Latar Belakang. Status iodium merupakan penentu utama gangguan tiroid pada wanita. Wanita usia subur (WUS) merupakan kelompok populasi berisiko tinggi. Gangguan fungsi tiroid pada WUS akan meningkatkan risiko kehamilan dan berdampak negatif terhadap perkembangan anak. Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan kandungan iodium garam rumah tangga dan status iodium WUS di Kabupaten Wonogiri. Metode. Studi potong lintang dilakukan di Kabupaten Wonogiri. Total 170 responden wanita berusia 15-49 tahun, dilakukan pengukuran terhadap kandungan iodium garam rumah tangga, konsentrasi iodium urine (KIU), dan kadar thyroid stimulating hormone (TSH) serum. Analisis kandungan iodium garam rumah tangga dilakukan dengan metode titrasi iodometrik, KIU dengan metode ammonium persulfate digestion, dan kadar TSH serum dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil. Analisis 170 sampel menunjukkan cakupan garam beriodium rumah tangga yang memadai yaitu 53,5 persen. Median KIU WUS 178,5 μg/L, dengan proporsi nilai KIU < 100 μg/L dan < 50 μg/L masing-masing 17,7 persen dan 7,1 persen. Kandungan iodium garam rumah tangga berhubungan bermakna dengan KIU WUS (p<0,05) dan tidak berhubungan bermakna dengan kadar TSH serum WUS (p>0,05). Kesimpulan. Cakupan garam beriodium tingkat rumah tangga di Kabupaten Wonogiri di bawah sasaran universal salt iodization (USI) (cakupan ≥ 90 persen). Nilai KIU < 100 μg/L dan < 50 μg/L masing-masing kurang dari 50 persen dan 20 persen, menunjukkan asupan iodium memadai. Kandungan iodium garam rumah tangga berpengaruh terhadap tingkat asupan iodium.
Latar Belakang. Hipertiroid dapat mengakibatkan percepatan detak jantung, penurunan berat badan, peningkatan nafsu makan, dan kecemasan. Hipertiroidisme lebih sering terjadi pada wanita. Pajanan asap rokok, stres psikologi, penggunaan kontrasepsi hormonal, umur, periode melahirkan, dan konsumsi iodium pada tahap tertentu dapat memicu hipertiroid. Tujuan. Penelitian ini mencari hubungan antara status merokok, tingkat stres, penggunaan kontrasepsi hormonal, umur, dan penggunaan garam beriodium rumah tangga dengan kejadian hipertiroid pada wanita usia subur (WUS). Metode. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain kasus-kontrol pada pasien baru WUS berusia 15–49 tahun di Klinik GAKI Magelang tahun 2013–2014. Populasi penelitian terdiri atas kelompok kasus yaitu 51 pasien WUS didiagnosis hipertiroid. Kelompok kontrol yaitu 102 WUS yang didiagnosis sehat dan tidak mengalami gangguan fungsi tiroid (eutiroid/normal). Data dikumpulkan melalui wawancara responden disertai uji cepat kandungan iodium garam rumah tangga. Uji Chi-square dilakukan untuk mendapatkan hubungan bivariat antara variabel independen dan kejadian hipertiroid pada responden. Analisis uji regresi logistik dilakukan untuk mendapatkan hubungan variabel dependen secara bersamaan terhadap kejadian hipertiroid. Hasil. Wanita usia subur dengan stres berat mempunyai risiko hipertiroid 2,4 kali daripada WUS dengan stres ringan (OR=2,435; 95% CI=1,031–5,755; p=0,043; p<0,05). Wanita usia subur bukan pengguna kontrasepsi hormonal memiliki risiko hipertiroid 3,5 kali dibandingkan dengan WUS pengguna kontrasepsi hormonal (OR=0,284; 95% CI=0,114–0,709; p=0,007; p<0,05). Kesimpulan. Stres berat berhubungan dengan risiko hipertiroid pada WUS. Wanita usia subur (WUS) hendaknya melakukan manajemen stres sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap hipertiroid dan juga pencegahan kekambuhan hipertiroid.
