2016
DOI: 10.24257/atavisme.v19i1.174.60-74
|View full text |Cite
|
Sign up to set email alerts
|

Identitas Keindonesiaan dalam Drama Indonesia di Era Pujangga Baru (1930—1942)

Help me understand this report

Search citation statements

Order By: Relevance

Paper Sections

Select...
2
1

Citation Types

0
0
0
3

Year Published

2017
2017
2020
2020

Publication Types

Select...
2

Relationship

1
1

Authors

Journals

citations
Cited by 2 publications
(3 citation statements)
references
References 2 publications
0
0
0
3
Order By: Relevance
“…Hal ini disebabkan, pertama, perempuan sering dianggap sebagai simbol dalam suatu narasi identitas dalam konteks kolonial dan feminisme. Hal ini dikemukan oleh Saputra (2011) dan Susanto (2016;2017). Kedua, perempuan mengalami penjajahan ganda karena dirinya menjadi korban imperalisme.…”
Section: Pendahuluanunclassified
See 1 more Smart Citation
“…Hal ini disebabkan, pertama, perempuan sering dianggap sebagai simbol dalam suatu narasi identitas dalam konteks kolonial dan feminisme. Hal ini dikemukan oleh Saputra (2011) dan Susanto (2016;2017). Kedua, perempuan mengalami penjajahan ganda karena dirinya menjadi korban imperalisme.…”
Section: Pendahuluanunclassified
“…Mereka juga menghadirkan narasi perempuan. Bila Saputra (2011) tidak mempertimbangkan kelompok sosial, Susanto (2016;2017) mempertimbangkan kelompok sosial atau etnisitas. Kedua penelitian Susanto itu tidak mempertimbangkan persoalan gender atau perempuan.…”
Section: Pendahuluanunclassified
“…Perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang yang oleh Sigmund Freud dikonsepsikan sebagai "anatomi adalah takdir", mengeluarkan perempuan dari seluruh proses penjelasan tentang ke-diri-annya. Kebisuan perempuan didikte, dibuat menjadi objek studi (Setyawati, Arifin, Prayogi, & others, 2013;A. B. Susanto, 2003;H.…”
Section: Bias Gender: Pelanggengan Budaya Patriaki Dalam Ruang Privasunclassified