Objective: An appropriate neonatal resuscitation device for village midwives in Indonesia is chosen.Study Design: The study compared four neonatal resuscitation devices: Ambu neonate bag and mask, Topster bag and mask, Laerdal pediatric pocket mask and Tekno tube and mask. Functionality was tested by 40 village midwives who were also interviewed about ease of use. Ventilation volume was tested using a mannequin and computer interface. Other features were assessed by PATH engineers.Result: There was no significant difference in the ventilation volumes among the four devices or any difference in acceptability to midwives or infection prevention ability, but the tube and mask devices were considered easier to clean. Conclusion:Given the similarity in functionality, ease of use, infection prevention, and portability and the significant difference in price, public health experts and neonatologists chose the local tube and mask device for use by village midwives.
Persalinan preterm atau kurang bulan akan membawa konsekuensi bayi yang lahir menjadi bayi preterm atau bayi kurang bulan (BKB) . Bila terjadi kegagalan adaptasi pada kehidupan ekstra uterin maka akan terjadi gawat neonatus yang dapat berdampak kematian atau kecacatan. Bayi cukup bulan (BKB) mempunyai banyak risiko atau masalah akibat kurang matangnya fungsi organ antara lain Penyakit membran hialin, asfiksia, perdarahan intrakranial, gangguan neurologik, hipotermia, gangguan metabolik dan kecenderungan untuk terjadinya infeksi neonatal. Sedangkan komplikasi jangka panjang antara lain akan mengakibatkan terjadinya retardasi mental, gangguan sensori (gangguan pendengaran dan penglihatan, kelainan retina ROP (retinopathy of prematurity). Upaya yang paling penting adalah mencegah terjadinya persalinan preterm semaksimal mungkin dengan pemeriksaan antenatal yang baik, meningkatkan status gizi ibu, mencegah kawin muda dan mencegah serta mengobati infeksi intra uterin. Apabila sudah terjadi ancaman persalinan, maka pemberian steroid antenatal ternyata menunjukkan bukti medis yang bermakna dalam mematangkan fungsi paru. Apabila bayi terpaksa lahir sebagai BKB, maka manajemen yang cepat tepat dan terpadu harus sudah mulai dilaksanakan pada saat antepartum, intrapartum dan postpartum atau pasca natal. Manajemen intrapartum dengan menerapkan pelayananan neonatal esensial, manajemen pasca natal dengan strategi neuroprotektif, pencegahan sepsis neonatorum, pemberian nutrisi adekuat dan perawatan pasca natal lain nya untuk bayi baru lahir.Kata kunci: bayi kurang bulan, persalinan kurang bulan, terapi steroid antenatal, sepsis neonatorum Alamat Korespondensi:Sholeh Kosim, dr., Sp.A (K)
Background Low birth weight (LBW) is closely related to neonatal morbidity and mortality. Management of LBW infants in developing countries remains limited, due to the low availability of incubators. The Kangaroo Mother Care (KMC) method has been shown to be effective for newborns, especially LBW infants, in which skin-to-skin contact may be conducive for infants' weight gain, thermoregulation, and heart rate stability. Objective To determine the prognostic factors for KMC success in LBW babies. Methods This cohort study included LBW infants at Dr. Kariadi General Government Hospital, Semarang, by a consecutive sampling method. Success of KMC was assessed by infant weight gain, as well as stabilization of temperature, heart rate, and respiration. Prognostic factors for KMC success that we assessed were birth weight, gestational age, KMC duration, age at KMC onset and maternal education level. Statistical analyses used were Chi-square and relative risk (RR) tests. Results Of 40 LBW infants, 24 were successful in KMC. Birth weight ≥ 1500 grams (RR 0.4; 95%CI 0.23 to 0.73; P=0.001)], gestational age ≥ 34 weeks (RR 0.94; 95%CI 0.46 to 1.89; P=1.00), KMC duration ≥ 65 minutes (RR 1.44; 95%CI 0.76 to 2.75; P= 0.215), high maternal education level (RR 1.25; 95%CI 0.76 to 2.04; P=0.408), and age at KMC onset >10 days (RR 2.69; 95%CI 1.14 to 6.32; P=0.003), were factors that related to the successful of KMC. Conclusion Age at KMC onset > 10 days was a prognostic factor for KMC success in low birth weight babies. [Paediatr Indones. 2015;55:142-6.].
