Neurosifilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan invasi sawar darah otak oleh Treponema pallidum yang umumnya terjadi pada pasien sifiis koinfeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV). Neurosifilis umumnya terjadi pada sifilis tersier, tetapi dapat pula terjadi pada stadium lainnya, termasuk stadium sekunder. Diagnosis neurosifilis asimtomatik ditegakkan apabila didapatkan serum venereal disease research laboratory (VDRL) yang positif tanpa tanda dan gejala neurologis disertai satu dari karakteristik berikut pada pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS): (1) jumlah leukosit > 10/mm3; (2) protein total > 50 mg/dL; (3) hasil VDRL reaktif. Dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 35 tahun dengan sifilis sekunder koinfeksi HIV tanpa ditemukannya tanda dan gejala neurologis. Kecurigaan neurosifilis pada pasien ini disebabkan oleh kegagalan terapi pada sifilis sekunder, status HIV dengan jumlah CD4+ 106/mm3, dan serum VDRL 1:256. Diagnosis neurosifilis pada laporan kasus ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan LCS yang menunjukkan hasil VDRL yang reaktif, peningkatan jumlah leukosit dan protein total. Pasien ini diberikan penisilin G prokain 2,4 juta unit tanpa probenesid yang diberikan secara intramuskular selama 14 hari. Pada pasien sifilis koinfeksi HIV dapat dicurigai neurosifilis apabila ditemukan salah satu karakteristik berikut: (1) tidak terjadi penurunan titer VDRL setelah terapi benzatin penisilin; (2) serum VDRL/rapid plasma reagin (RPR) ? 1:32; (3) jumlah CD4+ < 350 sel/mm3. Kegagalan terapi pada sifilis sekunder dapat disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum pada sistem saraf pusat. Simpulan, dilaporkan satu pasien usia 35 tahun dengan neurosifilis asimtomatik yang diberikan terapi penisilin G prokain 2,4 juta unit tanpa probenesid selama 14 hari. Pemeriksaan serum VDRL pada bulan ketiga pasca terapi belum mengalami penurunan titer.
Subcorneal pustular dermatosis (SPD) is a rare, chronic, and recurrent pustular eruption characterized histopathologically by subcorneal pustules that contain neutrophils. SPD has been clearly reported conjunction with other diseases. Leprosy reactions are acute inflammatory process that immunologically driven on the chronic course of leprosy. Erythema nodosum leprosum (ENL) is a type II of leprosy reaction putatively can initiate SPD lesions. We report one case of concomitant SPD and ENL in borderline lepromatous leprosy-relapses. A 41-year-old man with the history of using multidrug therapy-multibacillary for leprosy presented with painful erythematous nodules on the trunk and extremities, accompanied by pustules on erythematous base on the face, arms, buttocks, and legs. There were thickening of both ulnar nerves with gloves and stocking hypesthesia. The bacterial index was 3+ and morphological index was 20%. Histopathological examination on the pustule revealed subcorneal pustules with exocytosis of neutrophils which supported the diagnosis of SPD. A possible immunologic mechanism has been suggested in the induction of the occurence both SPD and ENL.
Mikosis fungoides folikulotropik (MFF) merupakan varian dari mikosis fungoides (MF) dengan perjalanan klinis yang lebih agresif dan prognosis lebih buruk dibandingkan MF klasik. Facies leonina (FL) merupakan manifestasi klinis yang sangat jarang ditemukan pada MFF. CD20 dan CD79a merupakan pan B-cell markers yang sangat jarang ditemukan pada kasus cutaneous T-cell lymphoma (CTCL), termasuk di dalamnya MFF. Dilaporkan satu kasus MFF pada seorang laki-laki berusia 51 tahun dengan manifestasi klinis FL dan madarosis disertai papula folikel menyerupai lesi keratosis pilaris pada dada, punggung, kedua lengan, dan paha. Diagnosis MFF pada pasien ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologis sediaan biopsi kulit wajah yang menunjukkan gambaran folikulotropisme. Pada pemeriksaan imunohistokimia ditemukan fenotipe CD3 yang dominan, CD4, CD8, CD30, dan Ki-67 lebih dari 40% sel tumor. Penanda sel-B juga ditemukan positif pada beberapa sel yaitu CD20, CD79a, dan bcl-2. Setelah dua bulan diterapi dengan kortikosteroid topikal tidak didapatkan pendataran pada lesi FL. Pasien direncanakan pemberian regimen kemoterapi siklofosfamid, doxorubicin, vincristine, dan prednison. Mikosis fungoides folikulotropik dapat bermanifestasi klinis FL. Fenotipe CD20 dan CD79a pada kasus ini bukan merupakan cutaneous B-cell lymphoma karena fenotipe CD3, CD4, dan CD8 yang ditemukan lebih dominan. Folikulotropisme menyebabkan MFF kurang responsif terhadap skin-targeted therapies sehingga membutuhkan terapi yang lebih agresif. Kata kunci: facies leonina, mikosis fungoides folikulotropik, pan-B cell markers
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.