Melasma is a hyperpigmentation disorder that is often found, is chronic. Hydroquinone is considered the standard therapeutic standard of melasma, has limitations and side effects vary. L-ascorbic acid acts as a reactive oxygen species (ROS) scavenger and has the ability to bind copper ions in the tyrosinase workplace. Glutation has the function of depigmentation of the skin that inhibits melanogenesis by suppressing the activity of tyrosinease enzymes. The purpose of this study was to prove and analyze the effectiveness of serum combination therapy L-ascorbic acid 10% and glutation 2% in lowering MASI score compared to serum hydroquinone 4% in melasma patients. Clinical experimental research method, pre and posttest double blind randomized controlled trial with the study subjects as many as 36 melasma patients. In group I was given a combination of serum L-ascorbic acid 10% and glutation 2%, while group II got serum hydroquinone 4%. The effectiveness of serum is assessed with an MASI score. The analyses used are t-paired tests, Wilcoxon tests and Difference-in-Differences (DID) analyses. Statistical tests are considered meaningful if p<0.05. The results of the study in both groups had a significant decrease in MASI score (p<0,001), but the decrease did not differ significantly between the two groups. The decrease in MASI scores between the two groups made no significant difference in week 4 (p=0.535) and 8th (p=0.303). The conclusion of this study was a combination of serum L-ascorbic acid 10% and glutation 2% lowered MASI score, but not proven more effective in lowering MASI score than serum hydroquinone 4% in melasma patients.
<p>Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum. Penularan sifilis biasanya melalui kontak seksual dengan pasangan terinfeksi, kontak langsung dengan lesi terinfeksi, transfusi, dan jarum suntik. Sifilis dapat disembuhkan pada tahap awal infeksi, tetapi apabila tidak mendapat pengobatan adekuat dapat menjadi infeksi sistemik dan berlanjut ke fase laten. Pengobatan sifilis yang efisien sangat penting untuk mengontrol sifilis secara efektif.</p><p>Syphilis is a sexually transmitted disease caused by a bacterial infection, Treponema pallidum. Transmission of syphilis is usually through sexual contact with an infected partner, direct contact with infected lesions, transfusions, and injection needles. Syphilis can be cured in the early stages of infection, but if it is not given adequate treatment it can become a systemic infection and progress to the latent phase. Efficient syphilis treatment is essential to control syphilis effectively.</p>
<p>Pendahuluan: Ulkus diabetik merupakan bentuk kegagalan proses penyembuhan luka normal. Media terkondisi sel punca mesenkim Wharton’s jelly meningkatkan transkripsi m-RNA dari TGF-β2, hypoxia-inducible factor-1α, dan plasminogen activator inhibitor-1 genes pada fibroblas kulit yang berhubungan dengan penyembuhan luka. Tujuan: Meneliti efektivitas media terkondisi sel punca mesenkim Wharton’s jelly terhadap kecepatan penyembuhan ulkus pada tikus diabetik strain Wistar. Metode: Penelitian eksperimental laboratorik randomized pretest-posttest control group design. Penelitian di laboratorium bagian Farmasi Universitas Setia Budi (USB) Surakarta menggunakan 18 ekor hewan coba tikus strain Wistar yang dibuat luka di area punggung atas, dibagi 2 kelompok. Kelompok 1 diberi gel astaxanthin, kelompok 2 diberi media terkondisi sel punca mesenkim Wharton’s jelly. Perlakuan selama 14 hari. Uji visual menggunakan metode fotografi, luas ulkus diukur menggunakan software image J, persentase penyembuhan ulkus dihitung menggunakan rumus wound closure. Pengamatan dilakukan di hari ke-0, 7, 10, dan 14. Analisis perbedaan rata-rata luas ulkus menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil: Berdasarkan luas ulkus dengan perhitungan Image J, didapatkan perbedaan signifikan pada hari ke-7 (p=0,041), hari ke-10 (p= 0,000), dan pada hari ke-14 (p= 0,000) Pada perhitungan menggunakan rumus wound closure dan data Image J, didapatkan perbedaan signifikan, pada kelompok 2 sebagian besar ulkus sudah menutup sempurna di hari ke-7, sedangkan pada kelompok 1 (kontrol) ulkus paling cepat menutup di hari ke-14 dan sebagian besar ulkus belum sembuh di hari ke-14. Simpulan: Media terkondisi sel punca mesenkim Wharton’s jelly efektif mempercepat penyembuhan ulkus pada tikus diabetik strain Wistar.