ABSTRAKProduktivitas tanaman jahe (Zingiber officinale) di Indonesia umumnya masih rendah, ini disebabkan beberapa faktor antara lain karena pemupukan yang kurang optimal, kondisi lingkungan tumbuh, baik iklim maupun kesuburan tanah, serta teknik budidaya belum mengacu kepada teknik budidaya anjuran. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian kapur dan kompos terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jahe (Z.
<p class="IsiabstrakIndonesia"><span lang="IN">Benih merupakan salah satu aspek budidaya yang mempunyai peranan penting. Untuk mendukung pertumbuhan benih dan peningkatan produksi cengkeh, pemberian unsur hara sangat diperlukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh frekuensi dan konsentrasi pemberian air kelapa terhadap pertumbuhan benih cengkeh. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Balittro Laing Solok Sumatera Barat, sejak Maret sampai September 2014. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 12 perlakuan konsentrasi air kelapa dan frekuensi pemberian yaitu (1) tanpa air kelapa/air dan frekuensi pemberian 1 kali (0/1), (2) 0/2, (3) 0/3, (4) konsentrasi air kelapa 200 ml l<sup>-1</sup>/1, (5) 200 ml l<sup>-1</sup>/2, (6) 200 cc l<sup>-1</sup>/3, (7) 400 ml l<sup>-1</sup>/1, (8) 400 ml l<sup>-1</sup>/2, (9) 400 ml l<sup>-1</sup>/3, (10) 600 ml l<sup>-1</sup>/1, (11) 600 ml l<sup>-1</sup>/2, (12) 600 ml l<sup>-1</sup>/3; interval waktu pemberian 2 minggu, 10 tanaman per plot diulang 3 kali. Variabel yang diamati meliputi pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, panjang akar, jumlah akar utama) serta biomass (bobot basah dan kering batang, daun dan akar). Hasil penelitian menunjukkan pemberian air kelapa konsentrasi 600 ml l<sup>-1</sup> dengan frekuensi pemberian satu kali, menghasilkan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan vegetatif benih cengkeh.</span></p>
ABSTRAKEfektivitas ekstrak etanol beberapa tanaman obat sebagai bahan baku fungisida nabati untuk mengendalikan Colletotrichum gloeosporioides penyebab penyakit Antracnose pada tanaman buah naga, telah dilakukan di Laboratorium Parasitologi KP Balittro Laing Solok, sejak Agustus sampai Desember 2014. Penelitian menggunakan dua metode (a) Penekanan diameter koloni dengan menggunakan media Potato Dextrose Agar (PDA), (b) Penekanan biomassa koloni dengan menggunakan media Potato Dextro Broth (PDB). Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap pola faktorial masing-masing empat ulangan. Perlakuan yang diuji adalah ekstrak etanol dari sirih-sirihan, sambiloto dan gambir dengan empat tingkat kosentrasi (0,5; 1; 2 dan 3%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ekstrak etanol tanaman obat efektif sebagai fungisida nabati untuk mengendalikan jamur C. gloeosporioides. Pada kosentrasi 1% ekstrak sirih-sirihan dan sambiloto 2% mampu menekan pertumbuhan diameter dan biomassa koloni C. gloeosporioides 100% lebih efektif dibanding ekstrak gambir dengan penekanan diameter koloni 91,26% dan biomassa koloni 83,74% pada tingkat kosentrasi yang sama.Kata kunci: Efektivitas, ekstrak tanaman obat, pengendalian, Colletotrichum gloeosporioides ABSTRACT Effectivity of ethanol extract of some medicinal plants raw material as botanical fungiside for controlling Colletotrichum gloeosporioides disease-causing antracnose on dragon fruit plants, has been carried out in the Laboratory of Parasitology Research Station of Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute Laing Solok from August to December 2014. The study was conducted in two methods (a) The Suppression of colony diameter using media Potato Dextrose Agar (PDA), (b) The Suppression of colony biomass using media Potato Dextrose Broth (PDB
<p>ABSTRAK<br />Kecubung (Datura metel L.) adalah salah satu tanaman obat<br />tradisional yang berpotensi sebagai sumber insektisida botanis, namun<br />sampai saat ini belum banyak diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk<br />mengetahui efektivitas tanaman kecubung sebagai bahan insektisida<br />botanis, terhadap serangga Aspidomorpha milliaris F (Coleoptera:<br />Crysomelidae). Penelitian dilakukan di KP. Laing Solok mulai bulan April<br />sampai Oktober 2012, dengan menggunakan rancangan acak lengkap (9<br />perlakuan dan 3 ulangan). Perlakuan yang diuji adalah ekstrak daun<br />kecubung pada konsentrasi 250, 500, 750, 1000, 1500, 2000, 2500, dan<br />3500 ppm, serta 0 ppm sebagai kontrol. Perlakuan diaplikasikan secara<br />kontak maupun non kontak. Serangga uji yang dipakai pada setiap<br />perlakuan adalah 20 ekor larva instar III, IV, V, VI, dan 10 ekor imago.<br />Parameter pengamatan meliputi persentase kematian, penurunan volume<br />makan larva dan imago, fekunditas, serta periode prereproduktif imago.<br />Hasil penelitian menunjukkan ekstrak daun kecubung yang diaplikasikan<br />secara kontak lebih toksik dibandingkan dengan non kontak. Ekstrak daun<br />kecubung kosentrasi 3500 ppm bersifat toksik, menolak makan, dan<br />mengurangi fekunditas A. milliaris. Tingkat kematian larva A. milliaris<br />instar III, IV, V, dan VI berkisar 28,46-39,51%, sedangkan penurunan<br />volume makan sebesar 10,44-15,76%. Fekunditas A. milliaris menurun<br />21,77%. Oleh karena itu, ekstrak daun kecubung dapat dikembangkan<br />sebagai insektisida botanis.<br />Kata kunci: kecubung, insektisida botanis, Aspidomorpha milliaris F.</p><p>ABSTRACT<br />Amethyst (Datura metel L) is one of a potential plants used as raw<br />material of botanical insecticides, but until now it had not been prived.<br />The purpose of the research is to determine the potential of the amethyst<br />as a botanical insecticide to Aspidomorpha milliaris F. (Coleoptera:<br />Crysomelidae). The research carried out in Laing Solok Experimental<br />Garden from April to October 2012, in a completely randomized design (9<br />treatments and 3 replications). The treatments were amethyst leaf aqueous<br />extract at concentrations of 250, 500, 750, 1000, 1500, 2000, 2500, 3500<br />ppm, and 0 ppm as a control. The treatments were applied contact and<br />non-contact. Test insects used in each treatment was 20 larvae instar III,<br />IV, V, VI and 10 imagos. Observation parameters include the mortality<br />percentage and eating volume decrease of larvae and imago, fecundity,<br />and imago prereproductive period. The results showed that the leaf extract<br />amethyst which were applied contactly was more toxic than the non-<br />contact. The amethyst leaf extracts at 3500 ppm concentration are toxic. It<br />also could refuse to eat and reduce fecundity of A. milliari. The mortality<br />rate for larval instar III, IV, V, and VI ranged 28.46-39.51%, while a<br />decrease of eat volume ranged 10.44-15.76%. The fecundity of A.<br />milliaris decreased 21.77%. Therefore, the leaf amethyst extract can be<br />developed as a botanical insecticide.<br />Keywords: amethyst, botanical insecticides, Aspidomorpha milliaris, F</p>
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.