Latar belakang: Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah yang terjadi pada ibu hamil dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam satu hari dan terjadi terus menerus. Hiperemesis terjadi pada 0,5 hingga 2% kehamilan. Hiperemesis terjadi sebagai interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural. Hiperemesis paling banyak terjadi pada trimester 1, namun dapat berlanjut pada trimester 2. Hiperemesis jika tidak ditangani dapat menyebabkan gangguan pada ibu hamil dan janin.Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan case control dengan subjek 44 ibu hamil yang diambil dengan cara purposive sampling. Data indeks massa tubuh (IMT) didapatkan melalui pengukuran antropometri, data asupan diperoleh melalui wawancara semi-quantitative food frequency questionnaire. Analisis bivariat menggunakan uji chi square dan fisher exact.Hasil: Persentase asupan karbohidrat dan lemak jenuh lebih tinggi pada kelompok hiperemesis (4,5% ; 18,18%) daripada kelompok tanpa hiperemesis (0%; 4,5%). Tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi sebelum kehamilan, asupan karbohidrat, protein, lemak jenuh, asam lemak omega 3, asam lemak omega 6, dan vitamin B6 dengan hiperemesis gravidarum (p> 0,05) Simpulan: Status gizi sebelum hamil, asupan karbohidrat, protein, lemak jenuh, asam lemak omega 3, asam lemak omega 6, dan vitamin B6 bukan merupakan faktor risiko terjadinya hiperemesis gravidarum pada ibu hamil di Semarang.
Background: The increasing prevalence of adolescents obesity in the last decade have an impact on the increased prevalence of adolescents metabolic syndrome (MetS grades of Nasima and Kesatrian Junior High School in Semarang. Blood pressure (BP) and waist circumference (WC) measurements, as well as blood samples for measurement of fasting blood glucose (FBG), triglyceride (TG) and HDL cholesterol (HDL-C) were conducted to determine the number of risk factors experienced by the subject. Diet quality was measured through assessment of food consumption using a food frequency questionnaire (FFQ). Pearson and Spearman's test was used to determine the correlation between diet quality and MetS risk factors. Results: The majority of obese adolescents (96.5%) had a low-quality of diet. There were 31.6% subjects experienced pre-metabolic syndrome and 68.4% had MetS, with the prevalence of MetS was higher in male subjects. The diet quality, variety, adequacy scores and fi ber intake of pre-metabolic syndrome group were higher than MetS group. Variety and adequacy scores had signifi cant negative correlation with p=0.004; p=0.006, respectively
Background:Nutritional status is a measure of a person's body condition that can be seen from the food consumed and the use of nutrients in the body. Skipping breakfast and consuming high calorie snack foods can lead to overweight and obesity. The aim of this research was to know the correlation between frequency of breakfast and snack consumption with BMI-for-age Score in elementary school children. Confounding variables in this research are physical activity and energy intake.Method:This was an observational research with cross-sectional study design. The research was conducted in SDN Tancep 1 Gunungkidul Regency involving 67 subjects with Simple Random Sampling method. Frequency of breakfast data was obtained through interviews and was calculated based on subject’s frequency of breakfast in a week. Snack consumption and energy intake data obtained through food frequency questionnaire (FFQ). BMI-for-age score were obtained from the measurement of body weight and height, and physical activity data using physical activity record form. Data were analyzed by rank Spearman.Result:Median for frequency of breakfast was 4.00 times/week. Median for snack consumption and physical activity were 315 and 2030 kcal. The mean BMI-for-age score was -0.23±1.52. There were significant correlations between frequency of breakfast (p=0,021), snack consumption (p=0,001), physical activity (p=0,001), and energy intake (p=0,001) with BMI-for-age score. Multivariate analysis showed that 57,3% BMI-for-age score was influenced by snack consumption, physical activity, and energy intake.Conclusion: BMI-for-age score was described as 57,3% by snack consumption, physical activity, and energy intake.
