Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis dimana terapi pengobatannya dilakukan seumur hidup dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Bervariasinya penggunaan terapi insulin atau kombinasi insulin dengan OHO (Obat Hipoglikemik Oral) pada pasien DM tipe 2 mengakibatkan adanya perbedaan dalam biaya dan efektivitas terapinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis terapi insulin dan kombinasi insulin dengan antidiabetik oral yang digunakan dan total biaya medis langsung yang dikeluarkan oleh pasien tiap bulannya serta mengetahui terapi insulin yang paling cost-effective pada pasien DM tipe 2 di rawat jalan RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan secara restropektif dari unit catatan rekam medis pasien DM tipe 2 rawat jalan di RSUP Sanglah Denpasar dari bulan Februari sampai Mei 2017. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 70 pasien. Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan menghitung biaya medis langsung. Efektivitas terapi diukur berdasarkan hasil kadar GDP mencapai target selama 3 bulan terapi. Metode ACER digunakan untuk menganalisa jenis terapi insulin yang paling cost-effective. Hasil penelitian menunjukkan jenis terapi insulin atau kombinasi insulin dengan OHO yang digunakan untuk pasien DM tipe 2 beserta total biaya medis langsung tiap bulannya yaitu, insulin tunggal aspart sebesar Rp 381.857,00, kombinasi insulin aspart dengan insulin glargine dan kombinasi insulin glulisine dengan insulin glargine menunjukkan biaya yang sama sebesar Rp 596.057,00, kombinasi insulin glargine dengan metformin sebesar Rp 274.880,00 sedangkan kombinasi insulin aspart dan insulin glargine dengan metformin menunjukkan biaya yang sama dengan kombinasi insulin glusiline dan insulin glargine dengan metformin yaitu sebesar Rp 603.737,00. Berdasarkan perhitungan ACER, terapi insulin yang paling cost-effective adalah kombinasi insulin glargine dengan metformin sebesar Rp 4,32 persentase efektivitas terapi.
Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif. Bervariasinya penggunaan terapi insulin tunggal atau kombinasi insulin dengan antidiabetik oral pada pasien DM tipe 2 dengan kontrol glukosa darah yang belum adekuat akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam biaya dan efektivitas terapinya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan secara prospektif dan studi follow up dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2017. Subyek penelitian adalah 70 pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi. Data dianalisis untuk mengetahui jenis terapi dan biaya medis langsung. Efektivitas terapi dinilai dari tercapainya target HbA1c <7% setelah follow up 3 bulan terapi dan tidak munculnya efek samping obat (hipoglikemia). Metode ACER digunakan untuk menganalisa jenis terapi insulin yang paling cost-effective. Berdasarkan data yang didapatkan dari rekam medis RSUP Sanglah Denpasar, jumlah pasien DM tipe 2 lebih banyak diderita oleh laki-laki yaitu 47 orang dengan presentase 67,14%, umur >45 tahun yaitu 63 orang dengan presentase 90,00%. Jumlah pasien DM tipe 2 yang mencapai target GDP yaitu 34 orang dengan presentase 48,57%, mencapai target HbA1C yaitu 60 orang dengan presentase 85%. Jumlah pasien DM tipe 2 lebih banyak yang menggunakan terapi kombinasi insulin aspart dengan insulin glargine yaitu 42 orang dengan presentase 60%. Total biaya medis langsung yang menunjukkan jumlah paling murah adalah penggunaan terapi insulin glargine dengan metformin yaitu Rp. 274.880,00. Efektivitas terapi yang lebih besar ditunjukkan oleh jenis terapi kombinasi insulin glargine dengan metformin yaitu 63,63%. Efektivitas biaya yang lebih rendah ditunjukkan oleh jenis terapi kombinasi insulin glargine dengan metformin yaitu Rp. 4,32 persentase efektivitas.
DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan karakteristik penurunan fungsi sel beta pankreas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas penggunaan obat antidiabetik oral tunggal dengan kombinasi pada pasien DM tipe 2 di UPT. Puskesmas Dawan II Kabupaten Klungkung. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dan pengumpulan data dilakukan secara prospektif. Penelitian dilakukan dari bulan November 2015-Pebruari 2016 di UPT. Puskesmas Dawan II Kabupaten Klungkung. Penelitian dilakukan terhadap 25 subjek penelitian dengan terapi tunggal glibenklamid dan 25 subjek penelitian dengan terapi kombinasi glibenklamid dengan metformin. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna dari efektivitas penggunaan obat antidiabetik oral tunggal glibenklamid dengan kombinasi glibenklamid dengan metformin pada pasien DM tipe 2 di UPT. Puskesmas Dawan II Kabupaten Klungkung periode November 2015-Pebruari 2016 (p = 0.114).
