Torture and terror post-9/11: The role of social work in responding to torture

Abstract

Whilst terrorism is not a new global phenomenon, the fallout from the 9/11 terrorist attacks in the US remain extensive and far reaching, including the sanctioning of harsher security measures and the denigration of human rights and civil liberties. Of particular concern is the move towards torture being an accepted practice for those deemed 'terror suspects' or captured 'enemy' combatants in countries where the so called 'war on terror' is still being played out. This article argues that the social work response, particularly in relation to challenging pro-torture rhetoric, has been limited at best, and to effectively address the problem there must be an international response if social work is to adhere to its obligations under the IFSW Code of Ethics, and fulfil its role as a human rights profession.

Virtudes y deberes en la ethica misericordis de Concepción Arenal y su aproximación al Trabajo Social del siglo XXI

“…Este fenómeno de la disgregación o desconexión moral fue identificado por Bandura (1999) y ha sido investigado principalmente desde la Psicología (Rengifo y Laham, 2022), la Medicina (Azimpour et al, 2021) o la Enfermería (Austen y Hutchinson, 2021), pero apenas lo ha sido desde el Trabajo Social. En este último caso, se ha estudiado la disgregación moral únicamente para comprender el comportamiento de las personas usuarias (Brooks, 2015;Beckman y Hagquist, 2016;Byers, 2016;Kim, 2021), pero no para explicar las negligencias y la mala praxis profesional. Este proceso de reestructuración cognitiva permite a los sujetos disociarse de sus estándares morales internos y comportarse de manera poco ética sin sentir angustia ni culpa.…”

Pekerjaan Sosial Dan Penanganan Terorisme

“…Dampak sosialpsikologis inilah yang digarisbawahi oleh Jacobs dan Kulkarni (1999) yang dikutip oleh Novick (2003) (Okoli & Iortyer, 2014). Upaya-upaya menangkal dan mengeliminir terorisme, radikalisme dan ektrimisme yang bias dan represif ternyata menimbulkan berbagai permasalahan baru yang dapat mengancam perlindungan hak asasi manusia, penghargaan terhadap keberagaman budaya, dan kohesi sosial masyarakat (Brooks, 2015). Fokus pada penguatan aspek keamanan (security) suatu negara juga berdampak pada terpinggirkannya misi dimensi kebijakan kesejahteraan sosial sebagai representasi pemenuhan hak atas kesejahteraan menjadi beralih sebagai alat kontrol sosial untuk menjamin tercapainya keamanan masyarakat (Ragazzi, 2017).…”

“…Pekerja sosial terlibat dalam mengadvokasi terjadinya perubahan kebijakan anti-terorisme yang berlebihan, bias dan tidak memperhatikan standar perlindungan hak asasi manusia. Brooks (2015) menegaskan urgensi peran International Federation of Social Worker untuk memastikan pekerja sosial untuk mematuhi kode etik pekerja sosial dan mempertahankan posisinya sebagai profesi yang melindungi hak asasi manusia Perhatian yang sama juga disuarakan oleh para pekerja sosial di Inggris menyusul diberlakukannya undang-undang dan program kontra terorisme karena pelaksanaannya dinilai bias, diskriminatif dan tidak tidak sejalan dengan tujuan dan prinsip-prinsip etika pekerjaan sosial. Program Prevent yang sedianya diarahkan untuk mencegah berkembangnya berbagai bentuk radikalisme di masyarakat melalui program-program layanan kesejahteraan sosial dinilai telah menyimpang dari tujuan semula karena program terlalu terpusat pada kelompok masyarakat tertentu, khususnya imigran Muslim.…”

“…Lembaga pendidikan juga harus memperluas cara pandang mereka mengenai isu-isu internasional seperti War on Terror, kesenjangan global, atau Islamphobia di tingkat global yang berimplikasi terhadap aktivitas terorisme di Indonesia. Menurut Brooks (2015) lembaga pendidikan pekerjaan sosial perlu mengambil peran-peran baru untuk membangun kesadaran kritis sivitas akademika dan masyarakat untuk mendorong perubahan sosial dan politik yang lebih adil dan inklusif melalui consciousness raising dan advokasi.…”