Rote Island is one of the islands in southern of Indonesia. This region experiences very high geological and geodynamic processes. This is evidenced by the abundance of seabed rising, and there is a dead sea lake area that has a higher salinity than the sea. Biodiversity on Rote Island has endemic and unique flora and fauna. This study aims to create an integrated system of inland waters resources on Rote Island with a multidisciplinary approach. Inland water resources on Rote Island number more than 80 lakes and ponds. An inland water resource on Rote Island is a saltwater environment. The extraction of geobiophysical information on inland water resources is needed by studying various aspects of multidisciplinary. The aspects studied are limnology, water quality, conservation of forest resources, geology, geodynamics, water resources, geodesy and geomatics engineering. All geobiophysical information needs to be integrated into an integration system. This is useful for efficiency and effectiveness in the utilization of data and information. This integration system (geovisualization) is in the form of WebGIS and storytelling maps. This integration system is dynamic so it can update its latest spatial information. This integration system can be used to promote Rote island tourism. This integration system can be accessed via the website geopark4rote.com. This integration system can be applied in other regions so reached one map policy and a system for inland water resources will be realized in Indonesia.
Terbatasnya ketersediaan air dan meningkatnya kebutuhan air dapat menyebabkan konflik alokasi air. Dengan demikian, upaya-upaya
Koefisien tanaman dihitung berdasarkan pengamatan konsumsi air dari berbagai lahan sawah untuk mengetahui nilai dan variasi temporal sepanjang waktu pertumbuhan. Penelitian ini mengkaji tiga metode di lahan padi sawah, yaitu System of Rice Intensification, Pengelolaan Tanaman Terpadu dan metode yang biasa digunakan oleh petani (konvensional). Setiap metode memiliki perbedaan mendasar dalam pola perawatan tanaman dan pola pemberian air yang lebih lanjut menyebabkan perbedaan dalam hal pertumbuhan tanaman, produktivitas dan konsumsi air. Dalam penelitian ini, kombinasi pola perawatan tanaman dan pemberian air dari ketiga metode ini diujicobakan. Pengukuran dilakukan harian pada parameter tinggi genangan, tinggi muka air tanah lahan, irigasi, drainase serta parameter klimatologi. Analisa neraca air kemudian dilakukan untuk menghitung kedalaman ekuivalen simpanan air tanah, yang kemudian dibandingkan dengan data simpanan air tanah hasil pengukuran berdasarkan data tinggi muka air dan kurva retensi air tanah. Proses optimasi kemudian dilakukan untuk menemukan koefisien tanaman harian dengan meminimalisasi perbedaan kumulatif antara kedalaman tanah hasil analisa dan pengukuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap perlakuan menghasilkan koefisien tanaman yang hampir sama. Nilai rata-rata pada periode 15 harian secara berurutan adalah 0,87, 1,03, 1,13, 1,24, 1,28 and 1,25. Nilai ini sangat penting dalam memahami mekanisme penghematan air sebagai masukan bagi penyusunan standar perencanaan debit irigasi.
Soil and Water Assessment Tool (SWAT) merupakan model hidrologi yang sangat berpotensi digunakan untuk memodelkan daerah aliran sungai yang didominasi lahan pertanian. Namun demikian, struktur model ini dapat menyebabkan ketidakpastian khususnya apabila diaplikasikan untuk lahan sawah beririgasi. Hal ini dikarenakan SWAT pada awalnya dikembangkan untuk memodelkan lahan pertanian yang tidak memiliki genangan sehingga asumsi ataupun struktur modelnya berbeda dibandingkan dengan konsep pemodelan yang biasa digunakan di lahan sawah. Namun demikian, tingkat pengaruh ketidakpastian ini terhadap performa model secara keseluruhan belum teridentifikasi secara detail. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa performa, kesesuaian aplikasi dan ketidakpastian SWAT (model awal dan modifikasinya) untuk memodelkan daerah aliran sungai berlahan sawah irigasi. Analisa dilakukan dengan mengevaluasi struktur model dan menganalisa ketidakpastian menggunakan metode Sequential Uncertainty Fitting (SUFI-2) pada beberapa tipe model, yaitu model orisinil dan termodifikasi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa struktur model pada SWAT tidak mengakomodir proses genangan, rembesan, dan irigasi di lahan sawah. Pengaruh dari ketidaktepatan struktur model ini dapat dikurangi dengan melakukan kalibrasi sehingga menghasilkan indeks performa yang baik. Namun demikian, perbedaan performa secara signifikan dapat diamati setelah dianalisa lebih lanjut dengan memperhatikan ketidakpastian. Reliabilitas model termodifikasi lebih baik karena menghasilkan rentang ketidakpastian yang lebih sempit khususnya pada periode debit rendah. Hasil ini juga menunjukkan bahwa genangan, rembesan, dan irigasi merupakan proses yang sangat penting untuk pemodelan hidrologi di daerah aliran sungai berlahan sawah irigasi.
