bahan MPASI, frekuensi pemberian MPASI, dan asupan zat gizi, didapatkan dari kuesioner food recall 3x24 jam. Stunting ditentukan dengan perhitungan Z-Score PB/U <-2 SD, sedangkan tidak stunting ditentukan dengan PB/U -2 s/d +2 SD. Analisis bivariat menggunakan uji chi-square, Independent T-Test, dan Mann Whitney.Hasil: Rerata kecukupan asupan energi pada kelompok stunting adalah 70.14±21.91% total kebutuhan, sedangkan pada kelompok tidak stunting adalah 106.4±35.26% total kebutuhan. Total subjek pada kelompok stunting yang memiliki asupan energi kurang sebanyak 88.1%, asupan energi cukup sebanyak 9.5%, dan asupan energi berlebih sebanyak 2.4%, sedangkan asupan energi yang rendah, cukup, dan berlebih pada kelompok tidak stunting masing-masing sebanyak 33.3%. Asupan energi, protein, besi dan seng menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok stunting dan tidak stunting (p<0.05). Terdapat perbedaan variasi bahan MPASI antara kelompok stunting dan tidak stunting (p=0.008), sedangkan waktu pemberian MPASI pertama dan frekuensi pemberian MPASI tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p>0.05).Simpulan: Terdapat perbedaan variasi bahan MPASI dan rerata asupan energi, protein, besi, dan seng pada praktik pemberian MPASI antara anak stunting dan tidak stunting usia 6-24 bulan.
Latar Belakang : Stunting merupakan masalah gizi yang banyak ditemukan pada anak di negara berkembang seperti di Indonesia. Stunting yaitu gangguan pertumbuhan disebabkan kekurangan gizi kronis berdasarkan nilai z-score panjang badan menurut umur kurang dari -2 SD. Kecukupan asupan zat gizi mikro yang tidak adekuat menjadi salah satu faktor penyebab terjadi stunting pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan asupan vitamin D, kalsium dan fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 12-24 bulan. Metode : Penelitian ini menggunakan desain case-control. Subjek adalah anak stunting dan tidak stunting usia 12-24 bulan di Kelurahan Rowosari dan Meteseh, Semarang. Total subjek pada masing-masing kelompok kasus dan kontrol sejumlah 40 orang. Pengambilan subjek menggunakan metode simple random sampling. Data asupan zat gizi diperoleh dengan menggunakan Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). Analisis zat gizi menggunakan software NutriSurvey. Analisis data secara statistik menggunakan uji Chi Square, Fisher’s exact dan regresi logistik ganda.Hasil : Rerata asupan kalsium dan fosfor pada kelompok kasus sebesar 303,3±2,8 mg dan 440,1±1,9 mg sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 606±3 mg dan 662±2,5 mg. Rerata asupan vitamin D pada kelompok kasus sebesar 2,2±3,3 mcg dan pada kelompok kontrol sebesar 4,8±4,1 mcg. Terdapat perbedaan antara asupan kalsium (p=0,003; OR=4,5) dan fosfor (p=0,001; OR=13,5) pada anak stunting dan tidak stunting usia 12-24 bulan. Tidak terdapat perbedaan asupan vitamin D antara anak stunting dan tidak stunting (p=0,615; OR=3,162).Simpulan: Terdapat perbedaan antara asupan kalsium dan fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 12-24 bulan.
Latar Belakang: Stunting merupakan gambaran dari status gizi yang kurang yang bersifat kronik. Banyak faktor yang mempengaruhi stunting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara riwayat inisiasi menyusu dini (IMD), riwayat ASI eksklusif, riwayat asupan energi, dan riwayat asupan protein dengan kejadian stunting pada usia 6 – 24 bulan di provinsi Jawa Tengah. Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan studi analitik observasional dengan pendekatan Cross-sectional. Penelitian ini merupakan analisis data sekunder yang berasal dari survey Pemantauan Status Gizi (PSG) provinsi Jawa Tengah tahun 2017. Sejumlah 3.776 sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu berusia 6-24 bulan yang terdaftar pada data PSG provinsi Jawa Tengah tahun 2017. Data PSG meliputi data berat badan, panjang lahir, status gizi, riwayat ASI eksklusif, riwayat IMD, dan riwayat asupan zat gizi pada usia 6-24 bulan. Analisis statistik dengan univariat berupa distribusi frekuensi. Analisis bivariat menggunakan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antar variabel. Uji regresi logistik untuk mengetahui besar risiko pada variabel bebas dengan kejadian stunting.Hasil: Prevalensi stunting usia 6-24 bulan di Jawa Tengah sejumlah 18,5%. Faktor kejadian stunting di provinsi Jawa Tengah adalah Asupan Energi (p=0,001 OR 1,495 95%CI : 1,178 – 1,897), dan riwayat ASI Eksklusif (p=0,006 OR 1,282 95%CI : 1,076 – 1,527). Simpulan: Riwayat ASI eksklusif dan riwayat asupan energi merupakan fakor kejadian stunting pada usia 6 -24 bulan di provinsi Jawa Tengah.
