ABSTRAKDalam merespons krisis finansial Asia di tahun 1997-1999, pemerintah Indonesia dan Malaysia mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang berbeda. Pemerintah Indonesia menaikkan suku bunga, mengurangi alokasi anggaran, melepaskan intervensi nilai tukar, dan meliberalisasi berbagai sektor ekonomi; sementara pemerintah Malaysia menurunkan suku bunga, melakukan ekspansi anggaran, mempertahankan intervensi nilai tukar, dan mengaplikasikan kontrol modal. Mengapa krisis yang sama direspons dengan kebijakan ekonomi makro berbeda? Mengapa krisis ekonomi tersebut diikuti dengan perubahan kebijakan ekonomi ke arah yang lebih liberal di Indonesia, sementara tidak di Malaysia? Dalam riset-riset sebelumnya, faktor paradigma ekonomi terkesan kurang diperhatikan sebagai penentu preferensi kebijakan pemerintah sewaktu krisis. Lewat penelitian ini, penulis berargumen bahwa perbedaan kebijakan ekonomi makro saat krisis disebabkan oleh perbedaan paradigma yang berkembang di masing-masing rezim pemerintahan sebelum krisis. Paradigma ekonomi membangun ekspektasi pemerintah terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil sebelum krisis. Kemunculan krisis finansial mendorong perubahan kebijakan ekonomi makro karena (i) krisis tersebut memfalsifikasi ekspektasi paradigma ekonomi yang dianut pemerintah dan (ii) pendukung paradigma alternatif berhasil masuk ke dalam proses perumusan kebijakan ekonomi makro untuk mendelegitimasi paradigma lama, kemudian melembagakan paradigma baru. Dua faktor ini hadir di Indonesia, namun tidak di Malaysia.Kata kunci: paradigma ekonomi, kebijakan-kebijakan ekonomi makro, institusionalisme baru, krisis finansial Asia ABSTRACT To respond the Asian financial crisis in 1997-1999, the governments of Indonesia and Malaysia took different measures to their macroeconomic policies. The government of Indonesia tightened their fiscal and monetary policies, discontinued their intervention in foreign exchange market, and liberalized various sectors of economics while the government of Malaysia adopted expansive monetary and fiscal policies, continued their intervention in foreign exchange market, and controlled capital flows. Why was the same crisis responded by different macroeconomic policies? Why did the crisis lead to liberalized macroeconomic policies change in Indonesia, but the same thing did not happen in Malaysia? Previous studies have avoided the ideational factor to explain the governments' preferences on macroeconomic policies. This article argues that econo-*Penulis adalah peneliti di Komune Rakapare.