Latar Belakang: Kelelahan pada aktivitas anaerobik terjadi karena aktivitas dengan intensitas tinggi yang membutuhkan energi cepat dalam waktu yang singkat. Jika kelelahan terjadi pada atlet terus menerus maka performa atlet dapat menurun. Buah semangka merupakan salah satu buah yang banyak mengandung zat sitrulin yang dapat membantu menunda kelelahan pada aktivitas anaerobik. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai kelelahan anaerobik atlet sepakbola yang diberikan buah semangka merah dan yang tidak diberikan buah semangka merah. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dengan rancangan post test only with control group design. Subjek penelitian adalah 20 orang atlet laki-laki usia 15-18 tahun yang memenuhi kriteria inklusi, dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol diberikan plasebo berupa sirup bebas gula dan kelompok perlakuan diberikan buah semangka dengan dosis 72 gram. Buah semangka diberikan 60 menit sebelum tes dilakukan. Pengukuran kelelahan anaerobik menggunakan tes Wingate dinyatakan dalam nilai Anaerobic Fatigue (AF).Hasil: Pada karakteristik subjek tidak ada perbedaan umur dan status gizi (p>0,05) namun terdapat perbedaan persen lemak tubuh (p<0,05). Sebagian besar subjek memiliki status gizi normal dan persen lemak tubuh baik. Pada asupan sarapan pagi tidak ada perbedaan rerata asupan energi, lemak, karbohidrat, dan protein sarapan (p>0,05). Berdasarkan uji Independent-t, terdapat perbedaan nilai kelelahan anaerobik pada kelompok perlakuan yaitu sebesar 80,04% sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 82,71%. Kesimpulan: Terdapat perbedaan nilai kelelahan anaerobik atlet sepakbola yang diberikan buah semangka merah dan yang tidak diberikan buah semangka merah.
Low glycemic index formula are recommended for patients with hyperglycemia. Although tempeh and jicama flour contains fiber, arginine, glycine, inulin and alpha-linolenic acid that can be used as ingredients for enteral formulas of hyperglycemic patients, the evidence in reducing the glycemic index has not been proven. This study analyzed the differences of glycemic index (GI), glycemic load (GL) and acceptability of enteral formula based on tempeh flour and jicama flour for hyperglycemic patients. An experimental study with a completely randomized single factor design, by using the three ratios of tempeh flour to jicama flour A (2:3), B (1:1) and C (5:3). The glycemic index test used a one-shot case study model on 30 women selected. Acceptability test (hedonic test) was held on 30 semi-trained panelists. Data was analyzed using the Kruskal Wallis test, Mann Whitney, and independent t-test. The GI of formulas A, B and C were 101.15, 96.21 and 41.06. The GL of three formulas were 114, 86, and 41. Panelists like the color, flavor, and texture of formulas A, B and C, while the taste of the formula was considered to be neutral. The results showed there were significant differences between the GI and the flavor of formulas A and C (p = 0.002), (p = 0.011) and B and C (p = 0.013), (p = 0.036). There were no differences between color, flavor and texture of the formulas (p > 0.005). There are significant differences of the GI and the acceptability in taste attributes between formulas A, B and C. Formula C has the lowest GI and GL but requires improvement of taste attribute.
ABSTRAKLatar belakang: Obesitas menjadi masalah kesehatan yang penting dan semakin meningkat prevalensinya pada anak maupun remaja. Salah satu konsekuensi dari obesitas adalah meningkatnya risiko terhadap sindrom metabolik, yang prevalensinya cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kasus obesitas. Obesitas serta sindrom metabolik yang berkembang pada masa anak dan remaja dapat berlanjut sampai dewasa. Asupan makan khususnya asupan lemak jenuh dan serat merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh kuat terhadap terjadinya obesitas pada remaja. Tujuan: Mengetahui asupan lemak jenuh dan serat pada remaja obesitas dan kaitannya dengan sindrom metabolik. Metode: Desain penelitian adalah cross-sectional dengan melibatkan murid kelas VII dan VIII di SMP Nasima dan SMP Kesatrian 2 Semarang, baik murid laki-laki maupun perempuan, berumur 13-15 tahun, berjumlah 57 remaja obesitas yang dipilih secara