Latar Belakang : Stunting merupakan indikator masalah gizi yang bersifat kronis. Stunting dapat berakibat pada penurunan produktivitas dan peningkatan risiko penyakit degeneratif. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stunting seperti karakteristik keluarga dan tingkat kecukupan asupan zat gizi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada baduta.Metode : Penelitian observasional dengan rancangan kasus kontrol. Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dengan jumlah 69 subjek untuk masing-masing kelompok. Data karakteristik keluarga diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner yang telah divalidasi sebelumnya. Pengukuran tingkat kecukupan asupan zat gizi menggunakan kuesioner semi-quantitative food frequency. Analisis bivariat menggunakan Chi-Square dengan melihat Odds Ratio (OR) dan multivariat dengan regresi logistik ganda. Hasil : Hasil bivariat menunjukkan variabel usia baduta, panjang badan lahir, tingkat kecukupan protein, karbohidrat, vitamin A, kalsium, zinc dan zat besi berhubungan dengan kejadian stunting pada baduta. Uji multivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein (p<0,001) dengan kejadian stunting pada baduta. Anak dengan tingkat kecukupan protein yang rendah berisiko 6,495 kali mengalami stunting.Simpulan : Faktor utama yang berhubungan dengan kejadian stunting pada baduta adalah tingkat kecukupan protein.
Latar belakang : Obesitas berkaitan dengan sindrom metabolik salah satunya hipertensi. Obesitas dengan hipertensi tidak hanya terjadi pada dewasa tetapi juga masa anak dan remaja, salah satunya anak Sekolah Dasar (SD). Faktor yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas dengan hipertensi antara lain asupan serat, asupan natrium, dan aktivitas fisik.Tujuan : Mengetahui hubungan asupan serat, natrium, dan aktivitas fisik terhadap kejadian obesitas dengan hipertensi pada anak SD.Metode : Desain penelitian case control study dengan matching usia dan jenis kelamin dari 3 SD di kota Semarang. Subjek penelitian terdiri dari 33 kelompok kasus (obesitas dengan hipertensi) dan 33 kelompok kontrol (tidak obesitas tidak hipertensi). Kriteria obesitas menggunakan indikator IMT/U dan tekanan darah menggunakan indikator persentil. Asupan serat dan natrium dihitung dengan food frequency questionaire (FFQ) semi kuantitatif dan aktivitas fisik menggunakan kuesioner aktivitas fisik. Analisa data menggunakan uji Chi Square.Hasil : Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara asupan serat (p=0,46), natrium (p=0,28), dan aktivitas fisik (p=0,33) terhadap kejadian obesitas dengan hipertensi. Asupan serat (OR=0,69; 95%CI=0,26-1,83) dan aktivitas fisik (OR=0,61; 95%CI=0,23-1,62) bukan merupakan faktor risiko kejadian obesitas dengan hipertensi. Asupan natrium (OR=2,22; 95%CI=0,51-9,76) merupakan faktor risiko terjadi obesitas dengan hipertensi, tetapi hasil inkonklusif.Kesimpulan : Asupan serat, natrium, dan aktivitas fisik tidak berhubungan terhadap kejadian obesitas dengan hipertensi. Asupan natrium yang tinggi meningkatkan risiko 2,22 kali kejadian obesitas dengan hipertensi pada anak SD.
Latar Belakang: Peningkatan prevalensi obesitas pada anak dapat terjadi karena aktifitas fisik yang rendah serta asupan makan yang tidak seimbang. Kebiasaan menonton televisi, bermain laptop, handphone ataupun game console yang lazim disebut screen-time viewing, dikaitkan dengan kenaikan prevalensi obesitas anak saat ini. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan jumlah asupan makanan (energi, lemak, serat dan natrium) berdasarkan kategori screen-time viewing pada anak obesitas usia 9-12 tahun. *)Penulis PenanggungjawabMetode: Sebanyak 80 anak berusia 9-12 tahun berpartisipasi dalam penelitian cross-sectional dengan menyetujui informed consent yang telah disediakan. Penentuan status obesitas ditentukan berdasarkan standar deviasi (SD) indeks massa tubuh terhadap umur. Data asupan energi, lemak, serat dan natrium diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuisioner screen-time viewing tiap hari dengan ketentuan kategori Low Screen-time Viewing (LSTV < 21 jam/minggu) dan High Screen-time Viewing (HSTV ≥ 21 jam/minggu). Hasil: Terdapat perbedaan jumlah asupan energi dan lemak berdasarkan kategori screen-time viewing pada anak obesitas usia 9-12 tahun. Jumlah asupan energi kategori screen-time viewing LSTV dan HSTV secara berturut-turut adalah 288,42±74,29 kkal dan 358,70±88,03 kkal, sedangkan jumlah asupan lemak untuk kategori LSTV dan HSTV masing-masing 10,29±4,73gr dan 15,08±10,79gr. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara jumlah asupan serat dan natrium berdasarkan kelompok LSTV dan HSTV pada anak obesitas usia 9-12 tahun.Simpulan: Jumlah asupan energi dan lemak kelompok LSTV lebih rendah dibandingkan jumlah asupan energi dan lemak kelompok pada anak obesitas usia 9-12 tahun.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
334 Leonard St
Brooklyn, NY 11211
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.