Pendahuluan. Saat ini pneumonia komunitas menjadi salah satu infeksi dengan angka tertinggi yang dapat dijumpai di rumah sakit. Terapi antibiotik empirik pada pneumonia komunitas dilakukan dengan mengamati berbagai parameter. Parameter yang dapat diukur sebagai outcome terapi pasien dengan pneumonia komunitas selain angka mortalitas adalah lama tinggal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari pemberian antibiotik empiris terhadap lama tinggal pada pasien pneumonia komunitas yang diterapi berdasarkan panduan penggunaan antibiotik American Thoracic Society Infectious Disease Society of America (ATS/IDSA) 2007 dengan yang tidak diterapi berdasarkan panduan di ruang rawat inap salah satu rumah sakit di Jakarta dari Januari 2014 sampai dengan Agustus 2015. Metode. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dan dianalisis berdasarkan uji analisis bivariat serta uji analisis multivariat untuk mereduksi pengaruh variabel perancu. Sampel uji pada penelitian dihitung menggunakan rumus perbedaan dua proporsi. Sampel diambil di ruang rawat inap di sebuah rumah sakit di Jakarta. Hasil. Setelah mengontrol variabel perancu, pemberian antibiotik empiris berdasarkan panduan penggunaan antibiotik ATS 2007 pada pasien pneumonia komunitas dengan keterbatasan aktivitas gerak (imobilisasi) sebagai variabel perancu yang bermakna dalam memengaruhi LOS, memiliki kecenderungan 10,25 kali untuk mengalami normal stay di rumah sakit dibandingkan dengan pasien CAP yang menerima antibiotika empiris tidak berdasarkan panduan penggunaan antibiotik ATS 2007 dengan nilai p <0,001. Simpulan. Secara statistik terdapat pengaruh dari pemberian antibiotika empiris terhadap lama tinggal pada pasien pneumonia komunitas yang diterapi berdasarkan panduan penggunaan antibiotika ATS 2007 dengan yang tidak diterapi berdasarkan panduan penggunaan antibiotika ATS 2007.
Latar belakang. Pneumonia masih paling sering sebagai infeksi primer maupun infeksi sekunder dalam perawatan anak di ruang rawat intensif. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan morbiditas, mortalitas, pengobatan lebih mahal, dan resistensi antibiotik.Tujuan. Mengevaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif pada pasien pneumonia menggunakan metode Gyssens dengan konsep RASPRO.Metode. Penelitian deskriprif retrospektif berdasarkan data rekam medis pasien pneumonia di ruang intensif anak RS Hermina Bekasi, periode bulan Mei sampai Oktober 2019. Antibiotik dievaluasi secara kualitatif menggunakan metode Gyssens dengan konsep RASPRO.Hasil. Didapatkan 51 (14,46%) pasien dengan pneumonia berat. Digunakan 119 antibiotik; terdiri dari 90 (75,63%) empiris dan 29 (24,37%) definitif. Ampisilin sulbaktam merupakan antibiotik paling banyak digunakan (15,98%), diikuti sefotaksim (15,12%), meropenem (13,44%), azithromisin (11,78%), dan seftriakson (10,92%). Berdasarkan metode Gyssens dengan konsep RASPRO, penggunaan antibiotik tepat (kategori 0) sebanyak 63,02%, sedangkan tidak tepat, yaitu 1,68% kategori IVa (alternatif lebih efektif), 22,69% kategori IIIa (durasi terlalu panjang) 9,24% kategori IIIb (durasi terlalu singkat), dan 3,36% kategori IIa (tidak tepat dosis).Kesimpulan. Pemakaian antibiotik tepat didapatkan hasil cukup baik, yaitu 63,03%. Konsep RASPRO dapat digunakan untuk mengurangi bias subyektifitas dalam penilaian antibiotik secara kualitatif dengan metode Gyssens pada pneumonia di ruang intensif anak.