</p><p> </p><p>Introduction: Diabetic ulcer is a sign of wound healing failure. Wharton’s Jelly enhance m-RNA transcription of TGF-β2, hypoxia-inducible factor-1α, and plasminogen activator inhibitor-1 genes in skin fibroblast related to wound healing process. Objective: To prove the effectivity of Wharton’s Jelly mesenchymal stem cell conditioned media on ulcer healing rate in diabetic Wistar rats. Method: A laboratory experimental study with randomized pretest-posttest control group design. This study was conducted at the Pharmacy Laboratory of Setia Budi University Surakarta on 18 Wistar strain rats divided into 2 groups. All rats were injured on upper back area. Group 1 was treated with Astaxanthin gel. Group 2 was treated with Wharton’s jelly mesenchymal stem cell conditioned media, for 14 days. Visual test was performed using the photographic method and ulcer area was measured using image J software; the percentage of ulcer healing was calculated with wound closure formula. Observations were made on days 0,7th,10th, and 14th. Analysis used Mann-Whitney test for data with normal distribution. Results: Wound closure on day 7th (p= 0.000), on day 10th (p= 0.000), on day 14th (p= 0.004) was significantly better in group 2. Based on ulcer area data with Image J software, the difference on day 7th (p= 0.041), on day 10th (p= 0.000), on day 14th (p=0.000) were significant. The ulcer healing rate is a significantly different between groups. In Wharton’s jelly group, most ulcers has closed completely in day 7th, while in astaxanthin group, most ulcer hasn’t closed until day 14th. Conclusion: Wharton’s Jelly mesenchymal stem cell conditioned media, compared to astaxanthin, accelerate the healing rate of diabetic ulcers in Wistar strain rats.</p>
<p>Latar belakang: Nekrolisis epidermal disebut Sindrom Stevens Johnson (SSJ) apabila yang terlibat kurang dari 10% dari area tubuh, 10% sampai 29% disebut SSJ overlap NET dan lebih dari 30% NET. Tujuan : Untuk mengetahui gambaran umum pasien SSJ-NET serta penggunaan kortikosteroid sistemik di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta periode Januari 2016 – Desember 2017. Metode : Studi deskriptif retrospektif dengan populasi dan sampel penelitian pasien rawat inap di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, periode Januari 2016 – Desember 2017. Sampel menggunakan data sekunder dari status rekam medis di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Hasil: Total pasien 26 orang terutama berusia 46 – 55 tahun dan 56 – 65 tahun (23%). Laki-laki lebih banyak (57%). Diagnosis SSJ (61%) terbanyak dibandingkan SSJ overlap NET (19%) ataupun NET (19%). Hipertensi sebagai penyakit penyerta terbanyak (15%). Keterlibatan mukosa terbanyak pada mulut (88 %) dan penyebab terbanyak SSJ-NET melibatkan lebih dari satu macam obat (53%). Obat penyebab yang dicurigai terutama adalah antibiotik golongan sefalosporin dan parasetamol (23%). Rerata lama terapi deksametason adalah 10 hari dengan dosis rata-rata 25 mg per hari. Simpulan: Pengobatan kortikosteroid sistemik pada kasus SSJ – NET di RSUD dr. Moewardi Surakarta pada umumnya menghasilkan perbaikan klinis dengan rata-rata perawatan 10 hari dan dosis rata-rata deksametason 25 mg per hari.</p><p>Background: Epidermal Necrolysis is classified into several degree of severity based on the area of the body involved, below 10% is SJS, 10% - 29% is SJS overlap TEN and 30% is TEN. Objective: To provide general description of SJS-TEN patients and systemic corticosteroids therapy in Dr.Moewardi General Hospital Surakarta January 2016 - December 2017. Methods: A retrospective descriptive study on in-patients in Dr. Moewardi General Hospital Surakarta between January 2016 and December 2017. Results: Total sample was 26 patients, mostly male (57%) in 46 - 55 year-old and 56 - 65 year-old (23%). The most common diagnosis was SJS (61%) followed by SJS overlap TEN (19%) and TEN (19%). Hypertension was the most frequent comorbid disease (15%). Mostly affected was mouth mucosa (88%) and caused by mostly more than one drug (53%). Suspected causative drugs were mostly cephalosporin and paracetamol (23%). The average duration of dexamethason therapy was 10 days with an average dose 25 mg per day. Conclusion: SSJ - NET cases in Dr. Moewardi General Hospital Surakarta were mostly treated with systemic corticosteroids for an average of 10 days and an average dose of dexamethason 25 mg per day.</p>
Minyak kedelai (Glycine max) mengandung berbagai fitokimia bioaktif seperti phenolic acid, flavonoid, isoflavone, saponin, phytosterol, dan sphingolipid yang diduga memiliki manfaat pada pengobatan dermatitis atopik (DA). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi kandungan dari minyak kedelai menggunakan analisis in silico secara komputasional pada pengobatan dermatitis atopik. Senyawa aktif dari minyak kedelai diekstraksi dari database KNApSAcK. Hasil yang didapatkan yaitu terdapat potensi bioaktivitas minyak kedelai sebagai imunosupresan, antiinflamasi, perbaikan barrier kulit, antieczema, dan inhibitor histamin. Potensi tertinggi minyak kedelai adalah sebagai antiinflamasi dengan rata-rata nilai probable to be active (Pa) 0,684; senyawa aktif yang memiliki potensi tinggi adalah alpha-tocopherol (Pa:0,956).
