Menjadi teramat jelas, di mana hampir semua ontologi "desa" menekankan lebih kepada keberadaan satu kawasan/wilayah, serta pengakuan akan nilai-nilai yang melekat pada aktivitas, dan cenderung dibuat berbeda khususnya secara administratif. Kita tentu tidak menolak bahwa secara administrasi kepemerintahan pembedaan antara Desa dengan bukan desa diperlukan untuk mempermudah identifikasi dan penyelesaian masalah. Namun pada faktanya, kita banyak menemukan bahwa desa lebih diartikan sebagai sesuatu yang tidak sama dengan wilayah lain dalam masalah keadilan sosial-budaya ekonomi dan bahkan kebijakan publik. Sehingga pembedaan adimistratif kemudian menurun kepada pembedaan penyikapan-penyikapan siapapun yang mencoba memahami desa.Pada akhirnya cara pandang dan pemahaman kita tentang desa dibangun melalui suatu cara pandang konservatif yang sarat dengan penglihatan dikotomis dan eksotis. Implikasinya, dengan cara pandang demikian maka permasalah substansi desa tidak pernah terjamah. Desa semakin lama terpuruk dalam kubangan kemiskinan. Warga, dalam hal ini petaninya sendiri, meminjam istilah J.C Scott, sudah seperti berada dalam arus air di mana yang terlihat hanya jemari tangannya yang kalau ada ombak kecil saja bisa tenggelam (Soetarto, 2007).Lalu apa yang kemudian bisa kita identifikasikan dengan kata desa?. Sebagian dari kita akan memakai istilah usang namun membahana, bahwasanya desa merupakan kumpulan manusia yang diikat dengan rasa kekerabatan yang tinggi, kepedulian yang luar biasa dan mereka masih berada pada garis yang namanya keterbelakangan karena kondisi sektoral dan alam yang mengiyakan bahwa premis karena kondisi alam dan geografis maka mereka selalu terlambat.Memahami makna tentang desa, di sisi lain, kadang menjadi jauh karena kita sangat enggan menjadi bagian dari "desa". Istilah -wong ndeso‖ terasa dalam pikiran kita ada sesuatu yang harus dijauhi karena didalamnya melekat segudang kekurangan, seperti tidak kenal teknologi canggih, ketinggalan jaman (kuno), feodalistik, terkekang, dll., yang menunjukkan sejuta "kehinaan".Maka wajar jika bayang kita tentang "desa" menjadi berjarak alias-meminjam bahasa ilmiah akademik-obyektif. Adalah Tukul Arwana yang justru memberi pemaknaan yang jauh lebih mulia mengenai "desa". Dalam bukunya yang baru terbit, "Kisah Sukses dengan Kristalisasi Keringat Tukul ‗Katro" Arwana The Face Country And The Money City (2007)" ia membuat definisi seperti apa yang dinamakan wong ndeso. Ia menyebutkan bahwa yang disebutkan sebagai wong ndeso itu adalah seseorang yang kurang tahu tapi tidak malu untuk terus mencari tahu. Dalam peribahasa Sunda, keadaan demikian sering disebut sebagai "bodo alewoh".Akan tetapi jika kita kembali ke definisi tentang "desa", beberapa pertanyaan kritis patut kita arahkan kepada mereka. Mari kita telusuri beberapa kutipan berikut. Dalam "The Random House Dictionary‖ (1968) disebutkan bahwa yang disebut sebagai "village‖ atau desa adalah: a small community or group of house in a rural area usually smaller than a town and sometimes incorporated as a mun...
Breast cancer is the second leading cause of death after cervical cancer from the many deaths caused by cancer in women. Cancer treatment therapy is generally classified as expensive and has serious side effects. Propolis and Curcuma zanthorrhiza (Curcuma zanthorrhiza) have been widely tested by research institutions and have the potential to be anticancer. This study aimed to evaluate the synergy between anticancer activity of a combination of propolis and Curcuma zanthorrhiza extract against MCF-7 cancer cells using Response Surface Methodology (RSM). The test parameters observed were % inhibition of combination of propolis and Curcuma zanthorrhiza extract against MCF-7 cancer cells. Tests were carried out with 13 treatment combinations of extracts of propolis and Curcuma zanthorrhiza, negative control (cell growth media MCF-7) and positive control (doxorubicin) carried out in 3 replications in each treatment. The results showed that the LC50 and IC50 values obtained were in a higher concentration range compared to the LC50 and IC50 values of each extract.
In Indonesia, hypertension is a condition that can lead to death through stroke and TB. Herbs have traditionally been used in Indonesia as an alternative medicine for lowering blood pressure. The leaves of
Anredera cordifolia
and
Sonchus arvensis
have been investigated for their antihypertensive potential. Based on the number of treatments, rats were randomized into groups. Each group consists of five rats. The test animals were grouping as follows: the positive control group (hypertension induction without treatment),
A. cordifolia
50 mg/kg b.w. group,
A. cordifolia
100 mg/kg b.w.,
S. arvensis
50 mg/kg b.w,
S. arvensis
100 mg/kg b.w.,
A. cordifolia
25 mg/kg b.w +
S. arvensis
25 mg/kg b.w,
A. cordifolia
50 mg/kg b.w +
S. arvensis
50 mg/kg b.w, and atenolol 4.5 mg/kg b.w. The rats were given 0.25 mg/kg b.w. of epinephrine intraperitoneally. The initial, after induction, and final blood pressure of the animals were measured using the CODA
®
noninvasive blood pressure device. All animal test groups at T60 showed a significant difference in systolic and diastolic blood pressures to initial blood pressure (T0),
P
< 0.05. The combination of
A. cordifolia
50 mg/kg b.w and
S. arvensis
50 mg/kg b.w showed the highest percent inhibition of systolic and diastolic blood pressure. The combination of
A. cordifolia
and
S. arvensis
50–50 mg/kg b.w showed the best effect of lowering systolic and diastolic blood pressure on the pathway of inhibiting adrenergic receptors.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.