Semarang merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang rawan terdampak bencana hidrometeorologi. Sejumlah wilayah di Semarang merupakan daerah rawan kekeringan, sementara di wilayah lainnya merupakan daerah langganan banjir tiap tahunnya. Salah satu parameter yang memiliki keterkaitan erat dengan fenomena hidrometeorologi adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO). Sebagai sirkulasi tropis non musiman, ENSO memiliki peran penting terhadap variasi curah hujan yang diamati. Penelitian terkait ENSO telah banyak dilakukan sebelumnya, namun belum ada penelitian tekait yang dilakukan di Semarang yang notabene merupakan daerah rawan bencana hidrometeorologi, sehingga fluktuasi ENSO menarik untuk dikaji di wilayah ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis korelasi fenomena global laut atmosfer terhadap distribusi curah hujan di wilayah Semarang. Dalam jangka waktu 15 tahun (2001-2015), pengaruh dari ENSO dianalisis menggunakan korelasi temporal untuk menentukan dampak dari ENSO pada curah hujan yang diamati di enam pos pengamatan hujan di Semarang. Analisis tersebut menunjukkan bahwa korelasi antara anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) di wilayah Nino 3.4 dengan curah hujan diamati secara signifikan pada lima pos pengamatan hujan selama periode September Oktober November (SON) dengan rentang nilai korelasi antara -0.598 sampai dengan -0.679. Sementara itu, korelasi variabilitas curah hujan dengan Southern Oscillation Index (SOI) menunjukan nilai yang berkisar antara 0.561 sampai dengan 0.780. Curah hujan yang diamati umumnya selalu berkurang pada tahun-tahun dimana nilai indeks Nino 3.4 positif dan nilai SOI negatif, sedangkan curah hujan diamati meningkat pada tahun-tahun dimana nilai indeks Nino 3.4 negatif dan nilai SOI yang positif.
Squall line is a rare MCS phenomenon happened in Indonesia. In these recent years, radar showed the existence of squall line pattern on 31 December 2017, 25 and 27 January 2018 in disparate spot in Indonesia. This study aims to find the common characteristic of squall lines that occurs in tropical region of Indonesia. The result shows a persistent elongated convective pattern with the trailing stratiform region extends over 100 km in more than 6 hours in all squall line events observed in this study. The average cloud top temperature below -450C indicates an abundant amount of ice crystals. Radar data analysis shows that reflectivity value and surface rainfall intensity in the core part of the squall system always higher than the outer part, with maximum reflectivity value observed on the lower level of the convective cells. Analysis of the vertical structure of squall system shows that height of convective cells on the first squall system reached 17 km, while on the second squall system reached 12 km. The origin place where the squall line formed determines the structure and character of the squall system. These findings show that updraft mechanism on the continental area is generally stronger than around marine areas.
<p class="AbstractEnglish"><strong>Abstract:</strong> As a natural resource that is vital in supporting human life, the evaluation of the availability of water resources is an urgency in determining and projecting the condition of water surplus or deficit in a Wilayah. There are various methods in evaluating the availability of water resources in an area, one method that has a high level of significance is the Thornthwaite Mather water balance method. Water balance analysis was carried out in 3 Wilayahs in Java Island which have monsoonal rain types, including Bandung, Begawan Solo watershed, and Pasuruan. The results of the evaluation of the availability of water resources in Bandung show a surplus condition of water in the rainy season period and deficit in the dry season period. Meanwhile, the water balance analysis in Solo shows deficit conditions in all areas covered by the Bengawan Solo watershed. Water balance analysis in Pasuruan Regency shows the same pattern as the Bandung area, where there is a surplus condition in the rainy season and deficits in the dry season period. While the results of the projection of the availability of water resources show varying results in the three Wilayahs, where there is generally an increase in the number of Wilayahs experiencing water deficits. Based on these conditions, water conservation efforts need to be formulated, both by the community and the local government.