Inseminasi buatan dikenal oleh peternak sebagai teknologi reproduksi ternak yang efektif. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan inseminasi buatan pada sapi di Kabupaten Asahan yang dipelihara secara intensif. Metode penelitian ini adalah metode survey, menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara membagikan kuesioner dan wawancara langsung ke peternak sebagai tambahan informasi, sedangkan data sekunder didapat dari inseminator terkait tentang hasil inseminasi buatan di Kabupaten Asahan. Kuesioner yang digunakan mencakup pertanyaan tentang karakteristik sapi seperti: status kebuntingan sapi (konfirmasi dari petugas inseminator), jenis sapi, umur sapi, skor kondisi tubuh sapi, jumlah inseminasi buatan sampai bunting, tanda-tanda berahi, waktu pelaksanaan inseminasi buatan, bulan pelaksanaan inseminasi buatan, lama birahi pascapartus, jenis straw, jumlah dosis inseminasi, jarak waktu pelaporan berahi sampai dengan IB dilaksanakan, pakan sapi, ternak dikandangkan serta profil peternak dengan 75 responden peternak dari lima kecamatan. Data dianalisis menggunakan stepwise regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 114 ekor ternak sapi betina yang dilakukan IB, sebanyak 76,3% mengalami kebuntingan dan 23,7% tidak mengalami kebuntingan. Variabel independen yang mempunyai korelasi paling kuat adalah umur sapi (sig. 0,006), jarak waktu pelaporan sampai IB (sig. 0,001), serta pakan ternak sapi (sig. 0,004). Kesimpulan penelitian bahwa faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan inseminasi buatan pada sapi di Kabupaten Asahan adalah umur sapi, jarak waktu pelaporan sampai inseminasi buatan dilaksanakan, dan pakan. Kata kunci: Faktor keberhasilan, Inseminasi buatan, Jenis pakan, Umur sapi
Unit Pelayanan Teknis (UPT) Hewan Coba Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala merupakan unit profit untuk menghasilkan sapi aceh. Dalam usaha untuk meningkatkan populasi sapi aceh, UPT. Hewan coba telah melakukan optimalisasi kinerja reproduksi sapi aceh melalui perbaikan manajemen reproduksi dengan tema “satu tahun, satu anak”. Optimalisasi ini akan menghasilkan nilai keuntungan yang signifikan bagi unit tersebut dan menjadi prototipe untuk produksi sapi aceh di Provinsi Aceh melalui penerapan teknologi (IPTEKS) dan inovasi reproduksi. Inovasi yang dilakukan adalah dengan perbaikan tatakelola reproduksi sederhana, mulai dari tatakelola perkawinan sampai tatakelola pascapartus. Pemilihan IPTEKS yang diterapkan meliputi implementasi teknologi sinkronisasi berahi, perkawinan alami, stimulasi hormonal pada saat perkawinan, diagnosis kebuntingan dengan USG, dan penanganan pascapartus. Secara komprehensif teknologi ini akan dapat menghasilkan produksi sapi yang maksimal dengan lahirnya anak setiap tahun. Berdasarkan pemeriksaan status reproduksi, dari 30 ekor sapi yang digunakan dalam kegiatan ini, 21 ekor sapi positif bunting, 4 ekor sapi akan mendapat pengulangan perlakuan, dan 5 ekor sapi lainnya akan diberikan perlakuan setelah mendapat penangangan gangguan reproduksi. Disimpulkan bahwa perbaikan tatakelola reproduksi di UPT. Hewan Coba dapat meningkatkan performa reproduksi sapi aceh.
Biodiversity in Indonesia is home to medicinal plants in the world, including Nothopanax scutellarium Merr., Moringa oliefera Lam., Piper betle L. Several researchers have examined the active compounds contained in these plants. This study focused on preliminary phytochemistry and FTIR analysis of leaf extracts of Nothopanax scutellarium Merr., Moringa oliefera Lam., Piper betle L. Phytochemicals were extracted with ethanol 70% by maceration. The results showed that the active compounds of flavonoids, steroids, tannins, phenols, saponins, and alkaloids were present in the three leaves. FTIR analysis observed the main peak at wavenumber 3623.44 cm-1 in the mangkokan leaf extract, wavenumber 3690.64 cm-1 in the moringa leaf extract, and wavenumber 3683.89 cm-1 in the piper betle leaf extract. All of which showed the O-H phenol functional group.
Background: Anemia is a major problem experienced during pregnancy in Indonesia due to its effect on mothers and babies. Hence, various interventions have been implemented, but a significant reduction in the prevalence of anemia has not been attained. The present study, therefore, aims to investigate the perceptions of anemia among pregnant women in Aceh to design culturally relevant interventions.Methods: This qualitative study collected data from 24 pregnant women in Aceh Besar District, Indonesia, through focus group discussions (FGDs). Data were analyzed using the inductive content analysis (ICA) method.Results: Five themes emerged from the experiences of pregnant women with anemia: (1) anemia during pregnancy is perceived as a woman’s destiny, (2) there is a lack of knowledge related to clinical indicators of anemia, (3) there is a traditional taboo related to anemia, (4) the husband and family provide support related to preventing anemia, and (5) there is a need for cultural and religious-based health counseling.Conclusions: Interventions should be designed to provide health information on anemia in Aceh that considers the local knowledge, beliefs and values, combined with medical elements. This intervention will likely change the perceptions of pregnant women about anemia to ensure that they are able to better maintain their pregnancy. Furthermore, the implementation of programs to support pregnant women with anemia should ensure that health workers are adequately trained in cultural competency and are able to understand the needs of pregnant women.
Implantasi atau proses memindahkan organ tubuh dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup yang lain dapat menginisiasi terjadinya stres. Penelitian ini bertujuan mengetahui peningkatan konsentrasi hormon kortisol pada kelinci lokal bunting semu yang mendapat transplantasi ovarium sapi aceh dengan durasi yang berbeda. Penelitian ini menggunakan sembilan ekor kelinci betina lokal berumur 3-5 tahun, bobot badan 1,5-2,9 kg. dibagi dalam tiga kelompok perlakuan (n=3) yakni kelompok transplantasi ovarium sapi di dalam uterus kelinci lokal bunting semu selama 3 hari (K1), 5 hari (K2), dan 7 hari (K3). Sampel feses untuk pemeriksaan konsentrasi kortisol diambil pada waktu sebelum dan setelah transplantasi. Konsentrasi metabolit hormon kortisol diukur dari sampel feses menggunakan teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil penelitian menunjukkan rerata konsentrasi hormon kortisol pada kelinci H-3 sebelum transplantasi ovarium sapi aceh adalah 125,12±74,68 ng/g. Konsentrasi kortisol sesudah transplantasi pada kelompok K1; K2; dan K3 masing-masing adalah 433,94±207,44; 176,74±83,00; 343,28±178,42 ng/g (P>0,05). Disimpulkan bahwa transplantasi ovarium sapi aceh pada kelinci lokal bunting semu cenderung meningkatkan hormon kortisol namun durasi ovarium di dalam uterus tidak memengaruhi konsentrasi kortisol.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.