Sistem Manajemen Operasi Irigasi (SMOI) adalah sistem informasi pelaporan operasi irigasi yang didesain untuk melakukan pengiriman data dan blangko operasi irigasi secara otomatis dengan memanfaatkan jaringan internet. SMOI dapat mempersingkat waktu pelaporan dan mempermudah evaluasi data historis dalam menunjang pengambilan keputusan di suatu Daerah Irigasi (DI). Namun demikian, teknologi ini belum teruji pada aplikasi skala lapangan terutama di DI lintas kabupaten. Penelitian bertujuan untuk menganalisis ketepatan perhitungan SMOI dan ketepatan pemberian air sebagai dampak dari aplikasi SMOI.Penelitian dilakukan pada pengaplikasian SMOI di DI Bondoyudo, Jawa Timur. Analisis ketepatan perhitungan dilakukan dengan memverifikasi dan memvalidasi hasil perhitungan SMOI dibandingkan hasil perhitungan blangko manual.Analisis ketepatan pemberian air dilakukan melalui simulasi neraca air berdasarkan data pada Musim Tanam (MT) I dan II tahun 2016/2017. Berdasarkan hasil penelitian, alur kerja perhitungan, pengambilan data, dan alur distribusi data antar blangko operasi irigasi pada SMOI sesuai dengan ketentuan dalam Permen PUPR 12/PRT/M/2015. Hasil simulasi menunjukkan bahwa SMOI dapat meningkatkan akurasi pemberian air terhadap prediksi kebutuhan air irigasi sebesar 40,7% pada MT I dan 21,8% pada MT II. Namun demikian apabila dibandingkan dengan kebutuhan air irigasi aktual, SMOI belum terlihat meningkatkan akurasi pemberian air. Hal ini disebabkan perhitungan kebutuhan air pada blangko manual dan SMOI belum mengakomodir variabilitas kondisi klimatologi aktual.
More efficient irrigation management is needed in the face of limited water availability and the increasing water requirements for other than agricultural sectors. This can be done by improving the accuracy of irrigation water through the optimizing of irrigation operation intervals. One effort which can be done is minimizing the time needed to report irrigation operation activities. using web-based application Irrigation Operations Management System (SMOPI). Research is conducted to identify the minimum time required for the reporting of irrigation operations, either manually or using SMOPI. The research was conducted as a case study in the Bondoyudo irrigation area by means of the collection of data through discussions and questionnaires as well as analysis of the time needed to report irrigation operation activities using the Critical Path Method. The result showed that the manual irrigation operations take 43 hours at the crop planning stage, 41 hours at the water delivery management, and 45 hours at the result recapitulation stage. The requirement of about 5 days at the implementation stage indicates that the operating interval of existing irrigation every 10 days is quite feasible. SMOPI is able to accelerate so that the operation time at the crop planning, water delivery management, and result recapitulation stage are 24.5 hours, 14 hours, and 31.5 hours. This indicates that SMOPI can be used to help shorten the interval of irrigation operations to support irrigation modernization. ABSTRAKPengelolaan irigasi yang lebih efisien saat ini sangat diperlukan dalam menghadapi ketersediaan air yang semakin terbatas dan kebutuhan air untuk selain sektor pertanian yang semakin meningkat. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan ketepatan pemberian air irigasi melalui optimalisasi interval operasi irigasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meminimalisasi waktu pelaporan operasi irigasi menggunakan perangkat lunak berbasis web Sistem Manajemen Operasi Irigasi (SMOPI). Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi waktu minimal yang diperlukan untuk pelaporan operasi irigasi, baik secara manual ataupun menggunakan SMOPI. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk studi kasus di Daerah Irigasi Bondoyudo melalui pengumpulan data dengan cara diskusi dan penyebaran kuesioner serta analisis waktu operasi menggunakan Critical Path Method. Berdasarkan hasil analisis, pelaporan operasi irigasi secara manual membutuhkan waktu 43 jam pada tahap perencanaan tanam, 41 jam pada tahap pengaturan pemberian air, dan 45 jam pada tahap rekapitulasi hasil. Kebutuhan sekitar 5 hari pada tahap pengaturan pemberian air mengindikasikan bahwa interval operasi irigasi eksisting setiap 10 hari cukup aman. Perangkat lunak SMOPI mampu mengakselerasi waktu operasi pada tahap perencanaan tanam, pengaturan pemberian air, dan rekapitulasi hasil masing-masing menjadi 24,5 jam, 14 jam, dan 31,5 jam. Akselerasi ini mengindikasikan bahwa SMOPI dapat digunakan untuk membantu mempersingkat interval operasi irigasi dalam upaya moderinasi...
Data cuaca sangat diperlukan dalam penentuan kebutuhan air tanaman, namun sering kali ketersediaan stasiun cuaca di lapangan masih terbatas. Untuk itu, perlu dilakukan analisis berbagai model evapotranspirasi potensial (ETp) dengan beragam paramater input, termasuk juga model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) sebagai pertimbangan dalam penentuan kebutuhan air tanaman. Tujuan makalah ini adalah 1) mengembangkan model JST untuk menduga ETp, 2) membandingkan berbagai model ETp termasuk model JST dengan model standar FAO, 3) untuk menganalisis kebutuhan air tanaman dengan model tersebut, dan 4) menentukan parameter input yang direkomendasikan untuk pendugaan ETp. Analisis didasarkan pada data pengukuran parameter cuaca pada dua musim tanam padi, yaitu pada bulan April - Agustus 2017 dan Januari – Mei 2018. Terdapat 8 Model ETp (model empiris) dan 3 model JST dengan kombinasi parameter input. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Model JST-2 dengan dengan parameter input radiasi matahari merupakan model JST terbaik dengan nilai R2 0,91-0,92 dan RMSE 0,284 mm dan 0,287 mm untuk percobaan tahun 2017 dan 2018. Model ETp Turc, salah satu model ETp empiris dengan parameter input suhu udara dan radiasi matahari, merupakan model terbaik dengan nilai R2 tertinggi dan RMSE terendah. Sehingga kedua model tersebut merupakan model terbaik dengan nilai ETp total yang mendekati ETp standard FAO. Selain itu, parameter suhu udara dan radiasi matahari merupakan parameter yang direkomendasikan untuk diukur dalam penentuan kebutuhan air tanaman menggunakan model ETp Turc. Tetapi apabila hanya satu parameter yang dapat diukur, maka direkomendasikan untuk mengukur radiasi matahari dengan model JST-2 untuk penentuan evapotranspirasi potensial.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.