Hemangioma verukosa adalah malformasi vena verukosa terlokalisisasi berupa hemangioma kapiler atau kavernosa dengan reaksi proliferasi epidermis berupa hiperkeratosis, akantosis dan papilomatosis serta ditandai dengan proliferasi dan pelebaran vaskular pada dermis hingga subkutan. Kelainan ini biasanya ditemukan pada ekstremitas bawah dan unilateral. Hemangioma verukosa sering didiagnosis sebagai malformasi vena atau limfatik. Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun datang dengan bercak merah kehitaman yang kasar dan berbenjol-benjol pada kaki kanan yang dimiliki sejak lahir. Empat bulan sebelumnya, bercak tersebut berdarah akibat terkena lemparan bola kemudian menjadi semakin kasar, tebal dan bertambah gelap. Diagnosis awal pasien adalah hemangioma dan dilakukan krioterapi, namun lesi tidak membaik setelah 6 kali krioterapi. Diagnosis VH harus dipertimbangkan terutama jika menemukan lesi papul, plak maupun nodul eritematosa hiperkeratotik, ada saat lahir, berlokasi di ekstremitas bawah dan menunjukkan pertumbuhan setelah trauma atau infeksi. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, serta penunjang, pasien didiagnosis dengan hemangioma verukosa. Terapi eksisi dengan margin yang adekuat pada kasus hemangioma verukosa dapat memberikan prognosis yang baik dan tingkat kekambuhan yang rendah. Terapi pada pasien ini berupa kombinasi salep clobetasol propionate 0,05% dan salicylic acid 5% kemudian dilakukan eksisi.
Melasma merupakan kelainan hipermelanosis didapat yang timbul khas pada area kulit yang sering terpapar sinar matahari. Terapi melasma relatif sulit karena sering timbul kronisitas pada melasma. Hingga saat ini terapi dengan formula Kligman masih menjadi pilihan, namun formula Kligman mempunyai beberapa efek samping terutama untuk pemakaian jangka lama. Cysteamine bekerja dengan menghambat enzim tirosinase. Asam traneksamat bekerja dengan menghambat aktivitas plasmin di keratinosit yang diketahui sebagai stimulator aktivitas tirosinase Tujuan penelitian membuktikan dan menganalisa efektivitas terapi layering krim cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% dibandingkan formula Kligman modifikasi pada penderita melasma terhadap perbaikan skor MASI. Metode penelitian eksperimental, pre and post control grup design double-blind randomized controlled trial dengan 28 sampel pasien melasma yaitu kelompok A menggunakan layering krim cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% dibandingkan dengan kelompok B menggunakan formula Kligman modifikasi (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluocinolone acetonide 0,01%). Penilaian dan pengukuran efektivitas terapi dilakukan saat minggu ke-0, 2, 4 dan 8, dengan penilaian skor MASI. Analisis yang digunakan adalah uji t-berpasangan dan uji Wilcoxon. Uji statistik dianggap bermakna jika p<0,05. Hasil penelitian penurunan selisih skor MASI pada kelompok A didapat pada minggu ke-4 dan minggu ke-8, sedangkan kelompok B pada minggu ke-8. Perbedaan selisih perubahan skor MASI antara kelompok A dan kelompok B pada minggu ke-4 dan 8 menunjukan perbedaan yang signifikan (p=0,025 dan p=0,003). Kesimpulan kesimpulan terapi layering cysteamine 5% dan asam traneksamat 3% menunjukkan penurunan selisih skor MASI lebih awal dibanding terapi krim Kligman modifikasi
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.