Latar belakang. Seng (Zn) berperan dalam proses regulasi pelepasan neurotransmitter, termasuk mekanisme N- methyl D aspartat (NMDA) yang akan membentuk memori.Tujuan. Untuk mengetahui hubungan kadar seng dengan memori jangka pendek pada anak kelas 1 sekolah dasar.Metode. Penelitian observasional eksploratif analitik terhadap murid kelas satu Sekolah Dasar di Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Purwodadi, dipilih secara acak pada bulan Juli 2004. Kriteria eksklusi apabila dijumpai anak dengan riwayat kelainan kongenital, menderita epilepsi, kelainan pada salah satu indra, gangguan fungsi motorik pada ekstremitas atas, mendapat pengobatan fenobarbital dan phenytoin jangka panjang, sedang batuk, pilek, atau panas. Sampel diambil dari rambut untuk pemeriksaan seng (Zn) di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, kadar Hb, feritin, dan kalsium plasma diperiksa di Laboratorium GAKY RS Dr. Kariadi, Semarang. Pemeriksaan memori menggunakan digit span forward, digit span backward, dan picture search.Hasil. Subjek penelitian adalah 111 anak kelas satu sekolah dasar terdiri 70 anak laki-laki (63,1%) dan 41 anak perempuan (36,9%). Terdapat hubungan sangat bermakna derajat kuat antara seng rambut dengan skor digit-span forward (p=0,002), backward (p=0,001), dan skor picture search (p=0,003). Kadar seng, Hb, dan ferritin plasma secara bersama-sama mempengaruhi memori jangka pendek sebesar 38–54%.Kesimpulan. Terdapat hubungan bermakna antara kadar seng (Zn) dengan memori jangka pendek pada anak sekolah dasar.
Latar belakang. Tidur adalah salah satu kebutuhan dasar untuk mendukung tumbuh kembang anak. Diagnosis dini gangguan tidur masih asing bagi orang tua karena pengetahuan tentang kualitas tidur yang kurang. Gangguan tidur dikaitkan dengan regulasi emosional otak. Tujuan. Menentukan hubungan antara gangguan tidur dan mental emosional pada anak usia 4-6 tahun di Semarang. Metode. Penelitian cross sectional pada anak usia 4-6 tahun sekolah taman kanak-kanak di Kota Semarang dari bulan April-Mei 2016 berdasarkan kriteria inklusi. Cluster sampling dilakukan dalam seleksi mata pelajaran. Gangguan skala tidur untuk anak sleep disturbances scale for children (SDSC) digunakan sebagai alat skrining, sementara perkembangan emosi dan tingkah laku anak digunakan SDQ. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS 22, chi-square, dan Fisher exact dengan signifikansi p<0,05. Hasil. Didapat 208 subyek dengan prevalensi gangguan tidur 73,6%. Terdapat hubungan yang signifikan dari gangguan tidur dengan jumlah SDQ skor (RP 2,3, IK95%: 1,1-4,7; p=0,02), skor emosional (RP 2,7, IK95%: 1,3-5,5; p=0,003) dan melakukan skor (RP 1,8, IK95%: 1,1-2,8; p=0,005). Tidak terdapat hubungan yang signifikan dari gangguan tidur pada hiperaktif, masalah dengan teman sebaya, dan perilaku prososial. Kategori pendapatan orang tua, tingkat pendidikan ibu, dan jenis kelamin tidak terbukti sebagai faktor perancu. Kesimpulan. Terdapat hubungan antara gangguan tidur dan masalah mental emosional dalam 4-6 tahun anak. Sari Pediatri 2017;18(5):345-9Kata kunci: gangguan tidur, masalah mental emosional Association between Sleep Disturbance and Mental Emotional Problem in 4-6 Years Old Children in SemarangAdriana Lukmasari, Fitri Hartanto, Tjipta Bahtera, Muhammad Heru Muryawan Background. Sleep is one of children's basic need to support growth and development. Early diagnosis of sleep disturbance is still unfamiliar due to the lack of parents knowledge about sleep quality. Sleep disturbance is associated with brain's emotional regulation Objective. To determine the association between sleep disturbance and mental emotional problem in 4-6 years old children in Semarang Methods. This was a cross sectional study in 4-6 years old children who match inclusions criteria in acredited A and B Kinder Garten school in Semarang from April-May 2016. Cluster sampling was performed in subjects selection. Sleep Disturbance scale for children (SDSC) was used as a screening tools of sleep distubance while the strength and difficulties questionnaire (SDQ) for mental emotional problem. Data was analyzed using SPSS 22, chi-square and Fisher.s Exact test with significancy p<0,05 Results. There were 208 subjects. The prevalence of sleep disturbance was 73,6%. There was significant association of sleep disturbance with total SDQ score (RP 2,3, 95%CI: 1,1-4,7; p=0,02), emotional score (RP 2,7, 95%CI: 1,(3)(4)(5)5 ; p=0,003) and conduct score (RP 1,8, 95%CI: 1,(1)(2)8; p=0,005). There were no significant association of sleep disturbance on hyperactivity, peer problem score and prosocial behav...
