Bagaimana Seniman Bali Berkreatifitas Pada Ajang PKB 2021 Dalam Situasi Covid ?

Abstract

Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2021 bangkit kembali dalam bentuk berbeda. PKB ke -43 sebagai wadah berkreatifitas para seniman digelar secara virtual, lantaran berfluktuasinya pandemi covid-19 di Bali. Kreativitas yang dihasilkan para seniman memiliki fokus dan kontekstual menerjemahkan tema PKB “Purna Jiwa, Prananing Wana Kerthi” atau “Jiwa Paripurna, Nafas Pohon kehidupan”. Pementasan dilakukan secara virtual dan hanya beberapa dilakukan secara luring dengan penerapan protokol kesehatan. Fenomena covid-19 sangat memotivasi inovasi dan jiwa semangat para seniman Bali, hal ini dapat dilihat dari penampilan karya-karya yang rata-rata sangat menarik. Ada 2 (dua) karya yang menarik untuk dibahas yaitu, tari Kreasi Kekebyaran Mimba dari duta Kota Denpasar dan Pagelaran Arja Klasik dari Sanggar Suara Kanti Singapadu, Gianyar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni menggunakan metode penelitian kualitatif lebih menekankan pada sisi kualitas pada entitas yang diteliti. Menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mempermudah mengkritisi hal-hal yang ada pada pertunjukan Tari Kreasi Kekebyaran Mimba dan Pagelaran Arja Klasik baik dari segi teknik, bentuk, keunikan dan rasa, serta menginterpretasikan nilai-nilai yang terkandung pada karya tersebut. Tari Kreasi Kekebyaran Mimba menggambarkan tentang bagaimana keseimbangan dari simbol maskulin dan feminim dalam satu orang karakter penari, konsep ini terinspirasi dari daun Intaran dan konsep Ardhanareswari. Pementasan Arja Klasik dari Sanggar Suara Kanti dengan judul “Taru Urip” yang mengisahkan perjodohan melalui taru urip yang diberikan oleh Galuh Daha yang kemudian dimenangkan oleh Prabhu Jenggala, Raden Dharma Sentana.
 
 Kata Kunci: PKB,Covid, Kreatifitas, Seniman

Makna Filosofis Penggunaan Gula Aren pada Banten Daksina di Desa Pedawa Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng

“…Gula aren dalam kultur masyarakat Desa Pedawa melambangkan dualitas laki-laki dan perempuan yang dalam istilah lokal disebut Lanang dan Wadon. Lanang dan Wadon diartikan sebagai simbol maskulin dan feminim yang dalam Siwatattwa disebut sebagai Purusa dan Pradhana (Wahyuni & Suteja, 2021). Hal ini disebabkan oleh adanya ketentuan baku yang dilakukan secara turun-temurun di Pedawa bahwa orang yang bertugas menyadap nira pada pohon aren haruslah laki-laki.…”