Masalah Mutu: Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) muncul sebagai masalah global akibat penggunaan betalaktam yang berlebihan. Tahun 2015, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 8/2015 agar rumah sakit dapat mengatur penggunaan antibiotik secara bijak. Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) 2018 juga mengkaji berbagai indikator mutu dalam penggunaan antibiotik di rumah sakit, termasuk Define Daily Dose (DDD) dan unit penjualan antibiotik. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah tools yang dapat mengatur klinisi agar penggunaan antibiotik menjadi lebih efisien. Pilihan Solusi: Regulasi Antimikroba Sistem Prospektif (RASPRO) merupakan sebuah konsep tools berupa tabel untuk pengaturan penggunaan antibiotik empirik dan definitif prospektif di rumah sakit yang bertujuan untuk mengoperasionalkan Peraturan di atas. Indikator perbaikan penggunaan antibiotik yang digunakan adalah penurunan DDD dan unit penjualan antibiotik sesuai SNARS. Implementasi: RASPRO membentuk Panduan Penggunaan Antibiotik (PPAB) dengan pertimbangan pola kuman lokal, dan membaginya ke dalam stratifikasi I-III sesuai dengan risiko infeksi dan tingkat keparahan penyakit pasien. Aplikasi RASPRO dilakukan dengan menggunakan tabel yang wajib diisi klinisi pada peresepan antibiotik. Tabel tersebut mengarahkan klinisi mengenai jenis antibiotik yang harus digunakan sesuai PPAB berdasarkan kondisi pasien dan tingkat keparahan penyakit, sesuai gambar dalam stratifikasi. Antibiotik direserve dan direstriksi melalui sistem tabel RASPRO, apabila peresepan tidak sesuai stratifikasi. Evaluasi dan Pembelajaran: Tampak penurunan signifikan DDD ceftriaxone dan meropenem di RS A sebelum dan sesudah sosialisasi PPAB-RASPRO dengan model stratifikasi pada fokus-fokus infeksi besar (pneumonia, infeksi saluran kemih (ISK), infeksi intra abdomen). Penjualan unit antibiotik carbapenem dan ceftazidime (cephalosporin anti-pseudomonas) dalam tiga bulan di RS Y, yang telah menerapkan tabel aplikasi RASPRO, dijumpai jauh lebih rendah dibandingkan RS X yang belum menerapkan program RASPRO. Dijumpai penurunan total peresepan betalaktam dan meropenem pada RS X dalam 3 bulan setelah konsep RASPRO diterapkan sebagai projek ujicoba di beberapa bangsal.
Background Patients with severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 infection show various clinical manifestations, including neurological . Altered consciousness due to severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 encephalitis is a very threatening condition if not treated immediately. Case presentation We present the case of a 34-year-old Asian female who tested positive for severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 infection using a nasopharyngeal swab sample and presented with acute changes in consciousness without typical respiratory symptoms. Empiric therapy was immediately and simultaneously given with cerebrospinal fluid analysis using polymerase chain reaction, which later also showed positive results for severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 infection. Conclusions It is important to consider the diagnosis of severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 encephalitis when a patient presents with acute altered consciousness and no typical respiratory symptoms. Early empiric therapy can improve patient outcomes.
LATAR BELAKANGSepsis merupakan suatu respon sistemik terhadap infeksi. Sepsis masih merupakan penyebab kematian utama pada kasus kritis di berbagai penjuru dunia. Central of Disease Control (CDC) pada tahun 2016 mencatat sedikitnya 1.7 juta orang dewasa mengalami sepsis per tahunnya, dengan angka kematian mencapai rata rata 270.000 orang per tahun di Ameriksa Serikat. Procalcitonin (PCT) merupakan pemeriksaan baku emas pada kasus sepsis bakterial. Kejadian sepsis akan menyebabkan terjadinya gagal multi-organ, tak terkecuali terjadi gagal hati. Penelitian ini merupakan sebuah studi pendahuluan, yang mencoba untuk melihat korelasi antara peningkatan PCT dengan peningkatan serum transaminase pada pasien-pasien yang didiagnosis sepsis. METODEPenelitian ini merupakan prelimanary study, bersifat analitik observasional dengan jumlah sampel sebesar 36 subyek, dan rancangan penelitian potong lintang di ruang ICU sebuah rumah sakit di Jawa Barat. Pada penelitian ini reduksi perancu dilakukan melalui kriteria inklusi-eksklusi, dilakukan uji korelasi Spearman setelah terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. HASILData yang diperoleh rerata usia subjek penelitian adalah 47.5 ± 3.57 tahun. Hasil kadar serum transaminase (SGPT) pada pasien sepsis menunjukkan rata-rata 60.4167±1.65/mm3. Rata-rata kadar procalcitonin pada pasien sepsis adalah 6.5083±0.78 ng/ml. Koefisien korelasi yang didapat pada penelitian ini antara kadar serum transaminase PCT dengan SGPT adalah r = 0.812 (p=0.000). KESIMPULANPenelitian ini merupakan studi pendahuluan yang mungkin bisa memberikan suatu indikasi bahwa pada sepsis awal, sebenarnya sudah mulai terjadi disfungsi hati, dan dari penelitian ini terdapat korelasi yang signifikan antara peningkatan kadar PCT dengan SGPT.
