Uang Nai': Antara Cinta dan Gengsi

Abstract

Abstrak: Uang Nai': Antara Cinta dan Gengsi. Studi ini bertujuan memahami doi menre atau uang Nai' dalam Budaya Panai' Bugis Makassar saat menentukan besaran uang belanja perkawinan Data dianalisis dengan menggunakan pola budaya perkawinan adat masyarakat Bugis yang dikemukakakan oleh Lamallongeng Hasil penelitian menemukan bahwa fenomena tingginya uang Nai', mahar dan sompa dipandang kaum muda Bugis dan orang luar sebagai bentuk harga Lamaran dianggap transaksi antara kedua keluarga calon pengantin Pandangan ini keliru, sebab budaya panai' merupakan bentuk penghargaan budaya Bugis terhadap wanita, siri', prestise dan status sosial Uang nai' merupakan bentuk penghargaan keluarga pihak pria terhadap keluarga wanita karena telah mendidik anak gadisnya dengan baik Diskursus mengenai akuntansi dan budaya bukan hal yang baru (lihat misalnya Randa dan Daromes 2014) dan menjadi penting karena akuntansi harus dipahami sebagai bentukan dari budaya di mana akuntansi tumbuh Artikel ini menelaah bagaimana akuntansi penetapan uang nai' atau harga suatu pernikahan dilandasi oleh nilainilai budaya lokal Budaya Panai' merupakan proses penentuan jumlah uang belanja pesta perkawinan yang berasal dari daerah Provinsi Sulawesi Selatan Budaya ini juga masih kuat dipertahankan oleh sebagian besar orang Bugis-Makassar perantauan Walaupun sudah meninggalkan daerah nenek moyang bertahun-tahun, bahkan telah lahir di daerah perantauan, budaya panai' tetap juga digunakan dalam proses lamaran sebelum pernikahan Budaya ini menimbulkan kegelisahan bagi pihak laki-laki baik dari masyarakat Bugis maupun dari luar masyarakat Bugis berkaitan de ngan mahalnya uang nai' yang akan diberikan oleh pihak keluarga laki-laki Bagi orang tua sederhana yang mempunyai anak laki-laki akan merasa gelisah oleh masalah penda naan yang harus disediakan untuk doi menre Sementara pihak wanita yang menunggu datangnya lamaran dari seorang laki-laki juga akan gelisah karena kekhawatiran tidak adanya laki-laki yang menyanggupi doi menre yang ditetapkan oleh keluarganya Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis, persyaratan lebih banyak dibebankan kepada pihak laki-laki Hampir seluruh pembiayaan dalam pelaksanaan perkawinan ditanggung oleh pihak laki-laki (Lamallongeng 2007: 6) Pembiayaan terse-

Strategy of Communication and Da’wah in Reducing Uang Panai’ of Marriage in Bulukumba

“…In this process, both parties discuss and make agreement about the amount of uang panai' the prospective bridegroom family must submit to the prospective bride family. However, if no agreement is made the marriage is potentially canceled or even it cannot be held (Rahayu & Yudi, 2015) and (Syarifuddin & Damayanti, 2015).…”

“…Furthermore, in case of a thing happening afterwards to the marriage couple, the uang panai cannot be reclaimed by and this may bring about domestic conflict or even domestic violence (Syarifuddin & Damayanti, 2015). As time goes by, uang panai has become a scourge especially for young people (Rahayu & Yudi, 2015).…”

“…From the aspect of social status Rahayu and Yudi (2015) social status can trigger the amount of uang panai'. People are no longer seeing the others but the social status.…”

“…Social status Rahayu and Yudi (2015) is understood as the position of a person in a group. A woman's social status is her degree or level of position in society, such as public servants, politicians, public officials, and education different from the status of laborers, peddlers and others.…”

“…Lamallongeng as cited by Rahayu and Yudi (2015) said that the magnitude of sompa (expense money) was based on the social levels in the past society, namely high nobility (88 real + one servant (ata) worth 40 real + one buffalo worth 25 real), intermediate nobility worth 44 real, Arung Palili 40 real, Todeceng (good people) 28 real, To Maradeka (ordinary people) 20 real, and Servant (ata) 10 real (Rahayu & Yudi, 2015).…”