<p class="Default"><em>Survei </em><em>pada tahun 2012 menunjukkan bahwa hanya ada 1/3 karyawan yang memiliki keterikatan kerja dengan pekerjaannya di Indonesia. </em><em>Salah satu sebab permasalahan yang dipersepsikan karyawan adalah kurangnya keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Hal ini terjadi karena belum banyak perusahaan yang menerapkan kebijakan jam kerja fleksibel. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan beberapa perusahaan di Indonesia mulai menerapkan disain kerja telecommuting, sebuah disain kerja yang memungkinkan karyawan untuk tidak bekerja di kantor yang terpusat. Beberapa penelitian sebelumnya menyajikan beberapa keuntungan penerapan telecommuting, diantaranya meningkatnya produktivitas, kepuasan kerja, dan menurunnya stres kerja. Namun belum ada penelitian yang meneliti perbedaan tingkat keterikatan kerja pada karyawan yang bekerja di kantor tersentralisasi dengan karyawan telecommuting. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tersebut. Sejumlah 53 karyawan berpartisipasi dalam penelitian ini, dimana jumlah karyawan telecommuting adalah 21 karyawan da</em><em>n karyawan yang bekerja tersentralisasi</em><em> sejumlah 32 orang. </em><em>Dimensi </em><em>keterikatan kerja yang diukur </em><em>adalah </em><em>absorpsi, dedikasi, dan</em><em> semangat. </em><em>Pengambilan data menggunakan kuesioner Utrecht W</em><em>ork</em><em> Engagement Scale </em><em>(UWES) dengan 17 aitem </em><em>yang diadaptasikan</em><em>. D</em><em>ata </em><em>dianalisis </em><em>menggunakan teknik statistik non parametrik. H</em><em>asilnya dapat disimpulkan bahwa kelompok karyawan telecommuting menunjukkan rata-rata tingkat keterikatan kerja yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelompok karyawan yang bekerja tersentralisasi </em><em>(U = 180,5 , p = .005). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahan di Indonesia untuk mempertimbangkan penerapan telecommuting. </em></p><p class="Default">Kata kunci: keterikatan kerja,<em> telecommuting, telework, UWES engagement scale,</em> jam kerja fleksibel<em>, work-life balance</em></p>
Remaja di kota besar di Indonesia termasuk kelompok dengan penetrasi pengguna internet tertinggi. Kebanyakan mereka menggunakan aplikasi media sosial. Hal ini membuat mereka rentan terlibat perilaku online beresiko yang antara lain adalah memberikan informasi personal dan mengakses atau terpapar konten seksual. Resiko ini dapat berdampak pada sikap permisif remaja terhadap seksualitas dan mengganggu aspek perkembangan hidupnya. Faktor yang melatarbelakangi keterlibatan remaja pada aktivitas beresiko antara lain pengawasan keluarga dan keadaan psikososial remaja. Penelitian di Indonesia belum banyak yang meneliti secara langsung peran faktor-faktor tersebut terhadap perilaku online beresiko remaja. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kualitas hidup remaja dan pengawasan orang tua (parental mediation) terhadap perilaku online beresiko seksual remaja. Partisipan adalah 148 orang remaja Jakarta dengan teknik sampel insidental. Alat ukur yang digunakan adalah EU KIDS ONLINE sub parental mediation, online risky activity, dan risky sexual activity serta KIDSCREEN-27. Penelitian ini merupakan penelitian asosiatif dengan teknik analisis korelasi Spearman dan One-way Anova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parental technical mediation berkaitan dengan perilaku online beresiko penyebar konten seksual dan kualitas hidup domain kesehatan dan aktivitas fisik berhubungan secara positif dan signifikan namun hubungannya lemah. Penelitian selanjutnya perlu memerhatikan aspek representasi sampel dan juga social desirability dari aitem-aitem perilaku online beresiko. Adapun literasi penggunaan internet secara teknis dan interaksi perlu semakin ditingkatkan.