Latar belakang. Respon sepsis merupakan rantai kejadian yang kompleks, terdiri dari proses inflamasi dan anti inflamasi, reaksi humoral dan selular, dan abnormalitas hemodinamik. Komplikasi sepsis dapat terjadi di semua organ dengan manifestasi berupa kegagalan fungsi multiorgan, salah satunya adalah susunan saraf pusat. Biomarker S100B merupakan suatu pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan neurologi dan prognosis pasien anak/bayi dengan kondisi kritis salah satunya adalah sepsisTujuan. Membuktikan bahwa kadar S100B dapat digunakan sebagai prediktor terjadinya defisit neurologi pada anak dengan sepsis.Metode. Penelitian kohort prospektif pada 52 pasien anak dengan sepsis yang dirawat di Bangsal Anak, HCU, PICU dan IGD RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Januari 2019 sampai Juni 2019. Pasien dengan sepsis diambil sampel darah S100B untuk dinilai kemudian dilihat dalam waktu 3 hari ada atau tidaknya defisit neurologi. Perbedaan S100B antara kedua kelompok dianalisis dengan uji Independent T Test. Cut-off point serum S100B sebagai prediktor defisit neurologi ditentukan dengan menggunakan kurva ROC.Hasil. Sejumlah 52 anak sepsis diikutkan dalam penelitian. Terdapat 20 anak dengan defisit neurologi dan 32 anak tanpa defisit neurologi. Mean S100B dengan defisit neurologi adalah 0,44±0,24 μg/L dan tanpa defisit neurologi adalah 0,14±0,06 μg/L (95% CI 0,21-0,39, p<0,0001). Luas area di bawah kurva ROC 0,923, dengan cut-off point S100B 0,21 μg/L, RR 9,84 (95% CI 3,309 – 29,27; p<0,0001).Kesimpulan. S100B dapat digunakan sebagai prediktor defisit neurologi pada anak dengan sepsis.
There are still many cases of bacterial meningitis in Indonesia. The highest morbidity rate are between 2 months until 2 years of age. The important factors that influence the success of treatment are early diagnosis and detection of the cause. C-reactive protein (=CRP) could be found in the spinal fluid of meningitis patients. The aim of this study is to judge the ability of CRP as a tool in making diagnosis as soon as possible whether there is a bacterial infection of the central nervous system and to compare it with the result of the spinal fluid culture. Also to compare the ability of it a conventional or routine examination of the spinal fluid was done. This was a prospective study on 30 children that were admitted in the child ward of Kariadi Hospital, Semarang during the first of April until the and of july 1990. The ages of the children were between one month until 14 years, with clinical symptoms such as fever, seizure and neurological disorders. CRP examination was done with Latex Agglutination method. The result of CRP examination on spinal fluid showed that the sensitivity was 91.6% , the specificity 94.4% , the positive prediction value 91.6% and the negative prediction value 94.4%. As a conclusion, CRP examination of spinal fluid gives better results than the conventional or routine examination in distinguishing bacterial meningitis from non bacterial meningitis.
