“…Hal ini karena dipengaruhi oleh sistem politik di Indonesia yang memang didesain untuk menciptakan kesepakatan melalui penerimaan hasil dari konsensus (Robertson-Snape, 1999). Dampaknya adalah banyak menimbulkan konflik di kemudian hari (Contreras-Hermosilla & Fay, 2006;Kartodihardjo & Supriono, 2000;Resosudarmo et al, 2012); 2) Memiliki keterbatasan akibat informasi tutupan vegetasi hutan dan karakteristik fisik dari lahan yang kurang akurat serta tingkat subjektivitas yang tinggi (Sève, 1999), batas TGHK yang tidak konsisten, tidak akurat (Clunie & Applegate, 1994) dan masih bersifat sangat kasar (Lynch, 1999); 3) Secara teknik masih menggunakan skala peta yang sangat kecil (biasanya 1: 500.000), bukan data terbaru, sehingga akan mempersulit ketika akan ditransfer menjadi skala yang lebih besar (Sève, 1999 masing (Santoso, 2003), di bawah otoritas Bappenas yang berkoordinasi dengan Bappeda (Brockhaus et al, 2012) serta harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan lintas sektor di dalamnya (Sève, 1999). Pada periode 1992-1994, Provinsi Riau berhasil menerbitkan Perda Nomor 10 Tahun 1994 meskipun proses paduserasi belum selesai.…”