The shopping mall is a facility for profit-making with a complex spatial configuration that prioritizes the effectiveness in any aspects. The spatial configuration of a shopping mall needs more than a rule of thumb or a subjective judgment to optimize it. Many researchers have conducted studies of shopping mall spatial configuration by the theory and method of space syntax. But, the complexity of space syntax turns it hard to understand or apply in practical use. Due to the complexity of both shopping mall and space syntax, a guide is needed for practical directions to optimize shopping mall. This article review combines and synthesizes the findings of space syntax precedent studies. The scope of the study is on the building configuration scale (mesoscale). As the result, the optimization of a shopping mall can be measure by space syntax through measurement of connectivity, depth, integration, choice, and intelligibility. Each measurement has a different purpose. The most used measurement in shopping mall study is integration. The spatial configuration of the mall can be represented by the axial map, convex map, isovist map, VGA map, and agent-based in space syntax analyses. The most suitable map for shopping mall analysis is the VGA map because it shows the visual quality is vital in shopping mall design. There are several aspects of the shopping mall that can be adjusted or modified to optimize the shopping mall. Those aspects are pedestrian flows, horizontal complexity, vertical complexity, tenant type allocation, visual quality, retail placement, and anchor placement.
Kawasan Waterfront Seng Hie dan Kawasan Waterfront Kakap merupakan kawasan waterfront yang sering dilanda bencana banjir rob tahunan. Ancaman ini tidak membuat penduduk pindah melainkan beradaptasi dengan bencana tersebut. Kedua lokasi ini memiliki batas alam dan sumber daya yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk lihat perbedaan tindakan adaptasi bencana yang dilakukan oleh masyarakat pada dua lokasi yang memiliki kondisi yang berbeda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode concurrent embedded dengan model metode kualitatif sebagai metode primer (dominan) dan kuantitatif sebagai metode sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik triangulasi (kualitatif) teknik kuesioner (kuantitatif). Hasil dari penelitian adalah ditemukan bahwa bencana yang sejenis yaitu banjir akibat air pasang tinggi terjadi di dua lokasi tetapi skala bencana di Kawasan Waterfront Kakap lebih ekstrim. Sedangkan dari segi tindakan adaptasi, di Kawasan Waterfront Seng Hie masyarakat melakukan tindakan yang sejenis, sedangkan di Kawasan Waterfront Kakap tindakan adaptasi yang bervariatif.
ABSTRAKKota yang terletak pada kondisi geografis berada pada tepian sungai, sebaiknya menggunakan prinsip waterfront dalam perancangan kotanya. Salah satu prinsip waterfront adalah terdapat akses untuk memudahkan manusia berhubungan dengan air. Belakangan ini, terjadi kecenderungan mulai ditinggalkannya transportasi sungai dan beralih ke transportasi darat yang memastikan bahwa hubungan manusia dengan air akan semakin berkurang. Seng Hie sebagai salah satu kawasan waterfront di Pontianak, merupakan daerah yang memungkinkan publik untuk berhubungan langsung dengan air. Apakah di Seng Hie masih terdapat jalur pejalan kaki yang dapat memberi citra kawasan waterfront? Pertanyaaan ini dapat dijawab dengan melakukan penelitian dengan mengidentifikasi jalur pajalan kaki yang berada di kawasan waterfront, Seng Hie. Metode penelitian yang digunakan adalah rasionalistik kualitatif. Menggunakan metode deskriptif dan evaluative berdasarkan parameter teori. Penelitian dilakukan pada kawasan dengan membagi kawasan menjadi 4 (empat) penggal, berdasarkan kondisi eksisting terdapatnya akses yang membagi kawasan. Lingkup penelitian merupakan batasan terhadap keberadaan dan jenis jalur pejalan kaki. Pada kawasan Seng Hie masih ditemukan tersedianya jalur pejalan kaki, dengan 5 (lima) jenis jalur pejalan kaki. Terdapat permasalahan umum pada keseluruhan kawasan, yaitu: tidak terdapat kesinambungan hubungan seluruh jalur pejalan kaki, jalur pejalan kaki tidak dapat memberi kenyamanan bagi publik untuk berhubungan langsung dengan air, jalur pejalan kaki tidak memberi keleluasaan publik untuk menikmati pemandangan sungai, dan dermaga tidak dapat menampung kegiatan komersial yang melayani kegiatan rekreasi. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kawasan Seng Hie tidak menyediakan jalur pejalan kaki yang sesuai dengan prinsip waterfront. PENDAHULUANBentuk tanggapan perancangan kawasan terhadap potensi kondisi geografis sebuah kawasan kota yang bertipikal kota air adalah perancangan kawasan berbasis waterfront. Kawasan waterfront memiliki prinsip yang sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut (Francisco, 1997; 18): (1) menampilkan karakter kawasan waterfront; (2) bangunan di sekitar kawasan berorientasi ke air; (3) menampilkan aktifitas keairan sebagai aktifitas utama; (4) terdapat akses menuju dan dari daerah waterfront yang aman, nyaman dan memudahkan manusia berhubungan dengan air. Air sebagai wadah utama dalam setiap aktifitas masya-
