The purpose of this study is to examine and analyze the tradition of pamali (taboo/tobo) as one of local wisdom of Bajo tribe in the conservation of marine resources. This research was conducted in Bungin Permai Village, South Konawe District, Southeast Sulawesi. Data collection techniques were conducted through in-depth interviews, involved observations, document studies and focused discussions. Data analysis is done through data reduction, data presentation and conclusion. The results show that pamali or abstinence is one of local wisdom of Bajo tribe in the conservation of marine resources born from their life experiences in interacting with the sea, with the same (Bajo tribe) and bagai (people outside Bajo tribe), and their relationship with Mbo (God) the ruler of the sea. Pamali arranges matters relating to the survival of ecosystems and marine biota, such as pamali of catching fish or collecting seafood around the coral reefs, in pasi and pamali of catching marine animals seen as the embodiment of Mbo. Pamali also deals with the safety of individuals and Bajo society generally, because the Bajo tribe believes in pamali as karma law, if it is violated will befall the person who violates it or its family and its offspring anytime and anywhere. The understanding of pamali gave birth to the concept of self-conscious behavior in the management of marine resources called empe diri (empat diri) that is Self-Awareness, Self-Endurance, Self-Conception and Self-Confidence.
Dalam upaya pelestarian bahasa dan budaya Bali, kehadiran kamus seni tari Bali yang inovatif sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Berdasarkan latar dasar pikiran di atas, permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah (1) Bagaimanakah pengembangan kamus seni tari Bali dalam upaya pelestarian bahasa dan budaya Bali? dan (2) Mengapa pengembangan kamus seni tari Bali dapat dijadikan sebagai salah satu upaya pelestarian bahasa dan budaya Bali? Berdasarkan analisis terhadap sejumlah data pustaka dan data di lapanan, dapat ditarik dua buah simpulan. Pertamapengembangan kamus seni tari Bali dapat dilakukan melalui penerapan model penelitian pengembangan yang diadaptasi dari pengembangan perangkat pembelajaran model 4-D, yang meliputi Define, Design, Develop, danDisseminate.Kegiatan pada tahap define terdiri atas (1) melakukan analisis kebutuhan dengan mengadakan survai terhadap aneka kamus bahasa Bali, khususnya kamus seni tari; (2) mengumpulkan data mentah berupa kata-kata atau istilah-istilah seni dari berbagai sumber (lisan dan tertulis) dan ditulis ke dalam daftar kata; (3) melakukan klasifikasi data secara alfabetis kemudian menggabungkannya menjadi satu satuan daftar kata. Kegiatan pada tahap design(perancangan) terdiri atas 1) menyusun draf kamus dengan langkah-langkah (1) menyusun lema (kata/istilah) yang tergolong istilah seni tari Bali sesuai urutan abjad berdasarkan data yang sudah dihasilkandan (2)melakukan rekaman gerak tari; (3) mendeskripsikan makna istilah tari Bali ke dalam bahasa Indonesia da bahasa Inggris;i; 2) Melakukan FGD untuk penyempurnaan draf kamus dengan mengundang (1) perwakilan dinas kebudayan provinsi dan kodya/kabupaten se-Bali, (2) pakar perkamusan dari unsur perguruan tinggi, (3) pakar media, (4) pakar budaya, (5) pakar seni tari dan (6) pakar bahasa (bahasa Bali, bahasa Indonesia; 4) melakukan vaildasi ahli dengan mengundang pakar perkamusan, pakar bahasa Bali, pakar bahasa Indonesia, dan pakar bahasa Inggris; dan 5) menyusun draf Kamus Seni Tari Bali Berbasis Teknologi Android(Bali—Indonesia—Inggris) hasil validasi ahli. Kegiatan pada tahap developdilakukan dengan langkah-langkah (mengembangkan kamus baik dari segi kuantitas maupun secara kualitas; (2) melakukan FGD untuk mendapatkan masukan terkait dengan pengembangan di atas; (3) melakukan uji efektivitas kamus Kegiatas pada tahap disseminate meliputi distribusi kamus baik yang cetak maupun yang android. Kedua penyusunan kamus seni tari Bali dapat dijadikan sebagai salah satu upaya peletarian bahasa dan budaya Bali karena (1)kamus ini memiliki beberapa kelebihan yaitu menggunakan media gambar; berbasis teknologi android; dan menggunakan tiga bahasa (Bali, Indonesia, dan Inggris). Dengan menggunakan media gambar, makna suatu istilah tari akan menjadi semakin jelas. Dengan dua keunggulan ini, seseorang akan lebih mudah belajar tari Bali. Kedua keunggulan ini juga mampu memotivasi pembelajar tari di Bali, khususnya, untuk membaca kamus seni tari dan belajar tari Bali; dan secara tidak langsung dapat menumbuhkembangkan rasa cinta terhadap bahasa Bali. Rasa cinta terhadap bahasa Bali sebagai salah satu cerminan sikap positif terhadap bahasa Bali merupakan modal utama untuk melestarikan bahasa Bali sekaligus budaya Bali. Hal ini bisa dipahami karena bahasa Bali merupakan salah satu unsur budaya Bali sekaligus pembentuk budaya Bali dan (2) Keberadaankamus seni tari semacam itu tidak hanya dalam rangka memperluas wawasan terhadap berbagai ungkapan simbolik seni budaya Bali, tetapi juga dalam rangka penguatan benteng budaya, pelestarian budaya, dan strategi budaya Bali. Hal ini terkait dengan keberadaan seni sebagai fenomena budaya yang dapat menginspirasi bagi pengembangan seni budaya dan pembentuk kepribadian masyarakat Bali.