<p>ABSTRACT<br />The 2019 presidential election (Pilpres) is a very hot political battle compared to the 2014 election. The temperature of national politics has begun to heat up starting several months before the official campaign period set by the KPU. The "open battle" between the Jowoki camp and Prabowo's camp grew stronger through criticism, criticism, and even physical insult to Jokowi who was the incumbent president. One interesting issue of the various polemics that adorn the world of national politics ahead of the 2019 presidential election is the issue of the dissolution of NKRI in 2030. Prabowo states that in 2030 Indonesia is predicted to disband because of the behavior of national political elites who are far from caring for the small people. Apart from weak references, the issue of the dissolution of the NKRI has been a discourse in our national politics in the past few weeks. In this case, Prabowo has succeeded in constructing subjective reality in the social reality of society for the benefit of himself. Through the power he had, Prabowo instilled an understanding of pessimism in the minds<br />of the public that the state could fail and that the existing government also had the opportunity to fail, it needed to be replaced immediately. In the context of discourse fighting, even though it failed substantially, the speech was quite deceptive and horrendous. Despite experiencing an anti-climax, actually what was revealed by Prabowo was actually enough to help the community to identify some concerns or fears that the interests of many people (Indonesia) would be ruled out by the government. This research is a qualitative research with Faucoult's genealogy discourse method.</p><p><strong>Keywords; Political Communication, Pessimism, Agitation, Genealogy Discourse</strong></p><p>ABSTRAK<br />Pemilihan presiden (Pilpres) 2019 merupakan pertarungan politik yang sangat panas dibandingkan pemilu 2014. Suhu politik nasional mulai panas sudah dimulai sejak beberapa bulan menjelang masa kampanye resmi yang ditetapkan KPU. “Pertarungan terbuka” antara kubu Jowoki dan kubu Prabowo kian kencang<br />melalui kritikan, kecaman, bahkan hinaan secara fisik terhadap Jokowi yang adalah presiden petahana. Salah satu isu yang menarik dari berbagai polemik yang menghiasi dunia politik nasional menjelang pilpres 2019 ini adalah isu bubarnya NKRI di tahun 2030. Prabowo menyatakan bahwa tahun 2030 Indonesia diprediksikan akan bubar karena perilaku para elit politik nasional yang jauh dari kepedulian terhadap rakyat kecil. Lepas dari referensi yang lemah, isu bubarnya NKRI telah menjadi wacana dalam politik nasional kita beberapa minggu terakhir. Dalam hal ini, Prabowo telah berhasil mengkonstrukikan realitas subyektif dalam realitas sosial masyarakat untuk kepentingan dirinya. Melalui power yang dimiliknya, Prabowo menanamkan pemahaman pesimisme dalam benak masyarakat bahwa negara bisa saja gagal dan pemerintahan yang ada sekarang pun berpeluang juga untuk gagal, maka perlu diganti segera. Dalam konteks pertarungan wacana, meskipun gagal<br />secara substansi, pidato tersebut cukup mengecoh dan menghebohkan. Meskipun mengalami anti klimaks, sebenarnya apa yang diungkap Prabowo sebetulnya cukup membantu masyarakat untuk mengidentifikasi tentang adanya beberapa kekhawatiran atau ketakutan bahwa kepentingan masyarakat banyak (Indonesia) akan dikesampingkan oleh pemerintah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode genealogi wacana Faucoult.<br /><strong>Kata Kunci; Komunikasi Politik, Pesimisme, Agitasi, Genealogi Wacana</strong></p>
Abstract:As AbstrakFilm merupakan salah satu bentuk media komunikasi massa yang sangat jarang disadari perannya sebagai media penyebar pesan dan wacana. Ketidaksadaran penonton ini menjadi arena bagi pembuat film dan beberapa pihak yang berkepentingan untuk menyebarkan atau melakukan hegemoni kepada masyarakat. Film Jenderal Soedirman adalah salah satu contoh film yang sangat terasa aroma hegemoni-nya. Sebagai film sejarah, film ini mencoba membangun cerita atau narasi-nya secara tersentral pada sosok Panglima Besar Jendral Soedirman. Yang menarik, penonjolan sosok, yang sebenarnya biasa dalam sebuah perfilman, dilakukan dengan secara "sewenang-wenang" dengan menjatuhkan tokoh perjuangan lain. Kesewang-wenangan inilah yang kemudian memunculkan kontroversi dan perdebatan yang cukup seru di media-media nasional. Ada kecurigaan sebuah wacana besar sedang digulirkan oleh pembuat film demi posisi tertentu dalam narasi besar republik ini. Peneliti meneliti film ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Analisis yang digunakan adalah analisis wacana kritis dengan model yang dikembangkan oleh Van Dijk. Peneliti berharap bisa membongkar struktur teks, baik mikro, makro, maupun superstruktunya sehingga terkuak wacana yang dikembangkan melalui produksi film ini.
