Sejarah Syair Gulung Di Ketapang

Abstract

<p class="Default" align="center"><strong>Abstrak</strong></p><p class="Default">Penelitian ini berjudul “Sejarah Syair Gulung di Ketapang”. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah sejarah syair gulung di Ketapang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat dan peneliti sejarah lokal yang ada di Kalimantan Barat. Penelitian ini adalah penelitian sejarah maka peneliti menggunakan metode sejarah yang ditulis dengan deskriptif analitis dengan langkah atau tahapan, yaitu : 1). Heuristik, 2). Kritik Sumber, 3). Interpretasi, 4). Historiografi. Dalam memperoleh data-data penelitian ini, peneliti menggunakan metode sumber primer, sekunder dan tradisi lisan atau folklor di dalam heuristik dengan menggunakan metode sejarah lisan.Hasil penelitian syair gulung pada awalnya hanyalah sebuah bentuk karangan atau disebut kengkarangan yang berada di Tanah Kayong, Tanah Tanjungpura yang sekarang bernama Kabupaten Ketapang. Ada juga yang menyebutnya Syair Layang karena isinya hanya selayang pandang. Lambat laun berubah menjadi syair gulung dikarenakan ditulis di atas kertas kemudian digulung dan disimpan di dalam parug burung. Isinya berupa bait-bait kata yang mengandung nasehat dan petunjuk hidup kepada masyarakat Melayu. Terdapat tiga fase syair gulung, yakni fase Kerajaan Tanjungpura yang diwakili oleh Syair Pangeran Syarif, fase kedua fase syair gulung jenaka, fase ketiga fase syair gulung berisi kritik sosial.</p><p class="Default"> </p><p class="Default"><strong>Kata kunci: </strong>sejarah, Syair Gulung, Ketapang</p><p class="Default"> </p><p class="Default" align="center"><strong><em>Abstract</em></strong></p><p class="Default"><em>The tittle of of this research is “The history of Syair Gulung”. The main problem of this research is how the history of Syair Gulung in Ketapang. The results of this research hopely could giving a contribution for the mass society and the researchers of local history studies in West Kalimantan. The research is a historical research. The methods of the research is descriptive-analitic includes four stages : 1) heuristic 2) verification 3) interpretation 4) historiography. The methodologies of research have been with a primary source, a secondary source, and oral tradition or folklore in heuristic with the oral history methods.The results of this research is in the beginning with namely of Syair Gulung is Kengkarangan, in Kayong Land, Tanjungpura Kingdom in nowdays becoming popular with Ketapang Regency. The several society knowing Syair Gulung with Syair Layang. At this time people knowing with Syair Gulung due to writed in paper and then rolled up and saved in the bird beak. The contents of Syair Gulung is a stanzas with the advice and life wisdom for Malay societies. The Syair Gulung includes three phases, such as The Tanjungpura Kingdom phase with with Syair Pangeran Syarif, The witty phase, and the social critics phase. </em></p><p class="Default"><em> </em></p><strong><em>Keywords:</em></strong><em> history, Syair Gulung, Ketapang</em>

Syair Gulung: Perkembangan Dan Fungsinya Sebagai Pendidikan Moral

“…Sastra Lisan juga tersampaikan dari mulut ke mulut yang berkembang secara dinamis dari pewarisnya demi mewariskan budaya leluhurnya (Oktaviani et al, 2016). Yulita et al (2019) mengatakan bahwa masyarakat melayu di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat memiliki sastra lisan yang merupakan warisan budaya khas ketimuran, sastra lisan itu dikenal sebagai Syair Gulung. Isi dari Syair Gulung mengandung tentang nilai-nilai keluhuran, kearifan lokal, dan kebijakan sebagai teladan hidup.…”

“…Syair dalam khazanah kesustraan melayu selalu mengandung unsur-unsur emosi, imaginasi serta budi sebagaimana pengalaman hidup yang menuliskannnya terkiat bagaimana hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhannya serta manusia dengan lingkungannya (Saludin, 2013). Yulita et al (2019) mangatakan dalam budaya melayu, syair menjadi sarana penyampai pesan dalam kehidupan mereka, seperti pada saat ada acara tertentu, syair selalu dibacakan baik dengan cara hiburan namun tetap dalam isinya tersurat pesan moral. Dalam cara membaca syair pada saat acara hiburan penyair boleh membacanya dengan irama, namun jika ada suatu maksud serta tujuan khusus yang mau disampaikan maka si penyair membaca boleh dengan irama atau dengan cara deklamasi.…”

“…Syair gulung termasuk dalam salah satu jenis tersebut, dimana syair gulung ditulis dengan tulisan tentang pernihkahan, politik, sosial, khataman qur'an sesuai dengan acara yang diselenggarakan dikertas kemudian digulung baru dibacakan dengan irama tertentu (Fitria et al, 2014). Yulita et al (2019) menjelaskan syair gulung pada mulanya berupa karangan atau biasanya disebut kekarangan di Tanah Kayong, Tanjungpura yang sekarang kita kenal sebagai kabupaten Ketapang. Ada pula yang yang menyebutnya dengan istilah syair layang, merujuk pada isi syairnya yang berisi Selayang pandang.…”

“…Syair gulung masuk ke tanah kayong atau sekarang bernama Ketapang seiring dengan perkembangan agama Islam disana. Syair Gulung merupakan salah satu sebuah karya sastar berbentuk lisan namun setelah masuknya Islam maka kerajaan Tanjungpura sudah mulai terbuka dengan dunia luar dan mulai mengenal keberaksaraan, selain itu syair gulung juga sudah mulai ditulis di atas kertas atau apapun pada masa itu untuk memudahkan sang pengarang dalam menyampaikan syairnya kepada pendengarnya (Yulita et al, 2019). Sebagian dari mereka mempercayai sebelum Islam hadir Syair Gulung sudah ada di Ketapang hal ini dikarenakan masyarakat Melayu senang dengan sastra dan tak terpisahkan dari kehidupan 497 masyarakat Melayu.…”

“…Sehingga dahulu syair gulung menceritakan tentang kisah kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai media untuk menyampaikan dakwah. Lama kelamaan fungsi syair gulung berubah yang tidak hanya untuk media dalam berdakwah tetapi juga masuk aspek lain didalamnya (Yulita et al, 2019). Contohnya sekarang syair gulung ada pada acara acara tertentu seperti pernikahan, acara adat, sunatan, selamatan, acara resmi dipemerintahan Kabupaten Ketapang (Riza, 2010).…”