Kesehatan merupakan salah satu bentuk dari hak asasi manusia. Penegasan Pasal 28H UUD NRI 1945 mengakui bahwa kesehatan adalah sebagai hak yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Konsekuensi yuridis atas ketentuan tersebut maka pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak kesehatan kepada masyarakat. Dari permasalahan maka apakah pemerintah dapat diguggat apabila gagal dalam memberikan pelayanan kesehatan dan bagaimana prosedur untuk menggugat. Dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah Pendekatan perundang-undangan dan Pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil analisis dikemukanan yaitu, pertama, UU Kesehatan, UU SJSN dan UU BPJS merupakan instrumen pemerintah untuk memberikan jaminan dan pemenuhan hak atas kesehatan. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat tindakan diskriminatif dan belum meratanya program pemerintah. Dengan kata lain pemerintah gagal dalam memberikan pelayanan kesehatan. Atas dasar tersebut pemerintah dapat digugat secara perdata dan secara administrasi. Kedua, dalam penyelengaaraan pelayanan kesehatan lahir gugatan berkaitan dengan Onrechtmatige Overheidsdaaad (OOD) atau Besckikingapabila terjadi kerugian yang diderita oleh masyarakat berkaitan dengan hak kesehatanya. Terhadap OOD dapat diajukan ke Pengadilan umum, apabila berkaitan dengan Besckiking dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu masyarakat juga dapat melakukan pengaduan kepada Ombudsman.
The Ombudsman as a state institution has the duty to oversee the administration of the state, particularly in public services in order to realize good governance. Therefore the institution is demanded to be independent and impartial to other state institutions. In addition, the presence of the Ombudsman becomes a manifestation of legal protection for the community in the event of maladmnistration conducted by the apparatus/state officials in using their authority. The birth of the Ombudsman is inseparable from history in Scandinavian countries, including in Denmark. The Danish Ombudsman, known as the Folketingets Ombudsmand, has become one of the most important institutions in the state system there. While in Indonesia, its position has received less attention. This difference makes the writer interested to compare it. The approach used in this paper uses a micro-type body of norm approach, which is a legal comparison that uses the Act as the basis for comparison, which is used is Act Number 37 of 2008 concerning the Ombudsman of the Republic of Indonesia compared to the Danish Ombudsman Act. Whereas the legal comparison method uses analytical method. The result of this research is to reconstruct the law in Law Number 37 Year 2008 concerning the Ombudsman of the Republic of Indonesia by adopting from what is in the Danish Ombudsman Act. the hope is that the existence of ORI is so respected and recommendations from ORI are not merely morally binding but are legally binding.Ombudsman sebagai lembaga negara yang memiliki tugas untuk mengawasi dari penyelenggaraan negara, khususnya pada pelayanan publik agar terwujudnya good governence. Oleh karena itu lembaga tersebut dituntut untuk bersifat independen dan tidak memihak kepada lembaga negara lainnya. Selain itu hadirnya Ombudsman menjadi suatu perwujudan perlindungan hukum bagi masyarakat apabila terjadi maladmnistrasi yang dilakukan oleh aparatur/pejabat negara dalam menggunakan kewenangannya. Lahirnya Ombudsman tidak lepas dari sejarah di negara Skandinavia, termasuk di Denmark. Kedudukan Ombudsman Denmark atau dikenal sebagai Folketingets Ombudsmand, lembaga tersebut menjadi salah satu lembaga penting dalam sistem ketatanegaraan disana. Sedangkan di Indonesia keududukannya kurang mendapat perhatian. Perbedaan inilah yang membuat penulis tertarik untuk membandingkannya. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan pendekatan mikro jenis bodies of norm, yaitu perbandingan hukum yang menggunakan Undang-Undang sebagai dasar untuk melakukan perbandingan, yang dipakai adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dibandingkan dengan The Ombudsman Act Denmark. Sedangkan untuk metode perbandingan hukum menggunakan analytical method. Hasil dari penelitian ini adalah untuk dilakukan rekonstruksi hukum pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dengan mengadopsi dari apa yang ada di The Ombudsman Act Denmark. harapannya adalah eksistensi ORI begitu disegani dan rekomendasi dari ORI tidak sekadar mengikat secara moral melainkan mengikat secara hukum.