Background. Iodine deficiency disorders (IDD) remained a public health problem. Ponorogo was an IDD endemic area with prominent cases of mental retardation. Despite the lack of iodine intake, exposure to environmental heavy metals can exacerbate the effects of iodine deficiency. Objective. To describe iodine status of school children and distribution of environmental iodine and heavy metals including mercury (Hg), lead (Pb), and cadmium (Cd) in the endemic IDD hill area of Ponorogo. Method. This research is a cross-sectional study conducted in two villages in IDD endemic areas in Ponorogo, namely Dayakan and Watubonang villages, in 2011. A total of 127 urine samples of primary-school-age children were taken and analyzed for urinary iodine excretion (UIE). A total of 29 soil samples and 87 water samples were taken from the study site to measure the concentration of iodine and heavy metals Hg, Pb, and Cd. Types of water source, altitude, and land use, both soil and water source were recorded. Results. The median (min-max) UIE was 130 (14 –1187 µg/L) within the range of adequate population iodine intake according to WHO (100-199 µg/L), while the percentage of UIE <100 µg/L was still around 33.07 percent. The concentration of iodine in the soil was 33.777 mg/kg (6.640 –108.809), and the concentration of iodine in the water was 8.0 µg/L (0-49). The concentration of Hg in the soil was 68.64 ppb (7.43–562.05), and the concentration of Hg in the water was 0.00 ppb (0.00-23.24). The concentration of Pb in the soil was 3.273 ppm (0.000–25.227), while Pb was not identified in the water. The Cadmium was not detectable both in the soil and water. Conclusion. Iodine deficiency is still a public health problem in Dayakan and Watubonang villages. The environment of the endemic IDD area in Ponorogo was not completely poor in iodine, but iodine was not evenly spread and mobilized. There was a risk of environmental heavy metal exposure from Hg in the soil or water and Pb in the soil. Mercury in the environment can cause health problems due to the inhibition of the use of iodine in the thyroid gland.
Latar Belakang. Pengaruh kelebihan iodium jangka panjang dari potassium iodide (KI) terhadap kadar thyroid stimulating hormone (TSH), hormon tiroid, dan thyroid peroxidase antibody (TPOAb) masih belum jelas. Tujuan. Mengetahui pengaruh pemberian dosis tinggi KI secara oral selama 12 minggu terhadap fungsi tiroid, TPOAb, dan berat badan (BB) pada tikus jantan galur Wistar hipotiroid. Metode. Tiga puluh tikus jantan galur Wistar dengan berat rata-rata 200–250 g dibagi menjadi lima kelompok. Empat kelompok diberikan PTU 54 mg/kg BB/hari secara oral selama 14 hari untuk menginduksi hipotiroid dan satu kelompok kontrol diberikan akuades. Pada empat kelompok tikus hipotiroid, satu kelompok diberikan akuades 2 ml/hari, dan tiga kelompok diberikan KI dosis: 19,8 µg I/hari, 39,6 µg I/hari, dan 79,2 µg I/hari secara oral selama 12 minggu. Kadar TSH, fT4, TPOAb, dan BB diukur sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil. Rerata kadar TSH sesudah pemberian KI dosis 39,6 µg I/hari secara oral selama 12 minggu lebih tinggi dibandingkan kontrol (p<0,05). Sedangkan rerata kadar TSH sesudah pemberian KI dosis 79,2 µg I/hari lebih rendah dibandingkan kontrol (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata kadar TPOAb antara kelompok perlakuan dengan kontrol (p>0,05). Kesimpulan. Pemberian KI dosis 19,8 µg I/hari secara oral selama 12 minggu menyebabkan eutiroid, pemberian KI dosis 39,6 µg I/hari menyebabkan hipotiroid subklinis, dan pemberian KI dosis 79,2 µg I/hari menyebabkan hipertiroid subklinis pada tikus jantan Wistar hipotiroid.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.