Latar belakang. Pada anak dengan defek septum ventrikel (DSV), terjadi peningkatan aliran darah ke paru. Semakin besar DSV, semakin meningkat aliran darah ke paru maka risiko infeksi saluran pernafasan akut dan gagal jantung meningkat dan menganggu fungsi paru. Fungsi paru yang baik penting untuk pemeliharaan suplai oksigen saat sebelum dan setelah dilakukan operasi. Spirometri merupakan alat yang penting dan praktis dalam menilai fungsi paru. Perbandingan FEV1/FVC digunakan untuk mendiagnosis dan membedakan antara penyakit paru obstruktif dan restriktif.Tujuan. Membuktikan adanya hubungan antara besarnya DSV, flow ratio, klasifikasi gagal jantung, frekuensi infeksi respiratori akut (IRA), dan status gizi dengan fungsi paru.Metode. Dilakukan penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional di RS dr. Kariadi dari bulan September 2011 sampai dengan Desember 2012. Subjek anak dengan DSV yang belum dilakukan operasi, umur 5-14 tahun yang mendapat terapi di instalasi rawat jalan RS dr. Kariadi. Dilakukan ekokardiografi untuk mengukur diameter DSV dan flow ratio (Qp/Qs) dan spirometri untuk menilai fungsi paru melalui pengukuran (FEV1/FVC). Analisis statistik dengan uji korelasi Spearman dan uji Fisher’s Exact.Hasil. Subjek terdiri atas 20 anak dengan DSV (65% perempuan). Rerata diameter DSV 12,32 mm (SB 9,18), rerata dari flow ratio 2,63 (SB 0,92), rerata frekuensi IRA 4,60 kali (SB 2,98). Rerata FEV1/FVC adalah 94,1% (SB 9,82). Ukuran DSV besar, flow ratio yang tinggi, dan seringnya IRA mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan fungsi paru restriktif, secara berturut-turut dengan RP=1,5 (p=0,038), RP=1,8 (p=0,009), RP=1,5 (p=0,038). Status gizi berhubungan sedang dengan fungsi paru (r=0,604, p=0,005).Kesimpulan. DSV besar, flow ratio, frekuensi IRA, dan status gizi berhubungan dengan fungsi paru.
Latar belakang. Masa setelah bayi lahir, sebelum plasenta dilahirkan, terjadi peralihan peran oksigenasi dariplasenta ke paru bayi. Selama masa tersebut, oksigenasi bayi melalui plasenta masih berlanjut, darah masihditransfusikan ke bayi (disebut transfusi plasenta). Jika peran oksigenasi plasenta dihentikan mendadakdengan penjepitan tali pusat dini, sementara paru belum berfungsi optimal, maka cerebral blood flowmenjadi tidak adekuat. Kapan penjepitan tali pusat seharusnya dilakukan, masih menjadi kontroversi danperdebatan lebih dari satu abad, namun mana yang lebih baik bagi bayi, belum mendapatkan jawabanyang memuaskan.Tujuan. Membuktikan pengaruh waktu penjepitan tali pusat setelah bayi lahir terhadap kadar hemoglobin(Hb) dan hematokrit (Ht) bayi baru lahir.Metode. Penelitian dengan posttest-only control group design, menganalisis pengaruh waktu penjepitan talipusat 45 detik (penjepitan lanjut) setelah bayi lahir terhadap kadar Hb dan Ht bayi baru lahir dibandingkandengan 15 detik (penjepitan dini). Subjek adalah 36 bayi baru lahir (19 subjek dilakukan penjepitan dini),lahir spontan di RSUP Dr. Kariadi Semarang dan rumah Bidan praktek swasta, antara Agustus 2007 -Februari 2008. Uji beda rerata kedua kelompok menggunakan independent t-test. Uji multivariat digunakanuji regresi logistik.Hasil. Kadar Hb subjek kelompok penjepitan dini (13,4-18,4)g% dan lanjut (14,5-20,1)g%. Kadar Ht bayipenjepitan 15 detik (37,6-54,7)% dan penjepitan 45 detik antara (41,6-60,6)%. Pada kelompok penjepitan15 dan 45 detik terdapat perbedaan bermakna rerata Hb subjek (16,30g±1,36) dan (17,34±1,67)g% dan Ht(47,08±4.54)g% dan (51,34±6,07)g% dengan angka signifikansi berturut-turut p=0,048 dan p=0,022.Kesimpulan. Rerata kadar Hb dan Ht kelompok penjepitan tali pusat 45 detik lebih tinggi (secara statistikbermakna) dibandingkan kelompok penjepitan 15 detik.