Kapitalis (melalui iklan) memanfaatkan kondisi manusia yang terjebak dalam kehidupan yang dipenuhi dengan simulasi untuk mencapai keuntungan mereka. Di era modern ini, manusia telah terjerembab dalam ruang simulakra dan kehidupan hiperealis untuk kepentingan perluasan penetrasi produk mereka. Situasi ini dimanfaatkan sebagai sarana untuk memberikan fantasi-fantasi ataupun simulasi-simulasi lain sehingga menyebabkan manusia tidak bisa lagi membedakan mana yang asli dari yang palsu, yang real dari yang virtual, yang nyata dari fantasi.Peneliti ini didasarkan pada pandangan Jean P. Baudrillard yang melihat dunia manusia saat ini merupakan suatu dunia simulacra dipenuhi dengan simulasi dan memmbentuk kehidupan yang hiperrealitas. Media massa (terutama melalui iklan dan film) mempunyai peranan yang sangat besar dalam meciptakan dunia simulacra ini. Faktanya film dan iklan menyuguhkan begitu banyak kehidupan hiperrealis kepada audiensnya. Peneliti sangat tertarik untuk mengkaji permasalahan ini dan menggunakan menggunakan analisis naratif Todorovuntuk membongkar iklan komersial Ramayana Departement Store episode #DisneyHakSegalaBangsa yang peneliti pilih sebagai obyek penelitian.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa manusia tidak bisa dilepaskan dari lingkaran kepalsuan yang digambarkan sebagai “sebuah lingkaran setan kehidupan” karena pada waktunya siapapun korban dari kepalsuan juga akan melakukan hal yang sama kepada yang lainnya. Melalui iklan ini, Ramayana-lah menggambarkan dirinya sendiri sebagai sumber keaslian yang sebenarnya, dimana kegembiraan dan semua impian akan terwujud. Ramayana hendak menggiring pola konsumsi masyarakat Indonesia agar tetap berada dalam keadaan, dimana mereka terjebak pada komsumsi yang salah kaprah dan menjadi semakin terjerembab dalam pola konsumsi yang kehilangan esensi karena hanya melihat eksistensi dan citra dirinya.
