Psoriasis merupakan peradangan kulit kronik dengan dasar genetik. Untuk mencapai remisi dan kualitas hidup yang baik, pilihan terapi disesuaikan dengan kebutuhan perorangan pasien. Tipe dan derajat keparahan psoriasis perlu ditentukan guna memilih tata laksana yang sesuai karena memengaruhi keberhasilan terapi, masa remisi, serta tingkat morbiditas. Penelitian ini bertujuan menilai kesesuaian tata laksana psoriasis berdasarkan derajat keparahan dengan menggunakan Panduan Praktik Klinis (PPK) RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Studi retrospektif ini mengambil subjek seluruh pasien baru psoriasis di Divisi Alergi Imunologi, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM periode Oktober 2017 – Oktober 2018. Keparahan psoriasis dinilai dengan skor body surface area (BSA) dan psoriasis area severity index (PASI). Sebanyak 32 di antara 35 pasien (91,4%), skor BSA dan/atau PASI terdokumentasi pada rekam medis, dan 30 di antara 32 pasien (93,8%), mendapatkan pilihan terapi sesuai dengan tipe psoriasis atau skor BSA dan/atau PASI. Kepatuhan pasien sangat penting sehingga pemilihan tata laksana psoriasis perlu mempertimbangkan kenyamanan pasien terkait efek samping pengobatan, kemudahan pasien untuk mengakses fasilitas, dan aspek ekonomi. Kesesuaian terapi tidak mencapai 100% karena kontraindikasi pemberian terapi standar, penolakan pasien, dan ketidaktersediaan obat misalnya metotreksat. Sebanyak 93,8% pasien psoriasis di RSCM telah ditata laksana sesuai dengan PPK RSCM dan PERDOSKI.Kata Kunci: BSA, PASI, psoriasis, tata laksana
Nekrolisis epidermal (NE) yang terbagi atas Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan reaksi simpang obat berat dengan mortalitas tinggi. Penyebab kematian terbanyak pada NE adalah sepsis, namun gejala sepsis tidak spesifik pada NE dan hasil kultur darah membutuhkan waktu lama. Oleh karena itu penting mengetahui prediktor yang berpengaruh terhadap peningkatan risiko bakteremia pada pasien dengan NE. Evidence-based case report ini bertujuan mengetahui faktor prediktor terjadinya bakteremia pada pasien NE berdasarkan literatur. Pencarian artikel menggunakan basis data PubMed, Cochrane, dan Scopus yang relevan dengan pertanyaan klinis untuk kemudian ditelaah. Didapatkan dua artikel kohort yang sesuai. Studi Koh dkk. mendapatkan tiga prediktor yang berpengaruh terhadap kejadian bakteremia pada pasien NE; yaitu hemoglobin ≤ 10 g/dL (odds ratio [OR] 2,4; interval kepercayaan [IK] 95% 2,2-2,6), luas epidermolisis ≥ 10% (OR 14,3; IK 95% 13,4-15,2) dan penyakit komorbid kardiovaskular (OR 2,1; IK 95% 2,0-2,3). Studi De Prost dkk. mendapatkan tiga prediktor yaitu usia > 40 tahun (hazard ratio [HR] 2,5; IK 95% 1,35-4,63), leukosit > 10.000/mm3 (HR 1,9; IK 95% 0,96-3,61), serta LPB ≥ 30% (HR 2,5; IK 95% 1,13-5,47). Epidermolisis yang lebih luas merupakan faktor prediktor terjadinya bakteremia pada NE di kedua studi. Faktor risiko lainnya memerlukan penelitian lebih lanjut.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.