Dalam terselenggaranya pemilu, calon dari presiden dan wakil presiden beserta DPR dan DPD melakukan kampanye untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Kegiatan kampanye tidak hanya dilakukan secara langsung dihadapan masyarakat tetapi bisa dilakukan dengan media elektronik salah satunya ialah media sosial. Kehadiran internet tentu membawa dampak positif dan negatif bagi dunia. Adanya internet menghadirkan berita politik secara langsung untuk ditujukan kepada masyarakat, seperti informasi mengenai black campaign atau kampanye hitam yang dilakukan tidak hanya oleh masyarakat umum tetapi juga dilakukan oleh elit politik. Pengertian kampanye pemilu menurut Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa “kampanye Pemilu adalah kegiatan perserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta Pemilu”. Kampanye hitam (black campaign) dapat membahayakan bagi keutuhan bangsa dan negara. Penggunaan internet khususnya media sosial memang memberikan dampak positif kepada masyarakat, tetapi akan menimbulkan ancaman bagi ideologi bangsa apabila dipergunakan untuk sesuatu yang salah seperti kampanye hitam. Kampanye hitam yang dilakukan dalam media sosial meliputi perbuatan seperti penghinaan, fitnah, bullying sampai menyebarkan berita bohong atau biasa dikenal hoax di berbagai media sosial. Terdapat kampanye negatif dibolehkan karena info yang dikatakan berupa fakta yang telah diverifikasi meskipun bentuknya menyerang pihak lawan. Sebagai masyarakat haruslah paham mengenai kampanye yang baik dan buruk, meskipun dalam penerapannya sebagian masyarakat akan melakukan kampanye hitam sebagai bentuk dukungan kepada salah satu calon yang dipilih agar lawan kalah dalam pemilihan umum.
The purpose of writing this journal is to find out where the differences and similarities between the presidential election system are in 2 (two) countries, namely Indonesia and South Korea. The focus of the questions in this journal is: how is the general election system implemented in Indonesia and South Korea (which includes explaining the history, system and mechanism of general elections in Indonesia and South Korea as well as, what are the differences in the presidential election system that used by Indonesia and South Korea. The research in this journal uses a normative juridical approach where the reference in writing is the legal basis of 2 (two) countries namely Indonesia and South Korea, in Indonesia the general election system uses the constitutional basis of the Constitution The Republic of Indonesia in 1945, Law Number 42 of 2008 concerning General Elections for President and Vice President, Law Number 7 of 2017 concerning General Elections, while South Korea uses the Constitution of the Republic of Korea [Hangul: Daehanmingug Heonbeob]. So in s conclude that in writing this journal there are similarities and differences in the history, mechanisms, regulations, systems of the general elections of Indonesia and South Korea.
Hak Asasi Manusia bersifat kodrati yang telah melekat pada individu sejak dilahirkan dan diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa serta sebagai karunia, yang mempunyai hak untuk pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan dan sebagainya. Sebagaimana diketahui padatnya Penduduk Indonesia yang padat, persaingan yang semakin tinggi dan lapangan pekerjaan yang sempit serta penghasilan yang tak sesuai yang diharapkan disamping kebutuhan hidup sehari-hari yang terus bertambah, mendorong masyarakat lebih memilih berkerja di luar negeri yang biasa disebut sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Banyaknya kasus terhadap warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri yang mengalami berbagai macam tindakan diskriminatif. Keikutsertaan negara tak terlepas dari tanggung jawabnya untuk tetap melindungi warga negaranya, terutama melalui pemerintah. Pengawasan dan pemantauan (sistem Monitoring) merupakan tindakan yang perlu diapresiai sebagai bentuk kepedulian negara kepada warga negaranya yang bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran Indonesia. Namun, adanya pemberlakuan dalam praktiknya tidak begitu dirasakan oleh pekerja migran Indonesia. Kelemahan dalam sistem inilah yang mendasari penulis membahas lebih mendalam. Penulis menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan menganalisis dari berbagai platfrom media massa untuk menarik beberapa permasalahan yang terjadi pada pekerja migran Indonesia dan mengaitkan penyebab dengan kaidah atau norma hukum baik nasional maupun internasional (Konvensi). Hasil penelitian ini mendapati bahwa pada permasalahan terkait pengawasan atau pemantauan pada pekerja migran belum optimal dalam praktiknya kurang koordinasi antara pekerja migran Indonesia dengan pemangku kepentingan baik yang berada di tempat negara tujuan sebagai lembaga perwakilan yaitu Kedutaan Besar Republik Indonesia dan yang sedang berada di Indonesia.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.