A group of coagulase-negative staphylococci (CoNS) was historically classified as a nonpathogenic bacteria. Over the last few decades, nosocomial infections caused by CoNS as opportunistic pathogens have increased and become one of the major nosocomial pathogens. The aim of this study was to identify the relationship between the use of an antibiotic agent for CoNS in Bali’s regional public hospital and the development of antibiotic resistance during 3 years period. This study was a retrospective ecological study of antibiotic resistance and antibiotic consumption secondary data collected prospectively. It was conducted over a three years period of inpatient data. Susceptibility of CoNS to antibiotics was obtained from the hospital antibiogram of all isolates from 2017 to 2019. Sensitivity results in antibiogram were based on the standards provided by the Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) with the disk diffusion method. Antibiotic consumption in DDDs/100 bed-days. The relationships between DDDs/100 bed-days of each antibiotic and rates of antibiotic resistance of each resistant strain of CoNS were tested using Spearman correlation and logistic regression. There was no significant correlation between antibiotic consumption (DDD) and the percentage of antibiotic resistance among the three CoNS species (p>0.05). However, this study found there was an inverse relationship between DDD and antibiotic resistance in Staphylococcus hominis species (OR = 0.063; CI [0.004-0.915]; p=0.043). We conclude that no significant correlation between antibiotic consumption and antibiotic resistance of the 3 CoNS species. There needs to be further research to identify antibiotic consumption, antibiotic resistance and other factors affecting antibiotic resistance.
Jatiluwih merupakan salah satu tujuan wisata andalan Kabupaten Tabanan Bali. Beras merah hasil pertanian dari Jatiluwih terkenal sebagai beras merah organik bermutu tinggi. Beras merah dikenal memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi, sehingga komoditi tesebut sangat potensial untuk dikembangkan menjadi sediaan body butter. Dengan dasar pertimbangan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji mutu fisik dan kenyamanan penggunaan melalui uji hedonik body butter maserat beras merah. Formulasi body butter dilakukan dengan membuat empat jenis formula body butter beras merah (F1, F2, F3, F4). Uji mutu fisik yang dilakukan meliputi uji organoleptis, pH, daya serap, daya sebar, homogenitas, dan daya lekat. Uji hedonik dilakukan terhadap aroma, penampilan fisik, tekstur, dan kenyamanan saat menggunakan body butter maserat beras merah. Kenyamanan saat penggunaan body butter meliputi: kemampuan melembabkan kulit, kelengketan saat digunakan, tingkat kesulitan saat dibersihkan, dan kemampuan body butter menyerap dengan baik ke dalam kulit. Hasil penelitian menunjukkan setiap Formula (F1, F2, F3, F4) memiliki kestabilan yang baik. Berdasarkan uji hedonik didapatkan bahwa formula F3 adalah formula yang terbaik dengan total nilai 100 (dari nilai tertinggi 120). Berdasarkan uji mutu fisik, formula yang terbaik adalah formula F3 karena memiliki daya serap paling tinggi (5,15 ml), daya sebar yang baik (6,12 cm) dan daya lekat yang baik (1,48 detik) yang tidak berbeda bermakna dengan daya lekat produk pembanding.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek yang dimiliki oleh ekstrak Bunga kenanga (Cananga odorata Hook.F & TH) terhadap penurunan kadar SGOT dan SGPT tikus yang diinduksi Carbon Tetra Chloride dan untuk mengetahui seberapa besar pemberian ekstrak Bunga kenanga (Cananga odorata Hook.F & TH) dapat menghambat kerusakan hati dengan mengamati gambaran histopatologi pada tikus yang diinduksi oleh Carbon Tetra Chloride. Dosis yang terbukti efektif sebagai hepatoprotektor yaitu dosis 400mg/kg dan dosis 800mg/kgBB dengan p<0,05 serta ditandai dengan penurunan kadar SGOT dan SGPT. Sedangkan hasil histopatologi hepar tikus, menunjukkan rerata jumlah nekrosis yang berbeda antara kelompok satu, kelompok dua, kelompok tiga, dan kelompok empat secara berturut-turut menggunakan uji kemaknaan One Way ANOVA 16,7 (p=0,001), 32,75 (p=0,001), 28,8 (p=0,001), 15,5 (p=0,001), 12 (p=0,001). Dilanjutkan dengan uji komparasi menggunakan One Way ANOVA untuk melihat perbedaan yang bermakna antar kelompok perlakuan, sehingga diperoleh hasil P1:P2 (p=0,001), P1:P3 (p=0,001), P1:P4 (p=0,157), P1:P5 (p=0,001). Hasil penelitian rerata nekrosis menunjukkan bahwa ekstrak etanol bunga kenanga bali dosis 200 mg/kg BB (P3) belum efektif sebagai hepatoprotektor. Dosis yang terbukti efektif sebagai hepatoprotektor adalah dosis 400 mg/kg BB (P4) karena memiliki efek yang sama seperti obat hepatoprotektor yang beredar di pasaran (P1) dan dosis 800 mg/kg BB. Namun, setelah dianalisis berdasarkan histopatologi hepar tikus, dosis 800 mg/kg BB menunjukkan hasil yang lebih baik.
