Covid-19 is the world's main focus, so the mass media is competing to provide details information. The amount of information related to Covid-19 in the communities raises information overload. The purpose of the study is to know the effects of overload information about Covid-19 on the information of anxiety and distrust of information about the people of Semarang. This research uses quantitative methods. The samples in this study were one hundred and fifty seven respondents which is acquired using random sampling. The Data in this research was obtained through online questionnaires. Data is presented descriptively because in this study using an open-ended questionnaire. The results showed that overload information about Covid-19 triggers the occurrence of anxiety information. The anxiety of the information itself has an impact on the rise of laziness to searching information and fatigue of information, where both lead to information distrust.
Media sosial merupakan salah satu layanan internet yang paling banyak digunakan oleh para pengguna internet pada saat ini. Kemudahan dalam berinteraksi dan menyebarkan informasi merupakan daya tarik utama dari layanan ini. Namun, kemudahan dalam berinteraksi dan menyebarkan informasi tersebut juga memiliki dampak negatif pada saat ini, yaitu banyak beredarnya berita hoax. Literasi media sosial perlu diberikan dalam rangka menciptakan masyarakat berbasis informasi dan pengetahuan. Pustakawan sebagai salah satu profesi yang memiliki latar belakang literasi yang kuat sudah sepatutnya mengupayakan pembentukan masyarakat yang kritis dalam bermedia sosial melalui literasi media sosial. Salah satu upaya membentuk masyarakat yang kritis dalam bermedia sosial adalah dengan menjalankan workshop yang telah memiliki materi pokok yang diseragamkan. Materi pokok yang sebaiknya dimasukkan dalam workshop literasi media sosial adalah: (1) Berfikir sebelum melakukan post; (2) Apa yang harus dipost dan kapan dapat dilakukan; (3) Bagaimana supaya post anda dapat ditemukan. Ketiga kemampuan ini harus masuk ke dalam materi pokok literasi media sosial karena materi pokok ini merupakan upaya untuk membangun masyarakat yang kritis dalam bermedia sosial.
Perkembangan teknologi informasi yang pesat secara langsung berdampak pada perkembangan informasi, bersamaan dengan semakin mudahnya informasi dibuat, maka keterkinian informasi menjadi hal yang sulit diikuti. Infomasi yang baru saat ini akan menjadi out of date dalam kurun waktu yang relatif
<p><strong>Latar Belakang : </strong>Pandemi <em>Coronavirus Disease </em>-19 (COVID-19) memberikan dampak pada berbagai sektor kehidupan termasuk diantaranya adalah sektor pendidikan. Himbauan mengenai <em>physical distancing </em>selama masa pandemi dan era <em>new normal</em> membuat ranah pendidikan mengoptimalisasikan pembelajaran melalui daring (<em>online</em>). Terdapat berbagai media pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran <em>online</em>, salah satunya dengan memanfaatkan <em>instan messaging </em>seperti <em>WhatsApp Grup. </em>Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan <em>WhatsApp Grup </em>sebagai media pembelajaran selama pandemic COVID-19.</p><p><strong>Metode : </strong>Penelitian bersifat deskriptif analitik dengan pengumpulan data melalui survei <em>online </em>menggunakan <em>google form. </em>Jumlah responden sebanyak 398 mahasiswa yang telah mendapatkan 3 sesi perkuliahan dengan menggunakan <em>WhatsApp Grup. </em>Waktu penelitian berlangsung pada bulan April hingga Mei 2020.</p><p><strong>Hasil : </strong>Berdasarkan penelitian, sebanyak 269 responden (67,6%) menyebutkan <em>WhatsApp Grup </em>efektif sebagai media pembelajaran, dengan 350 responden (87,9%) memiliki nilai post test ≥70. <em>WhatsApp Grup </em>memiliki beberapa keuntungan seperti hemat kuota dan dapat dikombinasikan dengan berbagai fitur pembelajaran. Sedangkan kekurangan dalam media ini adalah mahasiswa mudah terdistraksi dengan <em>chat </em>lain dan sukar diterapkan pada pembelajaran yang melibatkan presentasi mahasiswa.</p><p><strong>Kesimpulan : </strong><em>WhatsApp Grup </em>dapat digunakan sebagai alternatif media pembelajaran daring di masa pandemi COVID-19. Meskipun demikian, kombinasi penggunaan teks, gambar, video, dan games perlu dilakukan sehingga dapat memfasilitasi berbagai gaya belajar mahasiswa baik audio maupun visual.</p>
Title: Preparing Librarians Multitasking to serve Generation Z] Ranganathan's five laws mention that the library is a growing organization, not only applies to the library but also for librarians. A librarian must have dynamic in providing service to the user. Characters of the user that are served by the librarian has been changed. A user who later became the library market segmentation is a user of the Z generation. User of Z generation is users who want real-time information and have a great interest in the use of social media. Librarians in serving the Z generation sued for can be a multitasker, because library currently does not just focus solely on conventional service but also on digital-based service. Digital-based service is a service of library which accessible nonstop. To make it digital-based service happen are needed a multitasking librarian who understand about literacy. Multitasking librarian need to understand literacy media, digital literacy, information literacy, visual literacy, global literacy, cultural literacy, and biliteracy in an effort to provide maximum service to the user Z generation Abstrak Hukum ke lima Ranganathan menyebutkan bahwa perpustakaan merupakan organisasi yang berkembang, tidak hanya berlaku bagi perpustakaan