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrepsikan tentang bentuk pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan di Desa Pemuteran. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan analisis data dilakukan dengan triangulasi. Melalaui hal itu dapat dikemukakan bahwa bentuk pemberdayaan yang dikembangkan adalah bentuk pemberdayaan masyarakat lokal. Strategi pemberdayaannya dilakukan secara terpadu baik yang bersifat mikro, mezzo, maupun makro. Kebijakan pemberdayaan masyarakat Desa Pemuteran meliputi pengembangan SDM, pengembangan ekonomi, pengembangan kelembagaan, pengembangan prasara/sarana, dan pengembangan informasi. Pemberdayaan masyarakat Desa Pemuteran seperti itu dapat mendukung pengembangan pariwisata berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan tentang modal sosial dalampengintegrasian etnis Tionghoa pada masyarakat desa pakraman di Bali yang di dalamnyamencakup tentang kemultietnikan masyarakat desa pakraman, pola pemukiman etnisTionghoa, jaringan hubungan sosial etnis Tionghoa dengan anggota masyarakat desapakraman, bentuk-bentuk integrasi etnis Tionghoa dengan anggota masyarakat desapakraman, model kontrol sosial yang dikembangkan guna mempertahankan integrasi antaretnik pada desa pakraman. Kajian terhadap hal itu akan dilakukan dengan pendekatankualitatif. Berdasarkan atas hal itu terungkap bahwa masyarakat desa pakraman di Balimerupakan masyarakat multietnik. Pola pemukiman etnis Tionghoa pada umumnya di pusataktivitas ekonomi, jalur utama dancendrung berbaur dengan etnis lainnya. Jaringanhubungan sosial yang dikembangkan ada yang didasarkan atas kedekatan tempat tinggal,kekerabatan, kepentingan sosial, ekonomi, budaya dan politik.Bentuk integrasi sosialnyadalam bentuk perkawinan, hubungan pertetanggaan/ hubungan tempat tinggal,persekutuan/perkumpulan./organisasi sosial baik yang berbasis sosial maupun budaya.Model kontrol sosial yang dikembangkan berupa penanaman nilai melalui sosialisasi,pemanfaatan sistem sosial keluarga/kuren, desa pakraman, kelembagaan formal lainnya,dan dengan pemanfaatan budaya fisik seperti surat, telpon, radio, pengeras suara. Disamping itu juga menggunakan bahasa. Dengan kata lain kontrol sosial dalampemeliharaan modal sosial dan integrasi antar etnik dilakukan secara sekala dan niskala.
This study aims to examine and analyze the negative stigma of Bajo tribe and its impact on the existence of the local culture of Bajo tribe. Data collection techniques are conducted through in-depth interviews, document studies and focused discussions. Data analysis is done through data reduction, data presentation and conclusion. The results show that the Bajo tribe is still regarded as an underdeveloped tribe, always viewed as a wild, unruly, rough, stubborn and introvert. Bajo tribe is also viewed as part of society that is still paternalisitic and pragmatic, alienated, isolated, and left behind, has a low civilization that must be initiated with various empowerment programs. Bajo tribe is often also imaged as a prototype of willful society, because they reject development, even in the past Bajo tribe in Bungin was once accused of being the next generation of Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI / TII). The bias of negative imagery results the change in mentality and cultural values of the local Bajo tribe into marginal positions. The mentality of Bajo society is now transformed into a consumptive society and false capitalism. Currently, there are many local wisdom of Bajo tribe who experienced weakening, even the oral tradition began to experience extinction. While the older generation who understand the culture of Bajo also diminish due to the age factor, and many younger generations of Bajo who no longer know and understand the local culture of Bajo, due to the weakness of inheritance system and cultural transformation of the older generation to the younger generation.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.