<p>ABSTRACT<br />This study discusses the discourse contained in the Kimi Hime youtube upload which is quite controversial because it is considered too sensual. This research is a research with a critical paradigm which analyzes the Norman Fairclough critical discourse analysis and uses the content commodification theory proposed by Vincent Mosco. The results of this study indicate that the YouTube show made by Kimi Hime is basically a commodification of sensuality by producing the title and content of the show, including reproducing sensual words and sentences that can arouse male biological desires to attract many viewers and visitors from the social media channel Kimi Hime.<br />Keywords: Critical Discourse Analysis, Commodification, Sensuality</p><p> </p><p>ABSTRAK<br />Penelitian ini membahas mengenai wacana yang terkandung dalam unggahan youtube Kimi Hime yang cukup kontroversial karena dianggap terlalu sensual. Penelitian ini merupakan penelitian dengan paradigma kritis yang melakukan analisis dengan menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough dan menggunakan teori komodifikasi konten yang dikemukanan oleh Vincent Mosco. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tayangan youtube yang dibuat Kimi Hime pada dasarnya merupakan suatu komodifikasi terhadap sensualitas yang dilakukan dengan memproduksi judul dan isi tayangan, termasuk di dalamnya mereproduksi kata dan kalimat yang bersifat sensual serta bisa mengguah hasrat biologis lelaki demi menarik banyak penonton dan pengunjung dari kanal media sosial Kimi Hime.<br />Kata Kunci: Analisis Wacana Kritis, Komodifikasi, Sensualitas</p>
PurposeThe goal of this study is to learn about of the strategic framework used by event organizers in Indonesia to survive the COVID-19 pandemic. This effort is also used to see how crisis management is implemented in the organization, particularly in relation to the company's efforts to maximize technology in this COVID-19 crisis situation.Design/methodology/approachThis is a qualitative study that employs the case study method with a single intrinsic case. Researchers chose six sources based on the range of responsibilities and authorities they have.FindingsTo remain viable faced with COVID-19 pandemic, event organizers must adopt an open communication strategy, be ready to adapt to changing conditions and take bold steps in crisis management. In general, Garuda Organizer's crisis management strategy consists of five stages: crisis research, forming a crisis team, planning crisis management steps, implementing a new work system and adapting to the new system's culture.Research limitations/implicationsThe focus of this research is on how to deal with crisis strategies in the world of event organizer from the standpoint of innovation diffusion. This study cannot be generalized because it is limited to efforts to formulate a strategic framework carried out by event organizer companies in dealing with the COVID-19 pandemic, not seeing the effectiveness of the strategy.Practical implicationsThis research, in addition to its theoretical implications, provides practical contributions to the event organizer industry. The pandemic encourages every event organizer company to always be prepared to adapt to changing conditions. There is no such thing as a static condition; rather, it can change abruptly at any time. As a result, the most important requirement is a quick and precise response. Responsive leadership will ensure that the adaptation process goes smoothly. With uncertain conditions, businesses must be prepared to respond to any changes that occur at any time. Sometimes desperate action is required because it must be done quickly. Aside from that, do not overlook openness management. It will be easier to manage a crisis if all available communication channels are opened. Opening all communication channels allows all components of the company to participate in overcoming the crisis. The participation of all parties will make it easier to deal with any crisis that arises. This transparency is carried out not only within the company, but also with parties outside the company, such as the government as a regulator, company partners and community members who use our services. Aside from that, a willingness to change and step outside of one's comfort zone is required both within the company and for each individual employee. The company's willingness to try new things and learn quickly becomes critical for businesses in the midst of a crisis. As in the case of Garuda Organizer, a willingness to constantly learn and develop a new culture that is more in line with current conditions will make the company more adaptable in dealing with crises. Thus, effective crisis-response strategies can be developed quickly. When we are at ease in certain circumstances, as employees, we are often hesitant to change, even if the times or circumstances have changed dramatically. It is necessary to avoid the comfort of the status quo. It takes self-will to change in a crisis like this. What does not change will be forgotten by time. To maintain the continuity of the company's activities, all employees must be willing to give up their comfort and possibly make a small sacrifice (including time and effort). If companies can unite the interests of companies and individuals who work as employees (As the management and employees of Garuda Organizer have done by devoting more time to the company's future and delving deeper into one's own potential), they will undoubtedly survive the current crisis.Social implicationsThis study discovered that even in the midst of the COVID-19 pandemic, which is fraught with restrictions, there still are event organizer companies striving to provide the best service. The Garuda Organizer company strives to provide good service to its customers by disseminating innovations. Despite the limited circumstances, the public continues to enjoy events in a novel format, namely through virtual spaces.Originality/valueThis study identifies the use of technology as a means to overcome the problem of organizing events in the midst of the COVID-19 pandemic and maps the complexity of the innovation adoption process in Indonesian event organizer firms.