tetapi juga bagi pustakawan. Hal ini dikarenakan maju tidaknya suatu perpustakaan tergantung pada pustakawannya. Pustakawan dituntut dinamis dalam memberikan pelayanan kepada pemustaka. Seiring perkembangan zaman pun pemustaka yang dilayani oleh pustakawan mengalami perubahan karakter. Pemustaka yang nantinya menjadi segmentasi pasar perpustakaan adalah pemustaka dari golongan Generasi Z. Pemustaka Generasi Z ini merupakan pemustaka yang menginginkan informasi real-time dan memiliki minat yang besar dalam penggunaan media sosial. Pustakawan dalam melayani generasi Z dituntut untuk dapat menjadi multitasker, karena perpustakaan saat ini tidak hanya berfokus pada layanan secara konvensional tetapi juga layanan berbasis digital yang mampu diakses nonstop. Pustakawan Multitasking perlu memahami literasi media, literasi digital, literasi informasi, literasi visual, literasi global, literasi budaya, dan biliteracy dalam upaya memberikan pelayanan yang maksimal kepada pemustaka Generasi Z. Kata kunci: pustakawan multitasking; Generasi Z; literate person PendahuluanHukum Ranganathan menyebutkan bahwa perpustakaan merupakan organisasi yang berkembang.Hukum tersebut selaras dengan keadaan saat ini dimana perpustakaan telah bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Transformasi perpustakaan dapat dilihat dari munculnya jenis perpustakaan mulai dari perpustakaan yang memiliki gedung, perpustakaan hybrid, dan perpustakaan digital. Hukum Ranganathan tersebut tidak hanya berlaku bagi perpustakaan saja, tetapi juga untuk pustakawan, sebagai profesi yang berkaitan erat dengan perpustakaan.
Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk mengetahui persepsi pemustaka terhadap penggunaan skema klasifikasi Dewey Decimal Classification (DDC) di Perpustakaan Kota Semarang. Dalam melakukan penelitian ini, metode kualitatif digunakan untuk pengambilan data dengan pendekatan wawancara. Pengambilan data dalam penelitian dilakukan dengan tiga cara yakni wawancara semi terstruktur, observasi subjek penelitian, dan studi literatur. Penelitian ini menggunakan sepuluh pemustaka yang rutin menggunakan fasilitas di Perpustakaan Kota Semarang sebagai subjek penelitian utama dalam penelitian tersebut. Dari sepuluh pemustaka tersebut, lima di antaranya memiliki latar belakang ilmu perpustakaan yang cukup memadai. Wawancara semi terstruktur diimplementasikan untuk memperoleh pendapat mereka satu per satu. Setelah wawancara tersebut dilakukan, analisis hasil wawancara menggunakan metode reduksi sata, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa persepsi pemustaka terhadap skema sistem klasifikasi di Perpustakaan secara keseluruhan telah membantu dalam mengelola bahan pustaka yang ada agar lebih tertata dan mudah ditemukan. Kendati demikian pemustaka masih mendapati beberapa faktor penghambat dalam menemukan bahan pustaka secara mandiri hal ini juga dikarenakan faktor latar belakang pendidikan.
Cyberculture merupakan budaya baru yang dipengaruhi dengan adanya penemuan komputer dan internet. Budaya baru ini memiliki perubahan yang luas dalam segala aspek tak terkecuali dalam bidang perpustakaan. Cyberculture sendiri meliputi berbagai bidang keilmuan, diantaranya: ilmu komputer, sosiologi, sastra dan bahasa, multimedia, filosofi, ekonomi, feminisme, politik, cyberpsychology, dan ilmu budaya. Secara konvensional peran pustakawan masih berkutat dalam bidang pengelolaan dan pelayanan pemustaka. Peran lain yang dimainkan oleh seorang pustakawan adalah membantu pemustaka, menjaga perpustakaan nampak atraktif dan rapi; mempromosikan perpustakaan dalam komunitas; terlibat dalam kegiatan komunitas untuk menyediakan informasi dan kegiatan: mempertahankan standar pengembangan koleksi berdasarkan permintaan dan kebutuhan pemustaka. Pada era cyberculture maka peran pustakawan mengalami transformasi yaitu: peran dalam membantu pemustaka mengalami perluasan menjadi manajer informasi dan user asisten; peran dalam menjaga perpustakaan nampak atraktif dan rapi mengalami pergeseran tidak hanya menjaga perpustakaan dalam bentuk fisik tetapi juga dalam bentuk digital yaitu menjadi web desainer dan web programmer; pustakawan dapat juga menjadi sales marketing dan public relation (PR) dalam menjalankan peran mempromosikan perpustakaan dalam komunitas; terlibat dalam kegiatan komunitas untuk menyediakan informasi dan kegiatan, menjadikan seorang pustakawan berperan sebagai seorang content creator dan influencer.
Introduction. The purpose of this paper is to explore the role of The Office of Archive and Library in preservation and communication of local culture. Data Collection Method. Using a case study, this paper involved the data collection by interviews, observations and literature review. Data Analysis. The data were descriptively analysed by using thematic analysis. Results and Discussion. The Office of Archive and Library has three roles in preservation and communication of local culture. They are: (1) as an information provider; (2) as a local cultural preservation agency; and (3) as a communicator of local cultural information. The role in preservation and communication of local culture arises because of the duties of the Office of Archive and Library Office in managing knowledge and efforts to fulfill the intellectual needs of the community. Conclusion. Preservation and communication of local culture conducted by the Office of Archive and Library Office is a manifestation of the function of library. The role in the preservation and communication of local culture will continue to develop in accordance with the user needs.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.