Dexmedetomidine, an α2 adrenergic agonist, has been commonly used as an off-label anesthetic adjuvant in various procedures and age groups. Lately, dexmedetomidine is increasingly preferred as sedation for pediatric patients undergoing MRI, which requires the patient to remain still in a deep sedation without disturbing airway patency. Dexmedetomidine administration via intranasal or buccal route is preferred for pediatric patients. Dexmedetomidine does not undergo significant pharmacokinetic changes when used in conjunction with other anesthetics, and has a good safety profile. It is 8-10 times more selective against α2 receptors than clonidine and produces sedation, analgesia, vasodilation, and bradycardia without significant airway and respiratory depression risk. Unlike other anesthetic agents, dexmedetomidine does not have any negative effect on brain development. Compared with propofol, dexmedetomidine has a longer onset and duration of action. Thus, dexmedetomidine can be used as the sole sedating agent in infants and children undergoing MRI procedures, with good sedation results and minimal side effects. However, correct dosing is very important given the side effects of bradycardia and hypotension that can occur with its use.
Background: Esophageal atresia is a congenital disorder in which there is no esophagus because the proximal and distal esophagus is not connected. Babies with esophageal atresia can show several symptoms: foamy mouth, cyanosis, coughing and tightness, flatulence, oliguria, or worse, pneumonia symptoms. Accompanying anomalies occur in greater than 50% of neonates with esophageal atresia. Esophageal atresia is identified by ultrasound at 18 weeks of gestation, ultrasound, and Magnetic resonance imaging (MRI) of the fetal neck, or examination of a nasogastric tube in the neck of a newborn. The management of esophageal atresia is challenging. The main choice remains the surgical procedure, which usually involves making a stoma on the proximal esophagus and gastrostomy. However, surgery has risky complications. Case: In this case, it was reported that a 22-day-old baby with tracheoesophageal fistula (TEF) type C with Ventricular Septum Defect and Atrial Septum Defect and Double Outlet Right Ventricle (DORV) underwent esophagostomy surgery with general anesthesia. Conclusion: Anesthesia management with general anesthesia, intubation using intravenous ketamine 3 mg, fentanyl 3µg, atracurium 1.5 mg gives stability for esophagostomy in a patient with a double outlet right ventricle.
Bronkospasme selama prosedur anestesi umum merupakan salah satu kejadian yang tidak diharapkan. Menurut beberapa literatur, etiologinya dapat disebabkan oleh proses anafilaksis, faktor mekanis, maupun farmakologis. Karakteristik utama dari bronkospasme adalah pemanjangan waktu ekspirasi, mengi, dan peningkatan peak airway pressure. Identifikasi dan penatalaksanaan segera dari bronkospasme selama anestesi umum harus dapat segera diketahui agar tidak menyebabkan hipoksia berkepanjangan, hipotensi, dan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Penyebab utama dari bronkospasme harus diketahui segera selama penatalaksanaan yang dilakukan
Latar belakang: Pasien kritis dengan infeksi coronavirus disease 2019 (COVID-19) memiliki kecenderungan untuk perawatan ventilasi mekanik dalam waktu yang lama. Perawatan dengan translaryngeal intubasi dalam waktu lama beserta penggunaan sedasi dan tindakan lainnya di intensive care unit (ICU) dapat memunculkan beberapa komplikasi lebih lanjut.Kasus: Pasien perempuan pascaoperasi sectio caesaria dengan gagal napas akibat infeksi COVID-19. Pasien mendapat support high flow nasal canule (HFNC) di awal perawatan di ICU. 4 hari perawatan, kondisi distress napas pasien memberat dan dilakukan intubasi translaryngeal. Dari evaluasi kondisi pasien selama 4 hari perawatan dengan ventilasi mekanik, tim ICU memutuskan melakukan tracheostomy melalui pendekatan dilatasi perkutan. Prosedur dilakukan di ruang bertekanan negatif dengan penggunaan alat pelindung diri (APD) level 3. Kondisi pasien berangsur mengalami perbaikan selama 7 hari perawatan dengan tracheostomy. Support ventilasi yang minimal, kebutuhan fraksi oksigen yg menurun dan perbaikan kondisi umum menjadi pertimbangan dilakukan dekanulasi. 3 hari pasca dekanulasi pasien dipindah rawat ke ruangan dengan kondisi stabil.Selama perawatan di ICU, pasien mendapat standar terapi berupa antiviral, antibiotik, antikoagulan, analgesik, steroid, dan obat penunjang lainnya.Pembahasan: Tindakan tracheostomy berhubungan dengan insiden pneumonia yang lebih rendah, penurunan penggunaan obat sedasi dan percepatan masa lepas rawat dari ventilasi mekanik. Early tracheostomy dilakukan sebelum hari ke-10 intubasi. Teknik dilatasi perkutan memiliki kelebihan atas efektifitas dan efisiensi biaya dan alat pendukung. Tindakan percutaneous dilatational tracheostomy (PDT) pada pasien COVID-19 harus dilakukan dengan proteksi tenaga medis yang optimal.Kesimpulan: Early tracheostomy dapat dipertimbangkan dalam tatalaksana pasien kritis COVID-19. Penilaian kondisi klinis pasien dan proteksi tenaga medis merupakan faktor utama menentukan tindakan early tracheostomy pada pasien COVID-19.
Latar belakang: Sepsis berat dan syok sepsis memiliki angka kematian yang tinggi. Agen anestesi yang sering digunakan untuk pasien sepsis adalah ketamin. Perubahan kadar kalsium dalam sel berkontribusi dalam peningkatan respon imun dan kerusakan jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek ketamin terhadap ekspresi kalsium intraseluler Human Umbilical Vein Endotel Cell pada jam ke-3 pasca paparan LPS dibandingkan dengan HUVEC model sepsis. Metode: Sebanyak 30 sumuran culture HUVEC diberi perlakuan sesuai kelompok perlakuan. Kelompok P1 (HUVEC + LPS), kelompok P2 / Model sepsis (HUVEC + LPS + Monosit), kelompok P3 (HUVEC + LPS + Ketamin 50 µmol/L) dan kelompok P4/ Model sepsis + Ketamin (HUVEC + LPS + Monosit + Ketamin 50 µmol/L). Ekspresi kalsium intraseluler dianalisis menggunakan metode imunofluoresens 3 jam setelah pemberian Ketamin. Data hasil penelitian diuji statistic menggunakan uji T dua sampel bebas menggunakan software SPSS 18.0. Hasil: Sepsis menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler yang signifikan dibandingkan dengan kontrol (p<0,05). Ketamin 50 µmol/L secara signifikan mampu menurunkan ekspresi kalsium intraseluler pada model sepsis secara signifikan. Selain itu, ketamin juga menujukkan aktivitas penghambatan produksi kalsium intraseluler pada HUVEC yang hanya diinduksi LPS. Kesimpulan: Pemberian Ketamin 50 µmol/L dapat menurunkan ekspresi kalsium intraseluler pada HUVEC yang dipapar LPS dan HUVEC model sepsis. Ketamin dapat digunakan sebagai imunoterapi sepsis dengan memodulasi konsentrasi kalsium intraseluler.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.