konsekutif. Pada subjek dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol HDL, trigliserida, dan glukosa darah puasa; pengukuran tekanan darah; pengukuran antropometri; dan wawancara asupan makan. Analisis bivariat menggunakan uji korelasi Pearson atau Spearman untuk mengetahui hubungan asupan lemak jenuh dan serat dengan beberapa komponen sindrom metabolik. Hasil: Didapatkan 46 subjek (80,7%) mengalami sindrom metabolik dan 11 subjek (19,3%) mengalami pra sindrom metabolik. Asupan lemak jenuh tidak berhubungan dengan lingkar pinggang, kadar kolesterol HDL, trigliserida, glukosa darah puasa maupun tekanan darah. Asupan serat berhubungan negatif dengan kadar trigliserida darah (r=-0,340; p=0,01). Simpulan: Asupan lemak jenuh tidak berhubungan dengan lingkar pinggang, kadar kolesterol HDL, trigliserida, glukosa darah puasa maupun tekanan darah. Ada hubungan antara asupan serat dengan kadar trigliserida darah. Asupan serat memberikan kontribusi penting terhadap metabolisme lemak.KATA KUNCI: asupan lemak jenuh, asupan serat, obesitas, sindrom metabolik, remaja
Latar Belakang: Hiperkalsiuria merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Gaya hidup konsumsi tinggi kafein dapat menjadi faktor pemicu tingginya pengeluran kalsium dalam urin. Kafein dapat meningkatkan kadar kalsium dalam urin melalui penurunan reabsorbsi kalsium di ginjal.Tujuan: Mengetahui hubungan asupan kafein dengan kalsium urin pada laki-laki dewasa awalMetode: Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan desain crossesctional. Sebanyak 46 laki-laki dewasa menjadi subjek dalam penelitian ini dan diperoleh melalui consecutive sampling. Data riwayat asupan makanan diperoleh melalui wawancara menggunakan food recall 24 jam selama 4 hari yang meliputi asupan kafein, asupan protein, asupan fosfor, asupan kalsium dan asupan natrium. Kadar kalsium urin diukur dengan metode ortho-cresolphtalein complexone (OCPC) pada hari ke-5 setelah dilakukan wawancara food recall 24 jam. Analisis bivariat menggunakan uji Pearson Product Moment atau uji Rank Spearman. Hasil: Sebanyak 2,2% subjek memiliki kadar kalsium urin tinggi. Rata-rata asupan kafein subjek 95,74 ± 101,67. Menurut hasil analisis, asupan kafein tidak memiliki hubungan dengan kadar kalsium urin (p>0,05). Namun, asupan protein (r= 0,420) dan asupan fosfor (r=0,356) memiliki hubungan bermakna dengan kadar kalsium urin (p<0,05).Kesimpulan: Asupan kafein tidak berhubungan dengan kadar kalsium urin pada laki-laki dewasa awal
Latar Belakang: Produksi ASI dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya tingkat kecemasan dan asupan zat gizi ibu. Salah satu asupan zat gizi yang dapat mempengaruhi produksi ASI yaitu asupan vitamin A.Tujuan: Penelitian bertujuan untuk melihat hubungan asupan vitamin A dan tingkat kecemasan dengan kecukupan produksi ASI.Metode: Desain penelitian cross sectional, dengan jumlah subjek 62 ibu yang menyusui bayi usia 0-5 bulan di wilayah puskesmas Halmahera Kota Semarang menggunakan metode consecutive sampling. Data yang diteliti yaitu asupan vitamin A menggunakan formulir semi quantitative food frequency questionnaire (SQ FFQ), tingkat kecemasan menggunakan kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), kecukupan produksi ASI menggunakan perubahan berat badan bayi dengan alat BabyScale dan data sekunder yaitu Kartu Menuju Sehat (KMS). Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square. Analisis multivariat menggunakan uji Regresi Logistik.Hasil: Terdapat 51,6% subyek tidak mengalami kecemasan, 56,5% asupan vitamin A subyek cukup, dan 53,2% subyek memiliki kecukupan produksi ASI yang baik. Sebanyak 63% subyek dengan asupan vitamin A yang kurang memiliki kecukupan produksi ASI yang kurang, dan sebanyak 66,7% subyek yang mengalami kecemasan memiliki kecukupan produksi ASI yang kurang. Subyek yang memiliki asupan vitamin A yang kurang berpeluang 1,8 kali memiliki kecukupan produksi ASI yang kurang, dan subyek yang mengalami kecemasan berpeluang 2,1 kali memiliki kecukupan produksi ASI yang kurang.Kesimpulan: Asupan vitamin A dan tingkat kecemasan merupakan faktor risiko kecukupan produksi ASI.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
334 Leonard St
Brooklyn, NY 11211
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.