According to various analyses, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) is experiencing a significant deficit. Inefficiency in the use of drugs in health services, including prescribing and using antibiotics, creates a bigger burden for BPJS. In the term of these conditions, quality and cost control is necessary to be done. RASPRO is an antibiotic stewardship program that can be used as an alternative to increase the effectiveness of antibiotic quality and cost control as listed in PERMENKES 8/2015 concerning antibiotic resistance control as an effort to reduce BPJS costs.
Background: The Indonesian Regulation on the Prospective Antimicrobial System (Regulasi Antimikroba Sistem Prospektif / RASPRO) is a novel program. Its role has been reinforced by the Indonesian Ministry of Law and Human Rights Stipulation, which may predict the risk of sepsis events. Our study aimed to evaluate whether the risk factors listed in the RASPRO consensus have actual effects on sepsis events.Method: The study was a retrospective cohort using secondary data with 98 subjects. The subjects were categorized into two groups, i.e., the RASPRO group with type III stratification (RASPRO Group) and Non-type III stratification RASPRO group (Non-RASPRO Group). Subjects with infection but with conditions other than the abovementioned criteria were categorized into the Non-RASPRO group.Results: We found that among subjects in the RASPRO group, a history of antibiotic use over the past <30 days (OR 3.42; 95%CI 1.32–8.85; p=0.011) and a history of having procedure using medical instruments within the last <30 days (OR 2.62; 95%CI 1.06–6.45; p=0.037) seemed to be greatest risk factors for sepsis events.Conclusion: The RASPRO group has a higher risk for sepsis events than the non-RASPRO with a history of antibiotic undergoing a procedure using a medical instrument within the last <30 days possessed the greatest risk factors for sepsis events.
LATAR BELAKANG Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) edisi 1 / 2018 menjadikan kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO) sebagai salah satu indikator mutu untuk menilai kinerja pengendalian infeksi di rumah sakit. Pemberian antibiotik lanjutan paska operasi sectio caesaria (SC) menjadi isu yang penting untuk dikaji, mengingat operasi ini pada dasarnya tidak membutuhkan pemberian antibiotik lanjut paska operasinya. Pemberian antibiotik lanjutan paska operasi SC merupakan penggunaan antibiotik tidak bijak. METODE Pasien dibagi menjadi 2 kelompok dengan jumlah masing-masing sebesar 49 subjek. Kelompok pertama adalah kelompok subjek yang diberikan antibiotik lanjut paska SC dan kelompok kedua adalah kelompok subjek dengan pemberian antibiotik tidak lanjut paska SC kemudian dari masing-masing kelompok dikaji kemungkinan munculnya tanda IDO dan LOS pasien. Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dengan data sekunder dari rekam medis pasien Januari 2019 - Desember 2019. Uji analisa dengan chi square. Data dianalisa dengan SPSS Statistics. HASIL Setelah mengontrol variabel perancu, pemberian antibiotik lanjut paska SC tidak signifikan berpengaruh menurunkan kemungkinan munculnya tanda IDO (OR = 0.157; p=0.098; 0.02-1.41 IK95%), juga tidak memiliki pengaruh terhadap LOS pasien (OR=1.73; p=0.562; 0.27-10.85 IK 95%). KESIMPULAN Tidak terdapat pengaruh dari pemberian antibiotika lanjutan terhadap tanda kejadian IDO dan LOS pada pasien post SC sebelum dan setelah mengontrol variabel perancu. Pemberian antibiotik lanjutan paska SC merupakan pemberian antibiotik yang tidak bijak.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.