</p><p class="KeywordsEngish"><strong>Abstrak:</strong> Sebagai sumber daya alam yang sangat vital dalam menunjang kehidupan manusia, evaluasi ketersediaan sumber daya air merupakan sebuah urgensi dalam menentukan serta memproyeksikan kondisi surplus atau defisit air di suatu wilayah. Terdapat berbagai metode dalam mengevaluasi ketersediaan sumber daya air di suatu wilayah, salah satu metode yang memiliki tingkat signifikansi tinggi adalah metode neraca air Thornthwaite Mather. Analisis neraca air dilakukan pada 3 wilayah di Pulau Jawa yang memiliki tipe hujan monsunal, meliputi Bandung, DAS Begawan Solo, dan Pasuruan. Hasil evaluasi ketersediaan sumber daya air di Bandung menunjukkan kondisi surplus air pada periode musim penghujan dan defisit pada periode musim kemarau. Sementara itu, analisis neraca air di Solo menunjukkan kondisi defisit pada seluruh area yang tercakup dalam DAS Bengawan Solo. Analisis neraca air di Kabupaten Pasuruan menunjukkan pola yang sama dengan wilayah Bandung, dimana terjadi kondisi surplus pada periode musim penghujan dan defisit pada periode musim kemarau. Sedangkan hasil proyeksi ketersediaan sumber daya air menunjukkan hasil yang bervariasi pada ketiga wilayah, dimana secara umum terjadi peningkatan jumlah wilayah yang mengalami defisit air. Berpijak pada kondisi tersebut, upaya-upaya konservasi air perlu segera dirumuskan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah daerah setempat.</p>
<span lang="EN-US">In Indonesia, rainfall is one crucial triggering factor for landslides. This paper aims to build landslide event prediction models using several machine learning and artificial intelligence algorithms. The algorithms were trained with two different methods. The input of the algorithms was precipitation data obtained from the global satellite mapping of precipitation satellite observation, and the target was landslide event occurrence data obtained from the Indonesian National Board for Disaster Management. Each algorithm provided some model candidates with different parameter settings for each method. As a result, there were 52 and 72 model candidates for both methods. The best model was then chosen from each method. The result shows that the model generated by generalized linear model was the best model for the first method and deep learning for the second one. Furthermore, the best models at each method gained 0.828 and 0.836 for the area under receiver operating characteristics curve, and their log-loss were 0.156 and 0.154. The second method, which used input data transformation, provided better performance.</span>
Data intensitas radiasi matahari (Rs, MJ/m2/day) memiliki peran yang sangat penting dalam pemodelan cuaca dan iklim guna mengkuantifikasi panas yang dipertukarkan antara permukaan dan atmosfer. Namun, keterbatasan jumlah titik pengamatan intensitas radiasi matahari menjadikan pemodelan sebagai alternatif solusi yang relatif mudah dan murah untuk pengambilan data intensitas radiasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa model dalam mengestimasi nilai intensitas radiasi matahari di wilayah penelitian menggunakan dua pendekatan model yang berbeda, yaitu model empiris oleh Keiser, Arkansas (AR) dan model deterministik. Tiga variabel utama cuaca yang digunakan sebagai input data model adalah curah hujan (mm), suhu maksimum (°C), dan suhu minimum (°C). Kedua model tersebut dipilih karena dapat diterapkan dengan hanya melibatkan variabel utama atmosfer yang tersedia dalam waktu yang panjang di lokasi penelitian. Hasil prediksi yang dilakukan dengan model kemudian dibandingkan dengan data reanalisis National Centers for Environmental Prediction (NCEP) pada titik koordinat wilayah Stasiun Klimatologi Pondok Betung. Hasilnya menunjukkan performa model empirik lebih baik dalam menggambarkan variasi temporal dan prediksi variabel intensitas matahari dibandingkan model deterministik. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai korelasi yang cukup baik, yakni mencapai 0,72 (korelasi kuat) dan nilai Root Mean Square Error (RMSE) 2,0. Atas dasar hasil pemodelan yang cukup representatif di lokasi penelitian, analisis secara spasial kemudian diterapkan untuk skala wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Banten. Berdasarkan tinjauan secara spasial di wilayah kajian, model empirik memiliki performa yang bervariasi di wilayah Provinsi Banten. Hasil prediksi intensitas radiasi matahari di wilayah bagian barat memiliki performa yang lebih baik dibandingkan wilayah bagian timur.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.