Background The effectiveness of antibiotics for preventing
Latar belakang. Fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin total namun lama pemberian fototerapi masih belum jelas. Fototerapi di RS dr Kariadi biasanya dilakukan selama 12-24 jam berturut-turut tanpa memandang kadar bilirubin total awal.Tujuan. Menganalisis perbedaan rata-rata penurunan kadar bilirubin total dalam 6 jam, 12 jam, 18 jam, dan 24 jam setelah pemberian fototerapi.Metode. Penelitian kuasi eksperimental pada 40 neonatus hiperbilirubinemia, dibagi 4 kelompok (kelompok I: bilirubin total 13-15 mg/dL, fototerapi 6 jam; kelompok II: 16-17 mg/dL, fototerapi 12 jam; kelompok III: 18-20 mg/dL, fototerapi 18 jam dan kelompok IV: >20 mg/dL, fototerapi 24 jam), menggunakan 4 buah lampu biru khusus fluoresen (Philips TL52/20W), dengan jarak 50 cm. Keadaan hemolitik dan ASI merupakan variabel perancu yang mempengaruhi efek fototerapi. Uji Wilcoxon signed ranks test digunakan untuk menganalisa perbedaan rerata penurunan kadar bilirubin total terhadap lamanya fototerapi.Hasil. Tidak terdapat perbedaan bermakna penurunan kadar bilirubin total pada kelompok II dan III (p>0,05), sebaliknya ada perbedaan bermakna penurunan kadar bilirubin total pada kelompok IV (p<0,05). Setelah enam jam penurunan kadar bilirubin total terbesar terjadi pada kelompok IV (4,83±2,42 mg/dL). Pada akhir fototerapi, penurunan kadar bilirubin total pada kelompok I, II, III, dan IV adalah 3,14±1,86 mg/dL, 4,89±1,82 mg/dL, 7,96±1,94 mg/dL, dan 13,41±3,27 mg/dL. Tidak ada perbedaan bermakna kadar bilirubin total setelah fototerapi antara kelompok berdasarkan gambaran hemolitik atau pemberian ASI.Kesimpulan. Rerata penurunan kadar bilirubin total secara berurutan terdapat pada kadar bilirubin total >20mg/dL yang diberikan fototerapi selama 24 jam.
Infeksi neonatal masih merupakan masalah di bidang pelayanan Perinatologi dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi dengan berbagai latar belakang penyebab. Air ketuban keruh bercampur mekonium (selanjutnya disebut AKK) dapat menyebabkan sindrom aspirasi mekonium (SAM) yang mengakibatkan asfiksia neonatorum yang selanjutnya dapat berkembang menjadi infeksi neonatal. Diagnosis berdasarkan atas penemuan pemeriksaan radiologis. Penyebab SAM belum jelas mungkin terjadi intra uterin atau segera sesudah lahir akibat hipoksia janin kronik dan asidosis serta kejadian kronik intra uterin. Faktor risiko SAM adalah skor Apgar <5 pada menit ke lima, mekonium kental, denyut jantung yang tidak teratur atau tidak jelas, dan berat lahir. Diagnosis infeksi neonatal sulit, didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang. Banyak panduan atau sistem skor untuk menegakkan diagnosis infeksi neonatal. Salah satu panduan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi neonatal adalah panduan WHO yang sudah diadaptasi di Indonesia. Diagnosis pasti ditegakkan dengan biakan darah, cairan serebrospinal, urin, dan infeksi lokal. Petanda diagnostik sangat berguna sebagai indikator sepsis neonatal karena dapat meningkatkan sensitivitas dan ketelitian diagnosis serta berguna untuk memberikan menghentikan secara dini terapi antibiotik. Namun tidak ada satupun uji diagnostik terbaru tunggal yang cukup sensitif dan spesifik. (
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.