AbstrakSemakin banyak jumlah anak-anak yang mengalami masalah sosial perlu menjadi perhatian bukan hanya keluarga anak yang mengalami masalah tersebut namun juga masyarakat dan sistem sosial yang ada di lingkungan anak-anak tersebut tumbuh dan berkembang. Pelatihan ini merupakan salah satu wujud kepedulian yang ditujukan untuk para ibu dengan anak usia balita dalam pengasuhannya. Masa lima tahun pertama merupakan masa pengasuhan yang penting bagi tumbuh kembang anak secara fisik, kompetensi intelektual, maupun kecakapan dalam perilaku interpersonal dan tatanan sosial masyarakat. Pengasuhan yang baik adalah bagaimana orang tua terlibat dan merespon kebutuhan anak. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan mindful parenting yang mencakup bagaimana orang tua mendengarkan dengan penuh perhatian, menerima keadaan diri dan anak tanpa penghakiman, menyadari keadaan emosi diri dan anak, regulasi diri dan berwelas kasih dalam proses pengasuhan. Oleh karena itu, pelatihan ini diberikan dengan tujuan untuk menambah pengetahuan dan keterampilan ibu yang memiliki balita dalam melakukan pengasuhan secara mindful parenting. Peserta adalah para ibu yang mengikuti kelas balita di Puskesmas Kecamatan Cempaka Putih Jakarta Pusat. Berdasarkan informasi yang didapat, ada kebutuhan dari peserta yang memiliki bayi usia 1-2 tahun mengenai bagaimana cara menghadapi anak dengan permasalahan seperti tantrum, susah makan, dan sebagainya. Pelatihan dilakukan dengan model ceramah, diskusi, dan latihan terkait materi mindful parenting. Sebanyak 27 peserta hadir dengan membawa anak-anak mereka. Hasil pelatihan menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan mengenai mindful parenting dan kemapuan melakukan teknik mindful parenting. Secara keseluruhan, peserta merasa puas dan mendapatkan manfaat dari pelatihan yang diberikan Kata Kunci: psikoedukasi pengasuhan, mindful parenting, ibu dengan anak balita
<em>Periode pasca melahirkan (post partum) adalah periode setelah kelahiran bayi dimana sang ibu menyesuaikan diri baik fisik maupun psikis. </em><em>Selama periode itu, sebagian besar wanita memandang bentuk tubuh dan ukuran tubuhnya sebagai perubahan yang negatif. Hal ini mempengaruhi bagaimana para wanita dewasa muda pasca melahirkan mempersepsikan bentuk dan ukuran tubuhnya atau yang biasa disebut sebagai body image. Sementara itu, penerimaan dan penilaian body imagepositif atau negatif pada wanita dewasa muda pasca melahirkan berkaitan dengan self esteem, depresi pasca melahirkan, emosi yang negatif, dan juga perubahan interaksi sosial serta menimbulkan perilaku diet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara body image dengan self esteem pada wanita pasca melahirkan. Sampel dipilih dengan teknik accidental sampling sebanyak 129 orang di Jakarta. Hasil korelasi dengan Pearson Product Moment menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara body image dengan self esteem pada wanita dewasa muda pasca melahirkankan dengan r = 0,485 dan nilai signifikansi p = 0,000 (p > 0,05). Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan membandingkan berbagai latar belakang wanita paska melahirkan seperti pendidikan, status sosial ekonomi, kondisi kesehatan selama kehamilan, dan sebagainya.</em>
Health service communication is a form of communication that occurs between health service providers (such as doctors, nurses, midwives, pharmacists, and other health workers) with patients, patients' families or with other health workers. In essence, health service communication is a process of interaction between two parties to obtain information, provide information and provide support, which is carried out in a health setting. Effective communication can reduce patient doubts about the treatment process and increase patient compliance with a series of treatments, so that health problems can be resolved. Therefore, health workers need to maintain a good cooperative relationship with patients. Based on the community service activities that have been carried out, data are obtained that health service communication training provided to health workers at the Cempaka Putih Health Center shows the results of an increase in understanding and knowledge of training participants regarding techniques for communicating health services to patients. The future program is expected to not only sharpen the knowledge and understanding possessed by participants, but can also be improved by training the operational technical skills of health practitioner participants in communicating health services
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.