Antibiotic resistance at Intensive Care Unit (ICU) has been impacted by several factors, including high utilization and selectivity. The consumption rate and its selective pressure appear very extensive, with regular opportunities for cross-transmissions. In addition, ICU patients are susceptible to carriage acquisition and subsequent infections with high resistant bacteria. Therefore, this study investigates the relationship between the use and resistance of antibiotics in the ICU of a regional public hospital. The results potentially serve as confirmations for planning programs necessary to control ICU-related antibiotic consumption levels. This ecological analysis was also based on inpatient retrospective data from a regional public hospital in Bali from 2017–2019. Subsequently, the amount of intake expressed as daily doses (DDDs) per 100 patient days, and percentage of resistant bacterial isolates were examined using Spearman rank correlation. The largest segment of the antibiotics was determined by drug utilization 90% (DU90%) and the phenotypic class was defined by Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Similarly, the most predominantly applied antibiotics were levofloxcacin, ceftriaxone, ampicillin, cefotaxime, ciprofloxacin, ampicillin-sulbactam and gentamycin. Meanwhile, the major gram-negative bacteria were Acinetobacter baumannii, Enterobacter cloacae, Enterococcus faecalis, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia and Pseudomonas aeruginosa. Furthermore, 5 multi drug resistant (MDR) bacteria were observed, including A. baumannii, E. cloacae, E. coli, K. pneumonia and P. aeruginosa, while A. baumannii and E. cloacae occurred as carbapenem resistant (CR) and extended-spectrum cephalosporin-resistant (ESCR), respectively. However, only E. coli showed a negative significant correlation between antibiotic utilization and the percentage of ICU bacterial sensitivity (r=–0,543; p=0,024). Therefore, higher consumption of antibiotics decreases its percentage susceptibility.
COVID-19 atau Coronavirus Disease 2019 merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. COVID-19 dengan kehamilan sangat meningkatkan risiko Tromboemboli Vena (TEV), sehingga diperlukan terapi antikoagulan. Heparin jenis low molecular weight heparin atau LMWH dipilih untuk kehamilan dan menyusui. Tujuan dari penelitian ini yaitu memuat informasi mengenai pemberian profilaksis TEV berupa LMWH pada ibu hamil dengan COVID-19. Metode yang digunakan adalah studi kajian pustaka yang mengumpulkan dan menelaah informasi dari beberapa jurnal atau pedoman terkait dosis pemberian, efek samping, dan rekomendasi pemberian LMWH pada pasien COVID-19 dengan kehamilan oleh badan kesehatan dunia. Hasil kajian yang telah dilakukan, dosis LMWH sebagai profilaksis TEV adalah 4000 IU (40 mg) melalui subkutan sekali sehari. Efek samping penggunaan LMWH memiliki efek yang tidak diinginkan, diantaranya trombositopenia, hipersensitivitas pada kulit, nekrosis pada kulit, pendarahan, osteoporosis dan fraktur. Dalam penggunaannya untuk ibu hamil dengan resiko TEV akibat COVID-19, LMWH memberikan manfaat yang lebih besar. LMWH berperan penting dalam terapi antikoagulan yang dibutuhkan dalam pengobatan modern. Penggunaan LMWH pada pasien COVID-19 dengan kehamilan, harus mempertimbangkan rasio manfaat dan efek samping agar tidak membahayakan kondisi ibu dan janin.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.