Pendahuluan. Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, laring, dan saluran nafas. Prevalensi GERD meningkat akhir-akhir ini. Di Indonesia, ditemukan kasus esofagitis sebanyak 22,8%. Analisis faktor risiko terjadinya GERD sangatlah penting diketahui di dalam mengurangi prevalensi GERD. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh pada pasien GERD sehingga diharapkan menjadi acuan referensi untuk mengurangi prevalensi GERD di tahun berikutnya.Metode. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Data yang diambil berdasarkan rekam medis pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi di Divisi Gastroenterologi Hepatologi di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang selama tahun 2016. Diagnosis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan kriteria diagnostik GERD dari endoskopi menurut kriteria Los Angeles.Hasil. Didapatkan 57 pasien dengan wanita 20 orang (32,5%) dan laki-laki 37 orang (67,5%). Pasien berusia >40 tahun ada sebanyak 36 pasien (63,16%). Didapatkan sebanyak 28 pasien (49,12%) mengonsumsi jamu, 31 pasien (54,38%) merokok, dan 18 pasien (31,48%) mengonsumsi alkohol. Hasil analisis faktor risiko GERD menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian GERD pada yaitu faktor konsumsi jamu (p=0,007 dengan nilai OR=4,586 (interval kepercayaan [IK] 95%: 1,386-15,177)) dan alkohol (p=0,027 dengan nilai OR=4,846 (IK 95%: 1,024-22,929)). Simpulan.Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian GERD pada penelitian ini yaitu faktor konsumsi jamu dan alkohol.
Diabetes melitus merupakan penyakit yang banyak ditemui sehari-hari, akan tetapi memiliki manifestasi klinis yang tidak lazim. Salah satu manifestasinya adalah sindroma hemichorea-hemiballismus, spektrum gerakan involunter yang berlangsung terus-menerus tanpa pola dan melibatkan satu sisi tubuh akibat hiperglikemia non-ketotik pada diabetes yang tidak terkontrol. Dilaporkan dua kasus pasien diabetes dengan hiperglikemia non-ketotik yang mengalami sindrom hemichorea-hemiballismus. Kasus pertama-wanita 57 tahun mengalami gerakan involunter, repetitif, dan tidak berirama di lengan dan tungkai kanan, disertai kedutan di wajah kanan selama dua minggu. Pasien tersebut memiliki riwayat diabetes melitus tidak terkontrol. Kasus kedua-laki-laki 60 tahun dengan kejang umum tonik-klonik. Pasien mengalami gerakan involunter pada lengan kanan selama empat hari dan riwayat diabetes sebelumnya tidak diketahui. Terapi diazepam intravena tidak memberikan respons terhadap kejang. Gambaran CT scan kepala pada kedua pasien menunjukkan lesi hiperdens pada ganglia basalis yang diduga disebabkan oleh hiperglikemia non-ketotik, akan tetapi lesi hiperdens pada pasien kedua tampak lebih luas. Gerakan involunter membaik setelah target glukosa darah tercapai dengan rehidrasi dan insulin intravena kontinyu. Respons klinis pada kasus hemichorea-hemiballismus di atas bersifat reversibel meskipun gambaran lesi hiperdens dapat bertahan selama berbulan-bulan.
Background: Osteoporosis is an increasing health problem in Indonesia. Fractures that occur in the spine and pelvis are considered to be the most common fracture sites for osteoporosis. Aim: to determine the differences in bone mineral density values in postmenopausal women with fracture and non-fracture. Methods: Survey was carried out in postmenopausal female patients with fractures and without fractures who were included in the inclusion criteria with a case-control study approach and had bone mass density data. For the group of cases with fracture, the amount of vertebral compression was measured using Gennant's measurement criteria. Interviews were conducted regarding the characteristics of patients with and without fracture. The differences in BMD values were analyzed in postmenpausal female patients with fracture and without fracture by using unpaired T test on normal data distribution and Mann-Whitney test on abnormal data distribution. The measured BMD value is the T-score. The analysis result was considered significant if p <0.05. Results: There was a significant difference between L4 BMD (p = 0.029) and femoral neck BMD (p = 0.014) in postmenopausal female patients with fracture and without fracture. However, there were no significant differences for other BMD regions (p> 0.5). Conclusion: BMD L4 and femoral neck values differ significantly in female patients with postmenopausal osteopenia with fracture and non-fracture.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.