The government decided to make temporary policies due to COVID-19 Pandemic. One of the policies is to close schools temporarily and conduct online learning. There are obstacles for people outside Java Island who have inadequate infrastructure concerning online learning, in other words, they are still struggling to apply online learning. Related to the problem in the time of COVID-19 the researchers try to analyze the news which was published by www.solopos.com entitled "Sekolah di Jateng Libur karena Corona, Belajar Pindah ke Ruang Guru?". The researcher uses Fairclough Discourse Analysis method to analyze the news. Besides, www.solopos.com wants to show concerns for its target community due to the government's unfairness. Even though it looks so common, the people of Central Java will easily know what is written not just asking questions, but also trying to convince whether, are they really using RuangGuru to help people around central Java? This research focuses on how we see what is happening in reality. The results, www.solopos.com has their personal importance which can be seen in the selection of vocabularies and their style of how they deliver to their readers, how they selected the attributes of nouns, and many discursive intertextualities which use conjunctions casualties.
ABSTRAKArisan merupakan budaya khas Indonesia yang merupakan ajang silaturahmi masyarakat Indonesia sejak zaman dulu. Saat ini arisan sudah mengalami penggeseran makna, mulai dari ajang silaturahmi dan berkumpul, menabung, hingga menjadi ajang gosip bahkan lahan bisnis. Tidak jarang ada satu dua anggota grup arisan yang membawa barang dagangan untuk dijual kepada teman-teman komunitasnya. Peneliti tertarik untuk melihat lebih dalam bagaimana sebenarnya pengalaman liminal seseorang yang tergabung dalam kelompok arisan keluarga dan bagaimana mereka memaknai interaksi dan keterlibatan mereka didalam sebuah kelompok arisan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan teori Interaksionisme simbolik dan teori liminalitas sebagai pisau analisisnya. Peneliti mencoba mendalami pengalaman kaum urban Jakarta dalam perspekstif yang ditawarkan Victor Turner (1990) tentang ruang liminal dimana seseorang mengalami pengalaman liminal dan kembali lagi ke masyarakat dengan vitalitas, rasa tujuan dan keinginan yang telah diperbaharui. Hasil dari penelitian ini adalah masyarakat urban Jakarta membutuhkan wahana atau sarana untuk mengekspresikan dan menghayati nilai kehidupan yang dihayatinya, selain nilai-nilai baru di perkotaan. Kontestasi simbol kesuksesan dilakukan untuk mendapatkan "posisi yang tepat" dalam komunitas arisan yang diikutinya.Kata kunci: Masyarakat urban, kontestasi, simbol dan liminalitas. ABSTRACT Arisan is a typical
Penelitian ini mencoba menganalisis fenomena yang terjadi diantara para pelanggan Starbuck di Indonesia yang sangat suka memposting instastory dengan konten-konten yang berkaitan Starbuck. Fenomena posting instastory tentang starbuck ini mendorong peneliti untuk memahami apa yang terjadi di balik itu. Penelitian dilakukan terhadap empat orang narasumber dengan menggunakan metode etnografi virtual. Metode ini dipilih karena di era serba digital ini, penggunaan internet dan social media meningkat sangat tajam; tetapi sayangnya tidak banyak metode penelitian yang mampu menjangkaunya. Etnografi virtual bisa menjangkaunya melalui penyelidikan terhadap segala entitas yang ada di dalam social media. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kalangan muda memandang aktivitas memposting hal-hal yang berkaitan dengan Starbuck di Instasroty merupakan sebuah ritual wajib meningkatkan status sosial mereka. Menampilkan produk brand terkenal seperti Starbuck akan akan membantu mereka dalam upaya menempatkan diri diantara teman-teman pergaulan mereka.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.