Saat ini pemberian jasa kesenian dan hiburan dalam bentuk digital semakin berkembang, terutama pada platform YouTube oleh para content creator. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan apakah transasksi yang ada dalam kegiatan dan pemberian jasa dan hiburan oleh content creator Indonesia memiliki aspek Pajak Pertambahan Nilai atas jasa kesenian dan hiburan, bagaimana penerapan perpajakannya, bagaimana dampak penerapannya kepada negara, serta apa tantangan yang akan dihadapi dalam penerapannya. Dalam penulisan penelitian digunakan metode deskriptif kualitatif dengan narasumber dari akademisi, Direktorat Jenderal Perpajakan, serta digital media analyst. Hasil penelitian menunjukkan dengan hadirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengatur ulang objek non jasa kena pajak khususnya pada jasa kesenian dan hiburan menjadikan hiburan dalam bentuk digital dapat dikategorikan sebagai objek PPN, salah satunya ialah konten digital yang diberikan oleh content creator YouTube. Hingga saat ini Google Asia Pacific Pte. Ltd belum memiliki kehadiran fisik di Indonesia oleh karena itu mekanisme pemungutan PPN yang dapat diterapkan ialah mekanisme umum terkait ekspor jasa kena pajak atau Reverse Charge Mechanism. Menimbang sulitnya penentuan kategori jasa yang diberikan, dalam penelitian ditemukan bahwa metode Reverse Charge Mechanism lebih aplikatif dibanding mekanisme umum. Dengan penerapan PPN ini akan membuka peluang intensifikasi PPh didalam perpajakan content creator di Indonesia namun penerapannya pula akan menemukan berbagai tantangan seperti masih perlunya kategorisasi yang jelas agar tidak terjadi pergesakan di lapangan.
Currently, the provision of arts and entertainment services in digital form is growing, especially on the YouTube platform by content creators. The purpose of this study is to answer the question of whether the transactions in the activities and provision of services and entertainment by Indonesian content creators have aspects of Value Added Tax on arts and entertainment services, how the taxation is applied, how the impact of its application on the state, and what challenges will be faced in its application. In writing the research, a qualitative descriptive method was used with sources from academia, the Directorate General of Taxation, and digital media analysts. The results show that with the presence of the Harmonization of Tax Regulation Act which reorganizes non-taxable services objects, especially in arts and entertainment services, entertainment in digital form can be categorized as VAT objects, one of which is digital content provided by YouTube content creators. Until now Google Asia Pacific Pte. Ltd. does not yet have a physical presence in Indonesia, therefore the VAT collection mechanism that can be applied is the general mechanism related to the export of taxable services or the Reverse Charge Mechanism. Considering the difficulty of determining the category of services provided, the research found that the Reverse Charge Mechanism method is more applicable than the general mechanism. With the implementation of this VAT, it will open up opportunities for the intensification of income tax in content creator taxation in Indonesia, but its application will also encounter various challenges, such as the need for clear categorization so that there is no friction in the field.