Perinatal asphyxia is the most common cause of either death or severely handicapped survivors. Perinatal asphyxia can be identified by one, five, ten minutes APGAR scores less than 7. Prolonged asphyxia produce hypoxemia, acidosis, hypercapnia, thus diminishing cerebral blood flow, which in turn results in clinical patterns of Hypoxic - Ischemic Encephalopathy (HIE). The atm of this study was to evaluate the accuracy of clinical observation on newborn asphyxia to predict the presence of neurological deficits connected with blood gas analysts investigation. Thirty eight newborn babies who bad APGAR scores of less than 7 as an asphyctic newborn baby group compared with an equal number of normal babies as control group. Physical and neurological examinations were performed immediately after birth and at six months of age. Two of the 38 infants who bad perinatal asphyxia died several hours after birth. Two of the 31 of the surviving infants with a historical of perinatal asphyxia bad cerebral palsy. One of the two babies with cerebral palsy bad epilepsy. Twenty nine of the 31 of the surviving infants with a history of perinatal asphyxia with or without mild HIE showed normal neurological outcomes. All of the normal newborn babies as control showed normal neurological outcome. One infant with cerebral palsy and one infant who bad cerebral palsy with epilepsy bad a history of a severe degree of HIE and moderate degree of Hm with neonatal convulsion respectively. One of the 2 infants with cerebral palsy bad severe hypoxia and none on the infants with normal neurological outcome exhibited Pa02 less than 50 mmHg. There were no significant differences ( p > 0.05) of the Pa02 PH and base deficit between the infants with a history of asphyxia and with a history of a vigorous baby, who bad a normal outcome. We concluded that postasphyxia encephalopathy was more accurate than a low APGAR score in predicting an adverse outcome, and the value of the Pa02 very important in predicting an encephalopathy.
Latar belakang. Sepertiga pasien kejang demam pertama mengalami bangkitan ulang kejang demam. Riwayat keluarga adalah pernah kejang demam dan mutasi gen merupakan faktor risiko bangkitan kejang demam berulang.Tujuan. Membuktikan faktor genetik sebagai risiko terjadi kejang demam berulang.Metode. Rancangan penelitian kohort prospektif. Subjek pasien kejang demam pertama, selama 18 bulan diamati terjadi bangkitan ulang kejang demam. Amplifikasi DNA dengan teknik PCR dan sequencing untuk melihat mutasi gen pada kanal ion Natrium. Pengujian hipotesis memakai regresi logistik, dan uji korelasi memakai Rank Sperman corelation.Hasil. Sepertiga pasien kejang demam pertama mengalami kejang demam berulang. Mutasi gen kanal ion Na+ SCNIA 19(61,3%) pasien, terdapat pergantian Argenin (R) oleh asam glutamat (Glu) (Arg1627Glu) (mutasi missense) dan kodon stop (TGA).(mutasi nonsense), sedangkan pada SCNIB 12(38,7%) pasien, terdapat mutasi heterozigot, yaitu kodon 130:GAA /AAA, kodon 96:CGG/TGG, kodon 138:GTC/ATC, kodon 95:AGC /ATT dan kodon:154 GCT/AAT. Ada hubungan mutasi gen dengan umur, suhu dan riwayat keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama. (koefisien korelasi berturut-turut –0,359; -0,339; 0,278). Riwayat keluarga pernah kejang demam dan mutasi gen berisiko 2-3 kali terjadi kejang demam berulang (RR 2.9, p<0,05 dan RR 3.556 p>0,05)Kesimpulan. Sepertiga pasien kejang demam pertama mengalami kejang demam berulang. Riwayat keluarga pernah kejang demam dan mutasi gen merupakan faktor risiko kejang demam berulang. Terdapat hubungan mutasi gen dengan umur, suhu dan riwayat keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.