Sungai merupakan milik publik, sungai tidak hanya bisa dimanfatkan untuk media transportasi, tapi juga merupakan kekayaan alam yang dapat dinikmati secara visual. Jika dapat dinikmati dengan leluasa, masyarakat juga dapat mengawasi pemanfaatan sungai. Sungai yang tidak dapat diawasi dapat mengakibatkan kerusakan dan pencemaran sungai. Kota Pontianak merupakan kota air (waterfront city) yang pengembangannya mengharuskan menghargai sungai sebagai pusat orientasi. Sebagai media yang membantu berjalannya aktifitas transportasi dan pelayanan kegiatan perdagangan, sungai Kapuas merupakan milik publik. Untuk itu sungai harus bisa diakses publik dan dapat dinikmati sebagai area pelayanan masyarakat. Masyarakat berhak mengakses ke arah sungai, menikmati pemandangan dan aktifitas sungai, sehingga dapat ikut menjaga fasilitas yang disediakan bagi kepentingan publik. Namun dewasa ini, aktifitas di tepian sungai Kapuas di wilayah Seng Hie terbatas hanya pada pengguna langsung dari kawasan waterfront tersebut, yaitu pengguna sampan dan yang sudah terbiasa melakukan aktifitas memancing. Kondisi tersebut menjadi latar belakang penelitian, yang bertujuan untuk menganalisis keberadaaan akses publik dan open space di kawasan waterfront Seng Hie, serta apakah akses publik dan open space yang tersedia sudah memudahkan masyarakat untuk berhubungan langsung dan menikmati area waterfront, sehingga sesuaian dengan kaidah waterfront. Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu mengidentifikasi akses publik dan open space di kawasan waterfront Seng Hie dan evaluasi kesesuaian dengan kaidah waterfront. Kawasan waterfront Seng Hie, memiliki keunikan yang memberi karakter yang menjadi citra Kota Pontianak.Anmun, berikut adalah hasil temuan dalam penelitian ini. Akses publik dan open space belum mampu menarik perhatian pengunjung. Akses yang berhadapan dengan jalan kebanyakan ditutupi dengan adanya PKL yang kumuh dan membuat orang tidak tertarik untuk berkunjung. Akses yang tersedia beragam lebar dan kondisi fisiknya, ada yang permanen namun ada juga yang masih menggunakan kayu dengan konstruksi yang rusak dan sudah tua. Kawasan ini telah dilengkapi dengan adanya promenade namun belum bisa melayani aktifitas publik dan memberi kenyamanan pada pengunjung. Terdapat aktifitas unik yaitu penyeberangan sungai menggunakan sampan. Tapi, belum terdapat sarana untuk bersosialisasi dengan maksimal. Promenade belum memberikan rasa nyaman dan aman, karena belum tersedia pagar pembatas agar pengunjung tidak jatuh ke sungai River is a public property. The river is can not only be used for the transportion, but also as a natural resource that can be enjoyed visually. If it can be enjoyed freely, people can also controll the use of the river. A river that can not be monitored can make the river damage and create a pollution. Pontianak is a riverfront city which it development requires a river as the center of the development orientation. As the transport medium and service trade, the Kapuas river should be accessible to the public and can be enjoyed as a public area. The public have a right to access the river, enjoy the scenery and river activities, and uses the facilities provided. In fact, the activity on the banks of the Kapuas river in the Seng Hie area, strictly limited to the direct users of the waterfront area. Communities outside the region can not enjoy waterfront area freely.This study aimed to analyze the existence of public access and open space in the Seng Hie area, whether it meets the requirements according to the rules of designing waterfront region. Stages of analysis used in the study consists of two phases, which is identifies public access and open space in the Seng Hie region and evaluate the suitability of the first stage identification result to the rules of designing waterfront region.Seng Hie area has a unique character that gives the image of the city of Pontianak. This area has the potential to be developed. This area already has the appeal of the inherent function, namely trade. This makes this area very easily become a magnet to invite more people to visit.
This research is based on concerns about the existence of supporting activities will have an impact on the visual quality of a commercial road corridor. Activities that appear in commercial corridors are trade and service activities as well as activity support. This activity support will affect the development of the city so that it is more lively, continuous, and peaceful. In a corridor these activities can bring a lot of visitors. The large number of visitors indicates that the corridor has an attraction. The method used in this study is a method of mapping behavior and space syntax combined with questionnaires. Then the results of these data are correlated so as to know the relationship of supporting activities to the visual quality of corridors. The findings of this study are in the form of supporting activity relationship to the visual quality of the corridor of Jalan Gajah Mada Pontianak. The correlation of data between placed centered mapping and space syntax, between placed centered mapping and questionnaires, as well as between questionnaires and space syntax, showed a positive correlation. The number and position of supporting activities in the form of pkl can increase movement in an area. High movement in space syntax can indicate that the visual quality of an area has a high value. An easy-to-recognize space will attract visitors to come and supporting activities in the form of street vendors can be a movement generator and attractor.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.